“Kenapa baru sekarang bersuara? Saat burung itu diburu, hutan tempat mereka hidup dirusak, terjadi perambahan hutan lalu konsesi masuk apa yang kalian lakukan?” sindir Alex. Ia menilai bahwa perlu ada tindakan nyata dari semua pihak untuk menyadarkan masyarakat. “Yang perlu diubah adalah perilaku dan kesadaran masyarakat. Jika melihat ada oknum yang memburu, memperjualbelikan burung Cenderawasih itu harus dilaporkan. Bukan didiamkan,” tegasnya.
Alex juga menyoroti lemahnya penegakan aturan adat dan kurangnya tindak lanjut dari pemerintah. “Masyarakat adat sudah punya aturan, tapi mereka sendiri yang melanggarnya. Ada beberapa aturan yang sudah kami sampaikan ke pemerintah, tapi tidak ada tindak lanjut,” ungkapnya.
Menurutnya, masih banyak masyarakat yang memperjualbelikan burung Cenderawasih sebagai oleh-oleh. Padahal, tindakan tersebut justru mempercepat kepunahan satwa endemik Papua itu.
“Sekarang yang harus kita selamatkan adalah burung Cenderawasih yang masih hidup di hutan-hutan. Jangan tunggu sampai punah baru kita menyesal,” pinta Alex.
Pria asal Nimbokrang yang lama bekerja di kapal pesiar ini menganggap kejadian pembakaran di BBKSDA menjadi momentum bagi semua pihak untuk lebih peduli. “Pemerintah jangan lagi menyetujui pembukaan lahan besar-besaran, karena sama artinya membiarkan ribuan burung termasuk Cenderawasih terancam punah. Itu akan mengganggu habitat burung Cenderawasih. Mereka akan terbang lebih jauh ke dalam hutan untuk bertahan hidup,” tutupnya.

Sementara pendapat lain disampaikan antropolog Uncen Enrico Kondologit. Pemuda yang menjabat sebagai akademisi dan juga kepala museum Uncen ini berpendapat bahwa banyak hal yang belum dipahami betul oleh masyarakat di Papua terkait Cenderawasih dan dinamikanya. Banyak cerita yang belum diketahui tentang adat istiadat termasuk sejarah tentang Burung Cenderawasih. Alhasil teriakan dan protes hanya lebih pada bagaimana ikut-ikutan dan menempatkan diri pada bagian solidaritas tanpa pemahaman lebih.
Hanya menganggap bahwa Mahkota Cenderawasih adalah benda sakral yang harus dihormati. Padahal kata Enrico ada banyak hal yang bisa dipetik dari kejadian pembakaran tersebut. Ia menyebut bahwa kurang tepat ketika menganggap Mahkota Cenderawasih ini sudah digunakan sejak nenek moyang dulu. Pasalnya dari hasil penelusuran dan riset yang dilakukan, Mahkota Cenderawasih baru diketahui sejak beberapa tahun belakangan ini.
Orang-orang dulu termasuk para tokoh tidak menggunakan mahkota Cenderawasih secara utuh. Yang digunakan hanyalah beberapa helai bulu jadi bukan Cenderawasih penuh dengan sayap, leher dan kepala. Kesini-kesini barulah perubahan design itu terjadi dan semua karena dianggap memiliki nilai ekonomi.
“Dahulu tidak ada Mahkota Cenderawasih seperti yang ada sekarang. Orang dulu tidak menggunakan mahkota yang rapih dan cantik seperti sekarang. Dulu hanya bulu saja. Nantinya tahun 90 an dan 2000 an kesini barulah orang mulai mendesign seperti sekarang,” kata Enrico saat ditemui di Kotaraja, Rabu (29/10). Ia melihat mahkota yang dibakar juga belum bisa dikatakan milik para tokoh karena secara bentuk tidak sama.
“Dan sesungguhnya mahkota inikan harus didapat secara turun temurun atau diperoleh dengan susah payah semisal di Keerom itu kalau orang berani menggunakan bulu Cenderawasih bisa dipertanyakan berapa banyak orang yang sudah dibunuh sebab tidak semua boleh menggunakan itu, ada simbol ketokohan disitu,” kata Enrico. Diakui seiring perkembangan jaman, para pelaku ekonomi melihat bahwa Cenderawasih memiliki nilai yang menjanjikan sehingga kreatifitaspun dimunculkan.
Dirancang dan didesign sedemikian rupa, ditambagi tali dan asesoris lainnya sehingga terlihat lux dan menarik. “Menurut saya, ada masyarakat dari luar yang datang kemudian melihat ini (bulu Cenderawasih) mempunyai nilai jual bagus akhirnya mulai dimodifikasi, ditempeli ini itu kemudian dipasarkan padahal yang asli ya hanya yang digunakan oleh ondoafi itu,” tambahnya.
Lalu Burung Cenderawasih ini juga berkaitan dengan totem dan menariknya kata Enrico, di Jayapura sesungguhnya tidak semua suku boleh mengenakan itu. “Yang saya pelajari di Jayapura atau Tabi ini hanya dua suku yang boleh pakai Mahkota Cenderawasih yaitu Marga Rollo di Skouw dan marga Soro di Kayo Pulo karena ini juga berkaitan dengan totem, tapi kesini-kesinikan akhirnya semua bisa memakai,” beber Enrico.
“Contoh, saya bermarga Kondologit dari Papua Barat dan totem saya adalah penyu. Jika saya mengkonsumsi penyu maka tangan dan mulut saya semua akan luka dan itu sudah terjadi,” ceritanya.
Lebih dalam disampaikan Enrico bahwa untuk sebuah benda bisa dikatakan sakral maka perlu memenuhi empat aspek yaitu pertama harus ada tempatnya, misal jika melakukan ritual harus di rumah adat atau tidak disembarang tempat, kemudian harus ada yang memimpin, ketiga ada aturan mainnya dan keempat ada orang yang terlibat di dalamnya.
“Kalau benda itu ada di rumah adat barulah disebut sakral tapi begitu ia keluar sedikit saja dari rumah adat maka hilang kesakralannya, apalagi jika bisa didapat di pasar-pasar,” imbuhnya.
“Sebagai akademisi bagi saya barang adat itu jika sudah dikomersialisasi maka itu tidak lagi bisa dikatakan sebagai barang atau benda adat. Masak adat atau harga diri diperjualbelikan, itu kan tidak mungkin,” tambahnya.
Disini ia juga mengoreksi pihak BBKSDA yang dianggap blunder.”Saya sebagai orang Papua marah sekali dengan pembakaran itu. Saya menganggap cara yang dilakukan tidak berikir bahwa itu akan berdampak banyak hal. Pemahaman konteks budaya di BBKSDA menurut saya masih dangkal,” singgung Enciro.
“Kalau paham tentu tidak dilakukan (pembakaran). Dan pertanyaan lainnya adalah kenapa cara begini (pembakaran) baru dilakukan sekarang sementara dulu-dulu itu tidak dilakukan, ingat konservasi tidak hanya bicara pelestarian tetapi juga erat kaitannya dengan masalah soal social dan kebudayaan yang terus berubah-ubah,” tambahnya.
Iapun menyarankan selain memohon maaf ke publik juga harus ada langkah yang dilakukan. Bukan soal pergantian pejabat tapi yang dilakukan BBKSDA sesungguhnya menjadi keresahan bersama soal habitat. “Ada pembeli dan orang mencari atau berburu dan Cenderawasih, ini yang harus ditelusuri dan dihentikan sebab ingat Cenderawasih adalah burung territorial sehingga hanya orang yang paham saja bisa berburu,” sarannya.
Lainnya, BBKDSA dianggap perlu meredesign kebijakan dan langkah-langkah terutama yang berkaitan dengan nilai budaya dan kearifan lokal, tidak semua harus dimusnahkan dengan cara dibakar. “Itu catatan saya,” tutup Enrico. (*).
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos
