Pasalnya setiap air surut tak sedikit mama – mama atau kaum perempuan asli Kampung Engros yang masuk ke kawasan hutan bakau ini untuk mencari bia atau kerang. Jika hasil berlimpah biasanya selain dikonsumsi, ada juga yang dijual untuk biaya anak sekolah.
“Sampah yang masuk ke hutan kami sangat banyak dan ini ternyata berdampak hasil kerang atau bia yang didapat. Sampah plastic dan limbah membuat kerang sulit berkembang biak dan tidak seperti dulu,” beber Petronela.
Pihak PLN juga membantu bahan rakit dari paralon untuk digunakan komunitas membersihkan sampah – sampah yang menumpuk di kawasan hutan bakau. Dan jumlahnya bisa berton-ton. Bayangkan saja sejak tahun 2018 hingga 2024 sampah-sampah tersebut belum habis-habis.
Untungnya jumlah sampah ini perlahan – lahan terus menurun setelah dilakukan aktifitas rutin yang disebut dengan grebek sampah. “Dulu teman-teman mengumpulkan sampah dengan kemampuan yang ada dan tidak banyak yang bisa kami lakukan karena keterbatasan alat tapi setelah punya rakit kami bisa menaikkan puluhan kantong sampah ke atas rakit kemudian membuangnya.
“Dari semua sampah jika ada yang masih bisa digunakan, kami simpan untuk dimanfaatkan,” ungkap Theresia, Koordinator Rumah Bakau Jayapura. Ia tak memungkiri dari dukungan PLN yang berkolaborasi menggandeng Rumah Bakau ada banyak manfaat terlebih ketika memiliki fasilitas Sekolah Alam.
Yang dulunya hanya lantai papan 8 x 10 meter kini bisa memiliki atap dan tempat untuk berteduh. Luas areanya Sekolah Alam kini menjadi sekitar 30 meter.
Tempat yang lebih representative untuk melakukan kegiatan – kegiatan positif untuk lingkungan. Theresia menyampaikan bahwa hampir setiap bulan ada saja sekolah atau kampus yang mampir untuk belajar soal lingkungan dan disitulah fungsi sekolah alam yang menjadi wadah untuk belajar.
Mulai dari masalah hutan bakau, masalah sampah termasuk bagaimana menjaga dan ikut melestasikan kawasan TWA Teluk Yotefa. “Bagi kami sekolah alam ini sangat membantu. Dulu kalau kami memberi edukasi dimana sekolah-sekolah datang melakukan field trip dan diskusi lingkungan terkadang semua terhenti ketika hujan. Itu karena kami memang tak punya atap, semua bubar kalau sudah hujan,” cerita Theresia.
“Karenanya kami terbantu sekali dengan sekolah alam ini,” tambahnya. Theresia mengatakan dari lahirnya Rumah Bakau ini mendorong banyak sekolah, kampus dan BUMD dan instansi pemerintah ikut berbicara dan peduli terhadap lingkungan.
“Kalau jumlah kami pikir sudah ribuan orang datang dan berdiskusi tentang lingkungan. Untuk satu sekolah saja kadang mencapai 100 orang dan kami bersyukur perubahan itu muncul perlahan,” tambahnya.
Karenanya dari Sekolah Alam support dari PLN ini kini menurut Theresia, kegiatan talkshow, edukasi hingga pemutaran film bisa dilakukan tanpa ada rasa khawatir. “Lebih nyamanlah, sangat membantu dan anak – anak sekolah tidak perlu lagi khawatir acaranya bubar karena hujan,” beber Theresia.
Sekolah Alam ini juga dipaketkan dengan tracking dan tempat persemaian bibit sehingga ketika ada organisasi atau instansi pemerintah yang ingin melakukan penanaman bakau. Dari persemaian ini setidaknya bisa menyiapkan kebutuhan bibit bakau untuk ditanam.
“Kami juga mengajarkan anak – anak sekolah maupun mahasiswa untuk mereka bisa melakukan persemaian bibit. Jadi mereka mempunyai bibit sendiri termasuk mengadopsi atau memberi nama pada bibit yang akan ditanam. Ini biar ada ikatan emosional dari orang yang menanam dan bibit yang ditanam,” paparnya.
Disini menurut Theresia ada double impack yang didapat dimana setelah melakukan edukasi terkait fungsi dan pentingnya hutan mangrove, peserta edukasi bisa langsung mengaplikasikan dengan menanam bibitnya sendiri.
“Hutan bakau yang ada di Kota Jayapura harus tetap ada dan terjaga sebab ini tidak hanya menjadi dapur tetapi juga menjadi kebanggaan bagi masyarakat kota. Tuhan menitipkan untuk tetap ada,” imbuh Theresia.
“Dan kami pikir energi bersih tak selamanya berbentuk energy yang diperoleh dari sumber daya alam terbarukan tetapi bisa juga dengan memberikan semangat dan motivasi untuk terus peduli dalam upaya konservasi juga bagian dari menularkan energi positif,” sambung Theresia.
Ditambahkan Koordinator Rumah Bakau lainnya, Rahmatullah bahwa selain dengan Rumah Bakau, sebelumnya PLN juga berkolaborasi dengan Komunitas Papua Trada Sampah dan melakukan aksi – aksi pembersihan disepanjang Teluk Yotefa.
“Yang jelas sangat membantu karena dulu kami lebih banyak bekerja manual tapi kini ada alat dan armada yang bisa kami gunakan,” kata Rahmatullah. Pria yang berprofesi sebagai guru ini menambahkan bahwa ada juga alat mesin cacah plastic yang bisa digunakan untuk mencacah plastic dan kemudian dijadikan bahan campuran pembuatan paving blok.
“Kami terus mencoba dengan hal – hal baru ini dan teman – teman juga semakin aktif karena sekarang ada tempat ngumpul yang lebih luas dan lebih nyaman. Tinggal bagaimana dari alat yang ada dan sarana yang dimiliki menjadi energi baru untuk menularkan hal-hal kebaikan untuk kota ini,” tutupnya. (*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos