Mencermati Situasi Politik Jelang Pendaftaran Pilkada di Papua
Eskalasi politik di Papua cenderung terus meningkat mendekati tahapan pendaftaran pasangan bakal calon. Terutama terkait dengan upaya mencari dukungan partai politik sebagai perahu politik untuk bisa mendaftar ke KPU.
Laporan: Elfira_Jayapura
Situasi politik menjelang Pilkada Serentak tahun 2024 ini, memang banyak menyita perhatian masyarakat. Tidak hanya ulah elite politik di tingkat pusat, yang seolah menskenariokan aturan untuk memuluskan tujuan politik kelompok tertentyu, tapi juga masalah aturan undang-undang yang diatur untuk melanggengkan kekuasaan, yang akhirnya menuai protes dengan aksi demo mahasiswa di Jakarta.
Untuk di Papua sendiri, ada beberapa hal yang menarik perhatian, terkait dengan para bakal calon yang hendak maju Pilkada serentak, namun belum sepenuhnya “merelakan” melepas jabatan/statusnya sebagai pejabat ASN, TNI/Polri maupun anggota legislative, sesuai dengan aturan batas waktu pengajuan pengunduran diri.
Serba serbi jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Papua. Ada yang masih berstatus ASN atau menjabat di institusi tertentu, namun wara wiri menyatakan bertarung di Pilkada, temui partai politik hingga dengan terang-terangan menerima B1-KWK.
Hal ini menjadi perhatian dan sorotan dari Akademisi Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen, Yakobus Richard Murafer dan juga Ketua DPC Peradi Suara Advokat Indonesia Kota Jayapura sekaligus Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak, Anthon Raharusun.
Salah satu yang menjadi sorotan, yakni Mathius D Fakhiri yang masih menjabat sebagai Kapolda Papua, lalu Aryoko Rumaropen sebagai Kepala Dinas Dinas Tenaga Kerja, Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Papua. Dimana meski masih menjabat, namun sejumlah spanduk pasangan calon ini sudah marak dipasang di sejumlah tempat, termasuk banyak beredar di media sosial.
Akademisi Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen, Yakobus Richard Murafer, menyebut ketika mereka yang menjabat pada jabatan tertentu, namun kemudian menerima B1-KWK hingga menyatakan siap bertarung di Pilkada, ini menunjukan ketidak profesionalan mereka dalam hal etika politik.
“Terjadi pemanfaatan jabatan yang kemudian nanti terjadi penyalahgunaan di dalamnya,” ucap akademisi ini, kepada Cenderawasih Pos, Sabtu (24/8).
Menilik lebih jauh, dari sisi aturan di Pilkada hal ini memang tidak mengatur secara detail bahwa harus ada surat pengunduran diri sebelum yang bersangkutan menerima B1-KWK. Biasanya mereka ini pada saat pendaftaran barulah menyertakan surat pengunduran diri mereka.