Sunday, April 28, 2024
30.7 C
Jayapura

Jaga Kuliner Asli Papua, Mendorong Kelestarian Alam Papua

Eksistensi Pangan Lokal Sagu di Tengah Transisi Pola Makan Pangan dari Luar 

Kuliner asli Papua, baik sagu maupun ubi-ubian memang menjadi daya  tarik tersendiri bagi wisatawan luar Papua. Namun di satu sisi, dengan masifnya peralihan bahan pangan beras, banyak generasi muda yang mulai meninggalkan pangan lokal. Lantas seperti apa seharusnya agar pola komsumsi terhadap pangan lokal ini tetap terjaga?

Laporan : Noel I U Wenda_Jayapura

Kunjungan dua  chef  asal Negara Qatar yakni The Captain Chef Hassan Abdullah Al Ibrahim dan Noof Al Marri di Jayapura pekan kemarin, memang di satu sisi memberikan kesadaran bagi masyarakat Papua, untuk bersyukur atas potensi alam Papua dengan potensi bahan pangan lokalnya.

  Bagaimana tidak, dua chef ini mereka kagum dengan kekhasan budaya masak orang Papua yang hidup di hutan dan bergantung pada hutan.  Karena bagi mereka ini pengalaman baru  sebab di negara mereka tidak ada hutan.   “Kalau hutan hilang, berarti kehidupan mereka juga akan bergeser dengan sendirinya,”tutur Charles Toto, salah satu Chef asli Papua ini.

  Charles menjelaskan semua jenis makanan ini didapatkan murni dari alam dan menurut pemikiran kedua Chef ini yang didapat adalah bukan dari model pertanian teknologi yang menggunakan pupuk, pestisida dan lainnya.

  Karena itu, jika generasi muda saat ini ada pergeseran pola makan dari pangan lokal ke pangan dari luar tentu sangat disayangkan. Padahal,  pola masak pangan dari luar belum tentu sehat sementara di Papua dengan metode sederhana sudah bisa menghasilkan makanan yang sehat yang saat ini direkomendasikan oleh para koki dunia.

Baca Juga :  Wapres: Indonesia Berpengalaman Bebaskan Sandera

  “Kita harus berkiblat kembali ke dapur kita sendiri yang sudah diwariskan oleh orang tua dengan metode memasak yang lama dan makan makanan yang langsung dari kebun masuk ke kita ke dapur, yang tidak tercemar oleh pupuk kimia dan bahan pengawet yang berbahaya,” katanya.

   Ulin Epa, salah satu lulusan   University of New South Wales, Sydney, Australia ( Master in International Relations & Development Studies ) yang kini memilih menjadi pembisnis kuliner asli Papua itu, menjelaskan beberapa makanan atau masakan tradisional  yang tak kalah lezatny dari makanan/masakan dari luar.

  Ia menyebut, menu- menu yang disajikan di restaurannya, seperti  Kha kala-kala (Bahasa Sentani) atau  ikan kering, ikan gabus asar juga mujair asar, Kha Ebhe Hele atau ikan kuah hitam, keladi dan ubi ungu tumbuk atau Amambra, Papeda bungkus  atau Finukhu, serta Sayur Genemo lilin santan dan Sayur kangkung tumis.

   Dengan melihat adanya kunjungan para koki dunia yang baru saja mengelar piala dunia, maka wisata kuliner tradisional tentu membutuhkan data menu makanan tradisional Papua sehingga dapat dilihat dan dipelajari langsung oleh orang tua sebagai wisata kuliner yang harus menjadi perhatian pemerintah.

  “Saya pribadi melihat kita perlu membuat pengarsipan makan makanan lokal di Papua. Saya senang mereka datang untuk mengetahui budaya kita tetapi kita sendiri juga harus bisa mengarsipkan menu dan makanan lokal kita secara mandiri di Papua,” jelasnya.

  Menurutnya, menjaga kuliner Papua sangat berkaitan erat dengan pelestarian alam dan lingkungan. Kurangnya perhatian terhadap pangan lokal ini, bisa dilihat dari aktifitas pembangunan di sekitar sentani yang beberapa waktu lalu mengorbankan hutan sagu.

Baca Juga :  KKB Rilis Bakar Puskesmas, Polda Sebut Karena Puntung Rokok

   Tentunya, bila sagu ini menjadi prioritas pangan lokal, kawasan hutan sagu harus tetap dijaga dan dilestarikan. Pemanfaatan pangan lokal ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan ekosistem alam di Papua antara manusianya dan alam.

  “Semua kekayaan kuliner ini berkaitan erat dengan bagaimana kita menjaga hutan kita dan alam,” ujar Ulin Epa.r

   Melihat fenomena ini pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota di Pulau Papua disarankan agar fokus bagaimana menjaga Pangan lokal agar tetap ada dan tidak hilang. Untuk menjamin  agar mereka yang punya pangan lokal ini bisa hidup dan sejahtera bukan malah menghabiskan waktu sampai semalaman saat berjualan. “Bahkan ada yang makan mie untuk menjual pangan lokal,” kata Ulin Epa.

  Maka pemerintah harus berupaya bagaimana hasil kebun yang ada di masyarakat itu terserap di pasar dan pola konsumsi masyarakat bisa kembali ke makanan lokal dari hasil kebun, laut juga danau serta harapanya jualan  pangan lokal mama – mama Papua bisa laku dan berdampak ekonomi bagi mereka.

  “Eksekutif dan Legislatif harus dorong hal ini (Pangan Lokal)  dengan membuat peraturan daerah yang berpihak ke pangan lokal pangan lokal ini bisa terserap di pasar dan mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka sambil menjaga kebun mereka, sehingga anak cucu juga bisa merasakan variasi makanan lokal di meja maka, serta paling penting mengaja alam dengan tidak menebang hutan juga pencemaran laut dan danau,” katanya. (*/tri)

  

Eksistensi Pangan Lokal Sagu di Tengah Transisi Pola Makan Pangan dari Luar 

Kuliner asli Papua, baik sagu maupun ubi-ubian memang menjadi daya  tarik tersendiri bagi wisatawan luar Papua. Namun di satu sisi, dengan masifnya peralihan bahan pangan beras, banyak generasi muda yang mulai meninggalkan pangan lokal. Lantas seperti apa seharusnya agar pola komsumsi terhadap pangan lokal ini tetap terjaga?

Laporan : Noel I U Wenda_Jayapura

Kunjungan dua  chef  asal Negara Qatar yakni The Captain Chef Hassan Abdullah Al Ibrahim dan Noof Al Marri di Jayapura pekan kemarin, memang di satu sisi memberikan kesadaran bagi masyarakat Papua, untuk bersyukur atas potensi alam Papua dengan potensi bahan pangan lokalnya.

  Bagaimana tidak, dua chef ini mereka kagum dengan kekhasan budaya masak orang Papua yang hidup di hutan dan bergantung pada hutan.  Karena bagi mereka ini pengalaman baru  sebab di negara mereka tidak ada hutan.   “Kalau hutan hilang, berarti kehidupan mereka juga akan bergeser dengan sendirinya,”tutur Charles Toto, salah satu Chef asli Papua ini.

  Charles menjelaskan semua jenis makanan ini didapatkan murni dari alam dan menurut pemikiran kedua Chef ini yang didapat adalah bukan dari model pertanian teknologi yang menggunakan pupuk, pestisida dan lainnya.

  Karena itu, jika generasi muda saat ini ada pergeseran pola makan dari pangan lokal ke pangan dari luar tentu sangat disayangkan. Padahal,  pola masak pangan dari luar belum tentu sehat sementara di Papua dengan metode sederhana sudah bisa menghasilkan makanan yang sehat yang saat ini direkomendasikan oleh para koki dunia.

Baca Juga :  Juli, Presiden Jokowi Direncanakan Datang Lagi

  “Kita harus berkiblat kembali ke dapur kita sendiri yang sudah diwariskan oleh orang tua dengan metode memasak yang lama dan makan makanan yang langsung dari kebun masuk ke kita ke dapur, yang tidak tercemar oleh pupuk kimia dan bahan pengawet yang berbahaya,” katanya.

   Ulin Epa, salah satu lulusan   University of New South Wales, Sydney, Australia ( Master in International Relations & Development Studies ) yang kini memilih menjadi pembisnis kuliner asli Papua itu, menjelaskan beberapa makanan atau masakan tradisional  yang tak kalah lezatny dari makanan/masakan dari luar.

  Ia menyebut, menu- menu yang disajikan di restaurannya, seperti  Kha kala-kala (Bahasa Sentani) atau  ikan kering, ikan gabus asar juga mujair asar, Kha Ebhe Hele atau ikan kuah hitam, keladi dan ubi ungu tumbuk atau Amambra, Papeda bungkus  atau Finukhu, serta Sayur Genemo lilin santan dan Sayur kangkung tumis.

   Dengan melihat adanya kunjungan para koki dunia yang baru saja mengelar piala dunia, maka wisata kuliner tradisional tentu membutuhkan data menu makanan tradisional Papua sehingga dapat dilihat dan dipelajari langsung oleh orang tua sebagai wisata kuliner yang harus menjadi perhatian pemerintah.

  “Saya pribadi melihat kita perlu membuat pengarsipan makan makanan lokal di Papua. Saya senang mereka datang untuk mengetahui budaya kita tetapi kita sendiri juga harus bisa mengarsipkan menu dan makanan lokal kita secara mandiri di Papua,” jelasnya.

  Menurutnya, menjaga kuliner Papua sangat berkaitan erat dengan pelestarian alam dan lingkungan. Kurangnya perhatian terhadap pangan lokal ini, bisa dilihat dari aktifitas pembangunan di sekitar sentani yang beberapa waktu lalu mengorbankan hutan sagu.

Baca Juga :  DOB Mutlak Diperlukan Mengingat Papua Terlalu Luas

   Tentunya, bila sagu ini menjadi prioritas pangan lokal, kawasan hutan sagu harus tetap dijaga dan dilestarikan. Pemanfaatan pangan lokal ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan ekosistem alam di Papua antara manusianya dan alam.

  “Semua kekayaan kuliner ini berkaitan erat dengan bagaimana kita menjaga hutan kita dan alam,” ujar Ulin Epa.r

   Melihat fenomena ini pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota di Pulau Papua disarankan agar fokus bagaimana menjaga Pangan lokal agar tetap ada dan tidak hilang. Untuk menjamin  agar mereka yang punya pangan lokal ini bisa hidup dan sejahtera bukan malah menghabiskan waktu sampai semalaman saat berjualan. “Bahkan ada yang makan mie untuk menjual pangan lokal,” kata Ulin Epa.

  Maka pemerintah harus berupaya bagaimana hasil kebun yang ada di masyarakat itu terserap di pasar dan pola konsumsi masyarakat bisa kembali ke makanan lokal dari hasil kebun, laut juga danau serta harapanya jualan  pangan lokal mama – mama Papua bisa laku dan berdampak ekonomi bagi mereka.

  “Eksekutif dan Legislatif harus dorong hal ini (Pangan Lokal)  dengan membuat peraturan daerah yang berpihak ke pangan lokal pangan lokal ini bisa terserap di pasar dan mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka sambil menjaga kebun mereka, sehingga anak cucu juga bisa merasakan variasi makanan lokal di meja maka, serta paling penting mengaja alam dengan tidak menebang hutan juga pencemaran laut dan danau,” katanya. (*/tri)

  

Berita Terbaru

Artikel Lainnya