Sunday, April 28, 2024
30.7 C
Jayapura

Pasrah dan Pilih Bawa ke Kampung, Karena Takut Biaya Pemakaman Mahal

Mendengar Pengakuan Orang Tua Pasien Gizi Buruk yang Kini Dirawat di RSUD Jayapura

Wajah dunia kesehatan di Papua kembali menjadi sorotan. Kasus gizi buruk muncul ke permukaan. Seorang bayi berusia 1 tahun lebih didiagnosa mengalami penyakit ini. Untungnya cepat tertangani.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura

Di tengah gelontoran dana Otsus ke Papua, dimana minimal 30 % harus  dianggarkan untuk pendidikan dan 20 %  untuk kesehatan, namun kenyataannya hingga kini masih banyak hal yang patut dievaluasi. Keberpihakan anggaran untuk sesuatu yang riil menjadi catatan khusus. Apakah sudah sesuai harapan atau sebaliknya.

Begitu juga dengan kondisi kesehatan di Papua dimana masih membutuhkan banyak perhatian. Salah satu yang sempat menonjol sepekan terakhir adalah temuan pasien gizi buruk di Papua. Sebuah kondisi yang sepatutnya sudah bisa ditangani jauh – jauh hari dan tidak lagi menjadi momok bagi wajah kesehatan di Papua.

   Pasien tersebut bernama Demesto Salla yang merupakan bayi kelahiran Desember tahun 2021 di Batani, Kabupaten Pegunungan Bintang. Kasus pasien gizi buruk ini awalnya diketahui dari grup WhatsApp para dokter yang memposting kondisi pasien. Setelah itu foto ini beredar di sejumlah grup WhatsApp dan langsung ramai dibicarakan. Ada yang mengatakan bahwa Papua memiliki banyak uang, namun mengapa masih ada pasien gizi buruk.

   Seperti cerita awalnya pasien ini diketahui berada di Distrik Nalca Kabupaten Yahukimo. Keberadaannya di Nalca bukan tanpa alasan.  Sang ayah, Norten Salla mengaku khawatir apabila ada apa – apa dengan sang anak semisal meninggal, maka ia akan semakin sulit untuk menangani.

   Sebelumnya Demesto dirawat di keluarga sang ayah di Sentani, Kabupaten Jayapura selama kurang lebih 9 bulan. Ini karena sang ayah harus bekerja sebagai guru honor di Pegunungan Bintang. Ia mengajar IPA dan Matematika di salah satu SMP Inpres disana.

   Selama dirawat oleh pihak keluarga, Norten tak lupa mengirimkan uang untuk kebutuhan sang anak. “Kadang satu bulan saya kirim Rp 500 ribu, untuk beli susu atau yang lainnya. Saya memang titip anak ini (Demesto Salla) di keluarga karena saya harus kerja,” kata Norten saat ditemui di ruang rawat inap anak RSUD Dok II  pekan kemarin.

Baca Juga :  RSUD Wamena Terbitkan Tunggakan Hutang bagi Pemkab Se- Lapago

  Norten dulu pernah berkeluarga dan ia memiliki empat anak, namun anak nomor 1 meninggal dan anak nomor 2 dibawa sang istri, dan anak ketiga berada di Nalca kemudian anak keempat adalah Demesto sendiri.

  Hanya Norten tidak lagi tinggal bersama sang istri. “Dia (istri) sudah pergi dan bawa anak kedua,” ceritanya.

  Dari kondisi itulah ia harus berjuang menafkahi 3 anaknya dengan mengajar. Norten juga mengaku kaget karena tidak menyangka jika anak bungsunya ini mengalami kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Ia tidak pernah menyangka jika putra kelahiran 17 Desember 2021 ini akan mengalami kondisi gizi buruk.

“Saya sempat kecewa juga, setelah tahu anak saya seperti ini. Setelah saya kembali dari Oksibil ke Sentani pada 4 Mei lalu saya kaget karena anak saya sakit dan kurus sekali akhirnya hari Senin, 8 Mei saya berangkat ke Nalca dan  hari Selasa saya bawa anak ini ke klinik disana,” bebernya.

  Saat di klinik inilah kasus Demesto mencuat.  Mirisnya, sang ayah Norten memiliki alasan yang memprihatinkan mengapa ia harus membawa sang anak dengan kondisi tak sehat itu justru kembali ke kampung yang notabene fasilitas kesehatan tidak selengkap di kota.

“Saya takut kalau anak ini ada apa – apa. Misalnya meninggal begitu saja karena kondisinya sudah parah jadi saya bawa ke Nalca. Kalau tetap di Sentani saya harus siapkan banyak uang untuk biaya pemakaman apabila anak saya meninggal,” ungkap Norten.

  Ia menyebut  jika bayinya ini dipanggil Tuhan, maka ia membutuhkan ambulance, kemudian lokasi pemakaman dan lain – lain. “Dan itu saya harus bayar semua, paling tidak saya harus siapkan uang sekitar Rp 3 juta dan agak sulit bagi saya,” jelasnya.

Baca Juga :  Jangan Sampai Orang Lain Kuasai, Baru Menyesal di Belakang

   Hanya ia bersyukur bahwa Demesto akhirnya bisa tertangani dengan baik. Ia sempat kaget lantaran ada penjemputan menggunakan pesawat langsung ke Nalca. Disitulah ia mengetahui jika sang anak memang dalam kondisi harus ditangani segera.

“Saya juga sudah bingung, yang jelas kalau dimakamkan di Nalca itukan bebas. Ada keluarga disana, mama saya disana jadi tidak membayar mahal. Tinggal kubur,” tambah Norten.

  Saat ini Demesto sudah mulai membaik setelah Dinas Kesehatan Yahukimo melakukan penanganan segera dengan menjemput pasien dari Nalca dan langsung diterbangkan ke Jayapura via lapangan terbang Advent Doyo Baru.

“Kalau dilihat dari riwayat kelahiran, pasien ini lahir di Pegunungan Bintang dan ayahnya juga kerja disana tapi dibawa ke Nalca karena ada keluarganya   disana dan kami melakukan penanganan segera untuk menyelamatkan. Yang penting bayi ini tertolong  dulu,” singkat Kepala Dinas Kesehatan Yahukimo, Lesman Tabuni.

   Lesman ikut menyayangkan bahwa kondisi ini seharusnya tidak terjadi jika orang tua memiliki pemahaman yang baik soal gizi. “Ini kembali ke orang tua atau keluarga, sebab gizi anak itu yang tahu orang tua. Anak diberi makan apa itu yang paham orang tua. Lalu saat ditinggal kan pasien ini ada di Sentani, seharusnya orang yang diberi kepercayaan ini bisa membawa pasien ke puskesmas sebelum kondisinya menjadi lebih parah,” kata Lesman.

  Namun ia bersyukur karena pasien kini sudah ditangani medis. “Kami berharap jangan sampai ada yang seperti ini lagi, orang tua harus mengawal gizi anak. Kalau dibilang keluarga tidak mampu nanti kami cek, berapa penghasilan bulanannya dan apakah makannya normal atau tidak atau memang ada yang salah dalam penanganan,” tutupnya.  (*/tri)

Mendengar Pengakuan Orang Tua Pasien Gizi Buruk yang Kini Dirawat di RSUD Jayapura

Wajah dunia kesehatan di Papua kembali menjadi sorotan. Kasus gizi buruk muncul ke permukaan. Seorang bayi berusia 1 tahun lebih didiagnosa mengalami penyakit ini. Untungnya cepat tertangani.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura

Di tengah gelontoran dana Otsus ke Papua, dimana minimal 30 % harus  dianggarkan untuk pendidikan dan 20 %  untuk kesehatan, namun kenyataannya hingga kini masih banyak hal yang patut dievaluasi. Keberpihakan anggaran untuk sesuatu yang riil menjadi catatan khusus. Apakah sudah sesuai harapan atau sebaliknya.

Begitu juga dengan kondisi kesehatan di Papua dimana masih membutuhkan banyak perhatian. Salah satu yang sempat menonjol sepekan terakhir adalah temuan pasien gizi buruk di Papua. Sebuah kondisi yang sepatutnya sudah bisa ditangani jauh – jauh hari dan tidak lagi menjadi momok bagi wajah kesehatan di Papua.

   Pasien tersebut bernama Demesto Salla yang merupakan bayi kelahiran Desember tahun 2021 di Batani, Kabupaten Pegunungan Bintang. Kasus pasien gizi buruk ini awalnya diketahui dari grup WhatsApp para dokter yang memposting kondisi pasien. Setelah itu foto ini beredar di sejumlah grup WhatsApp dan langsung ramai dibicarakan. Ada yang mengatakan bahwa Papua memiliki banyak uang, namun mengapa masih ada pasien gizi buruk.

   Seperti cerita awalnya pasien ini diketahui berada di Distrik Nalca Kabupaten Yahukimo. Keberadaannya di Nalca bukan tanpa alasan.  Sang ayah, Norten Salla mengaku khawatir apabila ada apa – apa dengan sang anak semisal meninggal, maka ia akan semakin sulit untuk menangani.

   Sebelumnya Demesto dirawat di keluarga sang ayah di Sentani, Kabupaten Jayapura selama kurang lebih 9 bulan. Ini karena sang ayah harus bekerja sebagai guru honor di Pegunungan Bintang. Ia mengajar IPA dan Matematika di salah satu SMP Inpres disana.

   Selama dirawat oleh pihak keluarga, Norten tak lupa mengirimkan uang untuk kebutuhan sang anak. “Kadang satu bulan saya kirim Rp 500 ribu, untuk beli susu atau yang lainnya. Saya memang titip anak ini (Demesto Salla) di keluarga karena saya harus kerja,” kata Norten saat ditemui di ruang rawat inap anak RSUD Dok II  pekan kemarin.

Baca Juga :  Pakai Bahan dan Bumbu yang Selalu Baru

  Norten dulu pernah berkeluarga dan ia memiliki empat anak, namun anak nomor 1 meninggal dan anak nomor 2 dibawa sang istri, dan anak ketiga berada di Nalca kemudian anak keempat adalah Demesto sendiri.

  Hanya Norten tidak lagi tinggal bersama sang istri. “Dia (istri) sudah pergi dan bawa anak kedua,” ceritanya.

  Dari kondisi itulah ia harus berjuang menafkahi 3 anaknya dengan mengajar. Norten juga mengaku kaget karena tidak menyangka jika anak bungsunya ini mengalami kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Ia tidak pernah menyangka jika putra kelahiran 17 Desember 2021 ini akan mengalami kondisi gizi buruk.

“Saya sempat kecewa juga, setelah tahu anak saya seperti ini. Setelah saya kembali dari Oksibil ke Sentani pada 4 Mei lalu saya kaget karena anak saya sakit dan kurus sekali akhirnya hari Senin, 8 Mei saya berangkat ke Nalca dan  hari Selasa saya bawa anak ini ke klinik disana,” bebernya.

  Saat di klinik inilah kasus Demesto mencuat.  Mirisnya, sang ayah Norten memiliki alasan yang memprihatinkan mengapa ia harus membawa sang anak dengan kondisi tak sehat itu justru kembali ke kampung yang notabene fasilitas kesehatan tidak selengkap di kota.

“Saya takut kalau anak ini ada apa – apa. Misalnya meninggal begitu saja karena kondisinya sudah parah jadi saya bawa ke Nalca. Kalau tetap di Sentani saya harus siapkan banyak uang untuk biaya pemakaman apabila anak saya meninggal,” ungkap Norten.

  Ia menyebut  jika bayinya ini dipanggil Tuhan, maka ia membutuhkan ambulance, kemudian lokasi pemakaman dan lain – lain. “Dan itu saya harus bayar semua, paling tidak saya harus siapkan uang sekitar Rp 3 juta dan agak sulit bagi saya,” jelasnya.

Baca Juga :  Sempat Putus Asa, Terus Semangat, Siap Jual ke Pasaran Usai Urus Label Halal

   Hanya ia bersyukur bahwa Demesto akhirnya bisa tertangani dengan baik. Ia sempat kaget lantaran ada penjemputan menggunakan pesawat langsung ke Nalca. Disitulah ia mengetahui jika sang anak memang dalam kondisi harus ditangani segera.

“Saya juga sudah bingung, yang jelas kalau dimakamkan di Nalca itukan bebas. Ada keluarga disana, mama saya disana jadi tidak membayar mahal. Tinggal kubur,” tambah Norten.

  Saat ini Demesto sudah mulai membaik setelah Dinas Kesehatan Yahukimo melakukan penanganan segera dengan menjemput pasien dari Nalca dan langsung diterbangkan ke Jayapura via lapangan terbang Advent Doyo Baru.

“Kalau dilihat dari riwayat kelahiran, pasien ini lahir di Pegunungan Bintang dan ayahnya juga kerja disana tapi dibawa ke Nalca karena ada keluarganya   disana dan kami melakukan penanganan segera untuk menyelamatkan. Yang penting bayi ini tertolong  dulu,” singkat Kepala Dinas Kesehatan Yahukimo, Lesman Tabuni.

   Lesman ikut menyayangkan bahwa kondisi ini seharusnya tidak terjadi jika orang tua memiliki pemahaman yang baik soal gizi. “Ini kembali ke orang tua atau keluarga, sebab gizi anak itu yang tahu orang tua. Anak diberi makan apa itu yang paham orang tua. Lalu saat ditinggal kan pasien ini ada di Sentani, seharusnya orang yang diberi kepercayaan ini bisa membawa pasien ke puskesmas sebelum kondisinya menjadi lebih parah,” kata Lesman.

  Namun ia bersyukur karena pasien kini sudah ditangani medis. “Kami berharap jangan sampai ada yang seperti ini lagi, orang tua harus mengawal gizi anak. Kalau dibilang keluarga tidak mampu nanti kami cek, berapa penghasilan bulanannya dan apakah makannya normal atau tidak atau memang ada yang salah dalam penanganan,” tutupnya.  (*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya