Upacara Karapao dilakukan di sebuah bangunan sementara yang berbentuk persegi panjang, dengan dinding yang disulap dari anyaman daun sagu, tiang-tiangnya saling terikat, dan atapnya terbuat dari jerami. Lebarnya kira-kira 3 meter dan panjangnya bergantung pada jumlah pintu. Sedangkan jumlah pintu bergantung pada jumlah anak yang akan menjalani upacara tersebut.
Untuk memastikan seorang anak siap mengikuti upacara Karapao, hal yang dilakukan adalah dengan menyuruh anak dari masing-masing Taparo (mata rumah-red) memanjat tiang kayu yang ditanam di depan rumah adat tersebut kemudian meraih kain atau rumbai-rumbai yang diletakkan pada ujung kayu.
Setelah menggapainya, kain atau rumbai-rumbai itu kemudian dijatuhkan kepada orang tua dari sang anak yang berada tepat dibawah tiang, orang tua lalu meraih kain atau rumbai-rumbai tersebut.
Selanjutnya, setelah turun dari ketinggian, rumbai-rumbai yang sudah digapai oleh orang tua tadi selanjutnya dikenakan kepada anak dan dibawa ke kali (sungai) untuk menjalani ritual-ritual tertentu yang dipercayai dapat menjadi kontak khusus antara orang tua bersama para leluhur untuk memperkenalkan bahwa anak tersebut nantinya akan menjadi pewaris tradisi maupun warisan-warisan adat yang dimiliki suku Kamoro kedepan.
Kepala Kantor Wilayah Hukum Provinsi Papua, Anthonius M. Ayorbaba secara resmi telah menyerahkan sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal dua warisan budaya suku Kamoro tersebut kepada Bupati Mimika, Johannes Rettob dan juga perwakilan masyarakat adat setempat di Mimika pada Sabtu, 12 Juli 2025 lalu.
Johannes Rettob mengatakan, upaya ini telah melalui proses yang panjang sejak tahun 2022 saat dirinya masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati. “Jadi waktu itu sama masih menjabat sebagai Plt, jadi saya harus jadi bupati baru saya serahkan itu (sertifikat-red),” tutur Bupati John, sapaan akrabnya. Anthonius M. Ayorbaba, mengatakan bahwa dua warisan budaya tersebut merupakan potensi budaya yang sungguh luar biasa.