Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Beri Terapi Psikologis lewat Drama tentang Cerita Hidup

Prof Yusti Probowati dan Shelter Rumah Hati untuk Eks Napi Anak

Sudah lebih dari satu dekade shelter Rumah Hati yang didirikan Prof Yusti Probowati menampung dan membina para eks napi anak. Mereka ditampung enam bulan sampai bisa survive dan mandiri.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya

KEPUTUSAN itu buah dari sejumlah lawatan. Prof Yusti Probowati Psi pun memutuskan untuk mendirikan shelter bagi anak-anak eks narapidana (napi).  “Saya kebetulan mendapatkan dana dari Jerman,” kata  guru besar psikologi forensik Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut kepada Jawa Pos beberapa pekan lalu.

Dari pengalamannya berkeliling ke beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas), salah satunya lapas anak di Blitar, perempuan 58 tahun itu tahu kesulitan yang dihadapi ana keks anak napi sekeluar mereka dari bui.

Salah satunya, banyak dari mereka sudah tidak punya orang tua lagi. Jadi, mereka tak tahu apa itu rumah dan karenanya tak tahu harus pulang ke mana.

Pada 2011 saat Yusti mulai merintitas pendirian shelter, belum ada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (diversi). Yakni, pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Itu membuat pendirian shelter yang kemudian dia beri nama Rumah Hati tersebut tidak mudah. Banyak penolakan dari lingkungan sekitar. Masih ada segunung beban stigma.

Hingga akhirnya Yusti mendapatkan rumah yang bisa dijadikan shelter Rumah Hati di Jombang, Jawa Timur. Tapi,  masih ada kendala lain: tidak mudah juga mendapatkan anak-anak untuk masuk ke shelter.

’’Saya harus membangun kepercayaan dengan Lapas dan Bapas (Balai Pemasyarakatan) agar mereka percaya kepada kami bahwa benar-benar melakukan pembinaan,’’ ucapnya.

Baca Juga :  Megawati Nambah Tiga Kali, Dibungkus Daun Simpur supaya Aroma Khas Keluar

Penghuni awal shelter Rumah Hati hanya dua anak. Saat itu, sudah lahir UU Nomor 11 Tahun 2012 bahwa peradilan anak boleh diversi. ’’Mereka datang dari berbagai daerah. Ada dari Probolinggo, Madiun dan lain-lain. Anak-anak yang diversi banyak diserahkan ke kami,’’ katanya.

Sejak 2011 hingga sekarang, lanjut dia, shelter Rumah Hati masih terus aktif digunakan untuk menampung dan membina anak-anak bekas napi. Total ada 75 anak yang sudah dibina hingga ekarang.

Mereka dari berbagai kasus dan karakteristik. Semuanya laki-laki. ’’Setiap periode anak yang masuk shelter akan tinggal enam bulan hingga mereka bisa survive dan mandiri. Namun, ada juga yang lebih dari durasi tersebut.

Dalam membina anak-anak eks napi tentu tidak semua berjalan mulus. Ada beberapa anak yang keluar dari shelter dan kembali melakukan suatu kejahatan lagi. Biasanya hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki orang tua.

Namun, Sebagian besar yang lain terbilang berhasil menata hidup setelah tinggal enam bulan di shelter Rumah Hati. Meski tidak bisa bekerja di perusahaan swasta maupun menjadi pegawai negeri sipil (PNS), mereka bisa menjadi wirausaha atau di tempat usaha informal yang membutuhkan keterampilan. Seperti tukang cukur rambut dan bengkel.

  “Alumni shelter Rumah Hati terus dijalin hubungannya dengan baik. Mereka sering beberapa kali datang ke shelter untuk memberikan motivasi kepada anak-anak eka napi,” katanya.

Yusti menuturkan, salah satu masalah yang dialami para anak eks napi adalah persoalan psikologi. Mereka sulit mengikuti aturan atau dalam psikologis dikenal sebagai perilaku antisosial.

Baca Juga :  Faktor Pelatih, Main Sepenuh Hati, dan Size yang ”Does Matter”

Untuk membuat mereka paham dan patuh aturan, butuh terapi.  “Kami membuat mereka melakukan aturan yang dibuat di dalam shelter, mulai dari bangun tidur sa mpai tidur lagi. Misalnya tentang kedisiplinan,” jelasnya.

Anak-anak eks napi biasanya tidak menyukai sekolah. Namun, mereka sangat suka kegiatan keterampilan. Di antaranya, reparasi handphone, bengkel, dan las, dan lain-lain. Mereka yang berhasil mengikuti aturan juga akan mendapatkan reward.   “Namun, bagi mereka yang melakukan pelanggaran, akan mendapatkan penerapan intervensi perilaku,” kata dia.

Dengan latar belakang keilmuan psikologi, Yusti dan tim memilih memberikan terapi drama. Di dalam terapi tersebut, anak bisa belajar tentang kedisiplinan, kerja sama, dan percaya diri.

Salah satu karya yang dihasilkan adalah teater drama berjudul “Hikayat Selembar Tubuh” yang ditampilkan terbuka. “Ini sudah karya keempat teater drama yang dibikin dan diperankan oleh anak-anak eks napi,” ujarnya.

Selama empat bulan, lanjut dia, anak-anak shelter Rumah Hati dilatih drama oleh tim yang memang seniman teater. Mereka diajarkan berdialog sebagai terapi.

Setiap drama teater yang dimainkan merupakan kisah hidup mereka. Ada kemarahan, perjuangan, hingga kebangkitan. Dalam konsep psikologi, orang bisa bercerita tentang masalahnya yang disebut dengan katarsis.   “Seberapa katarsis anak-anak tentu akan berbeda-beda. Ada porsinya lebih banyak dan sedikit. Itu bergantung kesiapan mereka bercerita,” katanya.

Yusti mengatakan, sejatinya banyak Lapas dan Bapas yang menitipkan anak dengan kasus narkoba. Namun, kemampuan yang dimiliki tim di dalam shelter Rumah Hati tidak sanggup untuk kasus tersebut.   “Saat ini, kami mengambil kasus-kasus yang relatif tidak berat. Contohnya, misalnya pencurian dan asusila,” ujarnya. (*/ttg)

Prof Yusti Probowati dan Shelter Rumah Hati untuk Eks Napi Anak

Sudah lebih dari satu dekade shelter Rumah Hati yang didirikan Prof Yusti Probowati menampung dan membina para eks napi anak. Mereka ditampung enam bulan sampai bisa survive dan mandiri.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya

KEPUTUSAN itu buah dari sejumlah lawatan. Prof Yusti Probowati Psi pun memutuskan untuk mendirikan shelter bagi anak-anak eks narapidana (napi).  “Saya kebetulan mendapatkan dana dari Jerman,” kata  guru besar psikologi forensik Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut kepada Jawa Pos beberapa pekan lalu.

Dari pengalamannya berkeliling ke beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas), salah satunya lapas anak di Blitar, perempuan 58 tahun itu tahu kesulitan yang dihadapi ana keks anak napi sekeluar mereka dari bui.

Salah satunya, banyak dari mereka sudah tidak punya orang tua lagi. Jadi, mereka tak tahu apa itu rumah dan karenanya tak tahu harus pulang ke mana.

Pada 2011 saat Yusti mulai merintitas pendirian shelter, belum ada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (diversi). Yakni, pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Itu membuat pendirian shelter yang kemudian dia beri nama Rumah Hati tersebut tidak mudah. Banyak penolakan dari lingkungan sekitar. Masih ada segunung beban stigma.

Hingga akhirnya Yusti mendapatkan rumah yang bisa dijadikan shelter Rumah Hati di Jombang, Jawa Timur. Tapi,  masih ada kendala lain: tidak mudah juga mendapatkan anak-anak untuk masuk ke shelter.

’’Saya harus membangun kepercayaan dengan Lapas dan Bapas (Balai Pemasyarakatan) agar mereka percaya kepada kami bahwa benar-benar melakukan pembinaan,’’ ucapnya.

Baca Juga :  Tekan Angka Kematian Ibu dan Anak Butuh Kerja Sama

Penghuni awal shelter Rumah Hati hanya dua anak. Saat itu, sudah lahir UU Nomor 11 Tahun 2012 bahwa peradilan anak boleh diversi. ’’Mereka datang dari berbagai daerah. Ada dari Probolinggo, Madiun dan lain-lain. Anak-anak yang diversi banyak diserahkan ke kami,’’ katanya.

Sejak 2011 hingga sekarang, lanjut dia, shelter Rumah Hati masih terus aktif digunakan untuk menampung dan membina anak-anak bekas napi. Total ada 75 anak yang sudah dibina hingga ekarang.

Mereka dari berbagai kasus dan karakteristik. Semuanya laki-laki. ’’Setiap periode anak yang masuk shelter akan tinggal enam bulan hingga mereka bisa survive dan mandiri. Namun, ada juga yang lebih dari durasi tersebut.

Dalam membina anak-anak eks napi tentu tidak semua berjalan mulus. Ada beberapa anak yang keluar dari shelter dan kembali melakukan suatu kejahatan lagi. Biasanya hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki orang tua.

Namun, Sebagian besar yang lain terbilang berhasil menata hidup setelah tinggal enam bulan di shelter Rumah Hati. Meski tidak bisa bekerja di perusahaan swasta maupun menjadi pegawai negeri sipil (PNS), mereka bisa menjadi wirausaha atau di tempat usaha informal yang membutuhkan keterampilan. Seperti tukang cukur rambut dan bengkel.

  “Alumni shelter Rumah Hati terus dijalin hubungannya dengan baik. Mereka sering beberapa kali datang ke shelter untuk memberikan motivasi kepada anak-anak eka napi,” katanya.

Yusti menuturkan, salah satu masalah yang dialami para anak eks napi adalah persoalan psikologi. Mereka sulit mengikuti aturan atau dalam psikologis dikenal sebagai perilaku antisosial.

Baca Juga :  Warga Pastikan Rumah dan Kompor Kondisi Aman Saat Ditinggal Mudik

Untuk membuat mereka paham dan patuh aturan, butuh terapi.  “Kami membuat mereka melakukan aturan yang dibuat di dalam shelter, mulai dari bangun tidur sa mpai tidur lagi. Misalnya tentang kedisiplinan,” jelasnya.

Anak-anak eks napi biasanya tidak menyukai sekolah. Namun, mereka sangat suka kegiatan keterampilan. Di antaranya, reparasi handphone, bengkel, dan las, dan lain-lain. Mereka yang berhasil mengikuti aturan juga akan mendapatkan reward.   “Namun, bagi mereka yang melakukan pelanggaran, akan mendapatkan penerapan intervensi perilaku,” kata dia.

Dengan latar belakang keilmuan psikologi, Yusti dan tim memilih memberikan terapi drama. Di dalam terapi tersebut, anak bisa belajar tentang kedisiplinan, kerja sama, dan percaya diri.

Salah satu karya yang dihasilkan adalah teater drama berjudul “Hikayat Selembar Tubuh” yang ditampilkan terbuka. “Ini sudah karya keempat teater drama yang dibikin dan diperankan oleh anak-anak eks napi,” ujarnya.

Selama empat bulan, lanjut dia, anak-anak shelter Rumah Hati dilatih drama oleh tim yang memang seniman teater. Mereka diajarkan berdialog sebagai terapi.

Setiap drama teater yang dimainkan merupakan kisah hidup mereka. Ada kemarahan, perjuangan, hingga kebangkitan. Dalam konsep psikologi, orang bisa bercerita tentang masalahnya yang disebut dengan katarsis.   “Seberapa katarsis anak-anak tentu akan berbeda-beda. Ada porsinya lebih banyak dan sedikit. Itu bergantung kesiapan mereka bercerita,” katanya.

Yusti mengatakan, sejatinya banyak Lapas dan Bapas yang menitipkan anak dengan kasus narkoba. Namun, kemampuan yang dimiliki tim di dalam shelter Rumah Hati tidak sanggup untuk kasus tersebut.   “Saat ini, kami mengambil kasus-kasus yang relatif tidak berat. Contohnya, misalnya pencurian dan asusila,” ujarnya. (*/ttg)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya