Tuesday, October 14, 2025
23.7 C
Jayapura

Bisa Jadi Gubernur BI Namun Deg degan Saat Mengangkat Batangan Emas

Jarum jam menunjukkan pukul 12.00 WIB. Namun aktivitas pengunjung masih terlihat. Tak sedikit remaja dari berbagai tingkatan sekolah masih terlihat mengantre. Rombongan wartawan dan BI Papua diajak masuk ke ruang sebelah kanan dari lobby. Namanya ruangan transaksi tunai. Patung-patung bertubuh tegap yang sedang melakukan transaksi keuangan. Mereka para kasir dari De Javashe Bank (DJB).

Begitu melangkah masuk, suasana gedung tua langsung berpadu dengan instalasi digital yang canggih. Langit-langit tinggi, marmer mengilap, dan pencahayaan dramatis bikin siapa pun langsung angkat kamera. Yup, spot Instagramable bertebaran di setiap sudut. Tapi daya tarik utama museum ini bukan cuma tampilannya, melainkan cara ia bercerita. Dari era perdagangan kuno hingga krisis moneter dan lahirnya rupiah digital, semua dijabarkan lewat media yang interaktif dan nggak membosankan.

Ada layar sentuh, augmented reality, bahkan ruang teater mini dengan efek suara dan visual imersif seolah kamu lagi nonton sejarah dalam 360 derajat. Anak-anak muda, pelajar, bahkan orang tua pun betah berlama-lama di dalam. Salah satu bagian favorit pengunjung adalah zona “Cyber Museum.” Di sini, kamu bisa belajar jadi “Gubernur Bank Indonesia” versi simulasi.

Baca Juga :  Harus Terus Berjuang, Semangat Pemuda Tidak Boleh Padam

Seru banget karena kamu bisa coba ngatur kebijakan moneter, mengendalikan inflasi, dan melihat dampaknya ke masyarakat virtual. Serasa main game, tapi isinya ilmu semua. Di ruangan lain, kamu bisa angkat batangan emas asli dan merasakan betapa beratnya “kekayaan” negara yang sesungguhnya. Koleksi uang kuno dari berbagai era dan negara juga jadi magnet tersendiri.

Dari uang koin masa kerajaan Nusantara, uang Jepang saat pendudukan, hingga uang ORI pertama setelah kemerdekaan semuanya tertata apik dalam ruang display dengan pencahayaan keren. Di setiap ruangan menyuguhkan informasi yang bernilai sejarah tinggi. Tidak melulu fokus tentang uang, namun juga sepenggal riwayat perjuangan kemerdekaan. Bahkan kisah pahit krisis moneter tahun 1998 di Indonesia.

Baca Juga :  Jaga Kesehatan Petugas di TPS, Dinkes Turunkan Tim Kesehatan

“Ibu kota saat itu chaos, kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran meledak,” ujar Nia. Bukan hanya itu, koleksi di museum ini sangat beragam. Di antaranya koin dari era kerajaan Nusantara, uang kertas pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) tahun 1946, hingga Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang diterbitkan pada masa revolusi 1947–1950.

Koleksi lain yang menarik adalah Ruang Emas Moneter, tempat dipajang replika emas batangan seberat 13,5 kilogram per batang. Tak ketinggalan, museum juga memamerkan artefak Krisis Moneter 1998, seperti mesin ATM rusak hingga motor bekas dibakar, yang menggambarkan kekacauan ekonomi saat itu. Pada ruangan yang sama, pengunjung juga bisa mengintip lingkaran kaca yang menampilkan visual grafik anjloknya nilai rupiah masa itu.

Jarum jam menunjukkan pukul 12.00 WIB. Namun aktivitas pengunjung masih terlihat. Tak sedikit remaja dari berbagai tingkatan sekolah masih terlihat mengantre. Rombongan wartawan dan BI Papua diajak masuk ke ruang sebelah kanan dari lobby. Namanya ruangan transaksi tunai. Patung-patung bertubuh tegap yang sedang melakukan transaksi keuangan. Mereka para kasir dari De Javashe Bank (DJB).

Begitu melangkah masuk, suasana gedung tua langsung berpadu dengan instalasi digital yang canggih. Langit-langit tinggi, marmer mengilap, dan pencahayaan dramatis bikin siapa pun langsung angkat kamera. Yup, spot Instagramable bertebaran di setiap sudut. Tapi daya tarik utama museum ini bukan cuma tampilannya, melainkan cara ia bercerita. Dari era perdagangan kuno hingga krisis moneter dan lahirnya rupiah digital, semua dijabarkan lewat media yang interaktif dan nggak membosankan.

Ada layar sentuh, augmented reality, bahkan ruang teater mini dengan efek suara dan visual imersif seolah kamu lagi nonton sejarah dalam 360 derajat. Anak-anak muda, pelajar, bahkan orang tua pun betah berlama-lama di dalam. Salah satu bagian favorit pengunjung adalah zona “Cyber Museum.” Di sini, kamu bisa belajar jadi “Gubernur Bank Indonesia” versi simulasi.

Baca Juga :  Menembus Hutan Belantara, Untuk Kembalikan Masyarakat Adat ke Tanah Leluhur

Seru banget karena kamu bisa coba ngatur kebijakan moneter, mengendalikan inflasi, dan melihat dampaknya ke masyarakat virtual. Serasa main game, tapi isinya ilmu semua. Di ruangan lain, kamu bisa angkat batangan emas asli dan merasakan betapa beratnya “kekayaan” negara yang sesungguhnya. Koleksi uang kuno dari berbagai era dan negara juga jadi magnet tersendiri.

Dari uang koin masa kerajaan Nusantara, uang Jepang saat pendudukan, hingga uang ORI pertama setelah kemerdekaan semuanya tertata apik dalam ruang display dengan pencahayaan keren. Di setiap ruangan menyuguhkan informasi yang bernilai sejarah tinggi. Tidak melulu fokus tentang uang, namun juga sepenggal riwayat perjuangan kemerdekaan. Bahkan kisah pahit krisis moneter tahun 1998 di Indonesia.

Baca Juga :  Penjualan Tahun ini 50% Stok Tahun Lalu, Itu pun Masih Tak Laku

“Ibu kota saat itu chaos, kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran meledak,” ujar Nia. Bukan hanya itu, koleksi di museum ini sangat beragam. Di antaranya koin dari era kerajaan Nusantara, uang kertas pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) tahun 1946, hingga Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang diterbitkan pada masa revolusi 1947–1950.

Koleksi lain yang menarik adalah Ruang Emas Moneter, tempat dipajang replika emas batangan seberat 13,5 kilogram per batang. Tak ketinggalan, museum juga memamerkan artefak Krisis Moneter 1998, seperti mesin ATM rusak hingga motor bekas dibakar, yang menggambarkan kekacauan ekonomi saat itu. Pada ruangan yang sama, pengunjung juga bisa mengintip lingkaran kaca yang menampilkan visual grafik anjloknya nilai rupiah masa itu.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya