Saturday, April 27, 2024
24.7 C
Jayapura

Mau Jadi Presiden,  Makan Soto Gading Dulu

Soto Ayam Kuah Bening yang Disukai Megawati dan Jadi Langganan Jokowi (29)

Mulai berjualan pada 1975, Soto Ayam Gading I masih bertahan di tangan generasi ketiga. Cita rasanya masih tetap sama. Suasana lawas di warung beratap rendah itu juga masih terjaga. Pesona yang membuat Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkenan menikmati racikan soto berkuah bening di sana.

RETNO DYAH AGUSTINA, Solo

BUKAN foto makanan yang menghiasi warung Soto Ayam Gading I di Jalan Brigjen Sudiarto, Solo, itu. Foto gamelan, Presiden Ke-1 RI Soekarno, dan sejumlah tokohlah yang menghuni dinding papan berkelir hijau tersebut. Dinding itu memang langsung menarik perhatian pengunjung karena berbeda dengan tembok lain yang tertutup keramik putih.

Area sekitar dinding hijau tersebut juga menghadirkan kesan yang berbeda. Kuno. Pengunjung seakan diajak kembali ke masa lalu. Saat warung-warung soto menawarkan kehangatan rumah kepada para pelanggannya.

”Memang sengaja mau mempertahankan suasana lawas begini,” ucap Sekarsari Sugihartono, pengelola Soto Ayam Gading I, saat ditemui Jawa Pos di warungnya pada Desember lalu. Suasana tradisional itu punya daya tarik nan magis. Kayu tulangan pada atap yang tetap dibiarkan rendah menghadirkan kesan hangat.

Kelawasan warung yang lebih dikenal dengan nama Soto Gading tersebut bukan sekadar hiasan. Sebagai penerus bisnis keluarga, Sekar (sapaan Sekarsari Sugihartono) pun mempertahankan segala hal yang sejak awal ditanamkan sang kakek. ”Menu-menu utama tetap seperti ini sejak dulu. Kebanyakan yang berubah malah jenis makanan ringannya,” kata dia.

Makanan ringan yang dia maksud adalah camilan dan klethikan titipan pihak ketiga. Soto Gading tidak memproduksi sendiri penganan yang tersaji di meja dan biasanya dijadikan pelanggan teman makan soto tersebut.

Sebagai pewaris tradisi, Sekar juga menjaga betul keramahan khas Soto Gading. Pelayanan kepada para pengunjung tetap maksimal. Gadis 25 tahun itu mengatakan bahwa penjualan via ojek atau aplikasi daring tidak menjadi andalannya. Bahkan di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang. ”Banyak yang suka makan di tempat. Katanya beda saja kalau makan sendiri di rumah,” sambungnya.

Kebanyakan pelanggan yang datang ke warung dan tidak mau melanggar protokol kesehatan lantas memilih makan di dalam mobil. Jadi, soto diantar ke mobil yang mereka parkir di pinggir jalan. Itu demi tidak kehilangan sensasi ngiras alias makan di tempat. Meskipun definisi tempat (warung) kemudian bergeser menjadi tempat parkir. Hehe…

Alex, salah satu pelanggan setia Soto Gading, membenarkan apa yang disampaikan Sekar. Setiap pagi dia datang ke warung untuk sarapan. Kebiasaan itu tetap dia lakukan setiap hari tanpa memperhitungkan sedang pandemi atau tidak. ”Tahun 1992 saya resmi pindah ke Solo. Terus jatuh cinta sama Soto Gading ini. Ya sampai sekarang pasti sarapan di sini,” ungkapnya.

Baca Juga :  Banyak Warga Belum Paham Hukum, Tidak Semua Persoalan Harus ke Pengadilan

Soto Gading memang punya rasa yang khas. Jika dibandingkan dengan soto Lamongan atau soto Betawi, Soto Gading terlihat paling polos. Sebab, kuahnya biasa saja, bening. Namun, kesan plain itu langsung lenyap begitu kuah menyentuh lidah. Kaldu dan rasa rempah yang ringan sukses membangkitkan selera. Suapan pertama pasti akan langsung disusul dengan banyak suapan berikutnya sampai semangkuk soto tandas.

Sekar mengatakan bahwa kunci kenikmatan kuahnya terletak pada racikan kemiri, daun bawang, jahe, merica, dan bawang putih. Meski tidak melibatkan kunyit yang dipercaya sebagai empon-empon pemercantik tampilan kuliner, Soto Gading tetap menggoda. Seporsi soto terdiri dari nasi, bihun, suwiran ayam yang empuk, dan irisan tomat. Pelanggan bisa menambahkan perasan jeruk nipis dan sambal jika suka.

Soto Gading memang paling nikmat disantap selagi hangat. Baik itu sebagai sarapan maupun selingan menjelang makan siang atau pada jam-jam tanggung. ”Kalau selingan ngobrol saja, bisa pesan nasi setengah porsi,” ucap mahasiswi magister UGM tersebut. Pelanggan, kata Sekar, juga bisa meminta tambahan lauk. Misalnya telur pindang atau sate brutu.

Sate brutu yang disajikan Soto Gading layak dicoba. Menu pelengkap itu adalah kesukaan Megawati. Rasa gurih brutu dan kekenyalannya yang khas menjadi pelengkap yang pas untuk semangkuk Soto Gading yang hangat.

Selain Megawati, presiden lain yang gemar menyantap Soto Gading adalah Jokowi. Sejak masih menjabat wali kota Solo, Jokowi sering makan langsung di warung. Dalam sepekan, pemimpin 60 tahun itu bisa singgah dua sampai tiga kali di warung. ”Biasanya habis kunjungan atau blusukan gitu, lalu makan siang di sini. Pakai sepeda, khas sekali,” ucap Sekar.

Kebiasaan itu berubah setelah Jokowi menjadi presiden. Tiap kali hendak bersantap di Soto Gading, Sekar dan para pegawainya harus berurusan dengan protokoler yang panjang. Jika sudah begitu, dia sengaja menutup warungnya karena semua kursi pasti terisi penuh oleh rombongan presiden.

Jejak Megawati dan Jokowi di Soto Gading sempat memunculkan selentingan inspiratif di kalangan para pelanggan. Khususnya di kalangan para politikus dan pejabat yang juga penikmat Soto Gading. ”Mereka bilang, kalau mau jadi presiden, ya harus makan di sini dulu,” ujar Sekar, kemudian tersenyum.

Obrolan itu dia dengar pada masa kampanye, saat sejumlah caleg menjadikan Soto Gading sebagai tempat nongkrong mereka. ”Buktinya ya Pak Jokowi itu. Sejak jadi wali kota rajin makan di sini sampai jadi presiden,” kata Sekar lagi menirukan omongan sejumlah pelanggan.

Baca Juga :  Antre 2,5 Jam untuk Dapatkan Migor 2 Kilogram

Soto Gading yang kini dikelola Sekar tersebut lahir dari ide Suharno Siswomartono pada 1975. Awalnya kakek Sekar itu berjualan di pasar tradisional kawasan Solo. ”Lokasi yang ini (di Brigjen Sudiarto, Red) memang jadi tempat pertama yang settled. Dulunya ngontrak tuh sejak 1980-an,” cerita perempuan kelahiran Solo tersebut.

Kini Soto Gading punya empat outlet yang tersebar di berbagai wilayah Solo. Pada tiap-tiap cabang ada inovasi baru yang lahir. Ada cabang yang menambahkan menu atau lauk baru. ”Ada yang sudah menambah soto daging,” jelas Sekar.

Soto Gading yang pertama tetap hanya menjual soto ayam. Salah satu alasannya adalah ukuran dapur restoran. Di cabang-cabang lain dapurnya lebih luas. Sehingga penambahan menu dan lauk yang sejalan dengan meningkatnya kesibukan di dapur akan tetap terakomodasi. Tapi tidak di Soto Gading Jalan Brigjen Sudiarto itu.

Sekar mengatakan bahwa tiap-tiap cabang dikelola anak-anak Suharno. ”Nah, yang tempat pertama ini diserahkan ke ayahku sebagai anak pertama. Baru tempat ini yang dikelola generasi ketiga,” papar dia. Tiga tempat lainnya masih dikelola generasi kedua atau anak-anak kandung Suharno.

Bagaimana bisa Sekar dipasrahi warung yang notabene adalah yang paling populer dibandingkan tiga outlet lainnya? ”Kesehatan bapak,” ujar Sekar. Saat dia berusia 23 tahun, kondisi fisik sang ayah melemah. Mau tidak mau, dia pun turun tangan.

Padahal, Sekar tidak pernah bersinggungan dengan bisnis kuliner yang diturunkan sang kakek tersebut. Apalagi, dia menuntut ilmu di Jakarta setelah lulus SMA. ”Pekerja di sini lebih tua dari aku. Pengalamannya juga sudah panjang,” kata Sekar. Maka, saat diserahi Soto Gading, ada kegentaran dalam hatinya.

Setahun pertama adalah masa yang paling berat. Sembari menjajaki bisnis kuliner dan mengenali karakter para pegawainya, Sekar juga harus belajar soal operasional warung. Di sisi lain, dia juga harus bisa memenangkan hati para pelanggan. ”Kadang pelanggan lama suka cari bapak. Mereka nggak mengenali aku karena lama kuliah di luar kota,” ungkapnya.

Mengelola bisnis keluarga memang gampang-gampang susah. Sebagai anak muda, Sekar tertantang untuk mengembangkan pemasaran warungnya. Terutama memperluas penetrasi pasar ke kalangan anak muda. Untuk itu, dia pun menggandeng Persis Solo. Kebetulan, hype sepak bola di Solo sedang tinggi. Adanya pergelaran liga juga menunjang hal tersebut.

Tiap kali Persis Solo berlaga, para pegawai Soto Gading kompak memakai seragam tim kebanggaan Solo tersebut. Pada aplikasi Persis Solo, Soto Gading juga menawarkan diskon khusus. Sejauh ini respons masyarakat Solo cukup positif. ”Jadi, sekarang kami sudah official partner,” tandas Sekar seraya menyunggingkan senyum semringah. (*/c9/hep/JPG)

Soto Ayam Kuah Bening yang Disukai Megawati dan Jadi Langganan Jokowi (29)

Mulai berjualan pada 1975, Soto Ayam Gading I masih bertahan di tangan generasi ketiga. Cita rasanya masih tetap sama. Suasana lawas di warung beratap rendah itu juga masih terjaga. Pesona yang membuat Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkenan menikmati racikan soto berkuah bening di sana.

RETNO DYAH AGUSTINA, Solo

BUKAN foto makanan yang menghiasi warung Soto Ayam Gading I di Jalan Brigjen Sudiarto, Solo, itu. Foto gamelan, Presiden Ke-1 RI Soekarno, dan sejumlah tokohlah yang menghuni dinding papan berkelir hijau tersebut. Dinding itu memang langsung menarik perhatian pengunjung karena berbeda dengan tembok lain yang tertutup keramik putih.

Area sekitar dinding hijau tersebut juga menghadirkan kesan yang berbeda. Kuno. Pengunjung seakan diajak kembali ke masa lalu. Saat warung-warung soto menawarkan kehangatan rumah kepada para pelanggannya.

”Memang sengaja mau mempertahankan suasana lawas begini,” ucap Sekarsari Sugihartono, pengelola Soto Ayam Gading I, saat ditemui Jawa Pos di warungnya pada Desember lalu. Suasana tradisional itu punya daya tarik nan magis. Kayu tulangan pada atap yang tetap dibiarkan rendah menghadirkan kesan hangat.

Kelawasan warung yang lebih dikenal dengan nama Soto Gading tersebut bukan sekadar hiasan. Sebagai penerus bisnis keluarga, Sekar (sapaan Sekarsari Sugihartono) pun mempertahankan segala hal yang sejak awal ditanamkan sang kakek. ”Menu-menu utama tetap seperti ini sejak dulu. Kebanyakan yang berubah malah jenis makanan ringannya,” kata dia.

Makanan ringan yang dia maksud adalah camilan dan klethikan titipan pihak ketiga. Soto Gading tidak memproduksi sendiri penganan yang tersaji di meja dan biasanya dijadikan pelanggan teman makan soto tersebut.

Sebagai pewaris tradisi, Sekar juga menjaga betul keramahan khas Soto Gading. Pelayanan kepada para pengunjung tetap maksimal. Gadis 25 tahun itu mengatakan bahwa penjualan via ojek atau aplikasi daring tidak menjadi andalannya. Bahkan di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang. ”Banyak yang suka makan di tempat. Katanya beda saja kalau makan sendiri di rumah,” sambungnya.

Kebanyakan pelanggan yang datang ke warung dan tidak mau melanggar protokol kesehatan lantas memilih makan di dalam mobil. Jadi, soto diantar ke mobil yang mereka parkir di pinggir jalan. Itu demi tidak kehilangan sensasi ngiras alias makan di tempat. Meskipun definisi tempat (warung) kemudian bergeser menjadi tempat parkir. Hehe…

Alex, salah satu pelanggan setia Soto Gading, membenarkan apa yang disampaikan Sekar. Setiap pagi dia datang ke warung untuk sarapan. Kebiasaan itu tetap dia lakukan setiap hari tanpa memperhitungkan sedang pandemi atau tidak. ”Tahun 1992 saya resmi pindah ke Solo. Terus jatuh cinta sama Soto Gading ini. Ya sampai sekarang pasti sarapan di sini,” ungkapnya.

Baca Juga :  Bertekad Setelah Bebas Akan Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

Soto Gading memang punya rasa yang khas. Jika dibandingkan dengan soto Lamongan atau soto Betawi, Soto Gading terlihat paling polos. Sebab, kuahnya biasa saja, bening. Namun, kesan plain itu langsung lenyap begitu kuah menyentuh lidah. Kaldu dan rasa rempah yang ringan sukses membangkitkan selera. Suapan pertama pasti akan langsung disusul dengan banyak suapan berikutnya sampai semangkuk soto tandas.

Sekar mengatakan bahwa kunci kenikmatan kuahnya terletak pada racikan kemiri, daun bawang, jahe, merica, dan bawang putih. Meski tidak melibatkan kunyit yang dipercaya sebagai empon-empon pemercantik tampilan kuliner, Soto Gading tetap menggoda. Seporsi soto terdiri dari nasi, bihun, suwiran ayam yang empuk, dan irisan tomat. Pelanggan bisa menambahkan perasan jeruk nipis dan sambal jika suka.

Soto Gading memang paling nikmat disantap selagi hangat. Baik itu sebagai sarapan maupun selingan menjelang makan siang atau pada jam-jam tanggung. ”Kalau selingan ngobrol saja, bisa pesan nasi setengah porsi,” ucap mahasiswi magister UGM tersebut. Pelanggan, kata Sekar, juga bisa meminta tambahan lauk. Misalnya telur pindang atau sate brutu.

Sate brutu yang disajikan Soto Gading layak dicoba. Menu pelengkap itu adalah kesukaan Megawati. Rasa gurih brutu dan kekenyalannya yang khas menjadi pelengkap yang pas untuk semangkuk Soto Gading yang hangat.

Selain Megawati, presiden lain yang gemar menyantap Soto Gading adalah Jokowi. Sejak masih menjabat wali kota Solo, Jokowi sering makan langsung di warung. Dalam sepekan, pemimpin 60 tahun itu bisa singgah dua sampai tiga kali di warung. ”Biasanya habis kunjungan atau blusukan gitu, lalu makan siang di sini. Pakai sepeda, khas sekali,” ucap Sekar.

Kebiasaan itu berubah setelah Jokowi menjadi presiden. Tiap kali hendak bersantap di Soto Gading, Sekar dan para pegawainya harus berurusan dengan protokoler yang panjang. Jika sudah begitu, dia sengaja menutup warungnya karena semua kursi pasti terisi penuh oleh rombongan presiden.

Jejak Megawati dan Jokowi di Soto Gading sempat memunculkan selentingan inspiratif di kalangan para pelanggan. Khususnya di kalangan para politikus dan pejabat yang juga penikmat Soto Gading. ”Mereka bilang, kalau mau jadi presiden, ya harus makan di sini dulu,” ujar Sekar, kemudian tersenyum.

Obrolan itu dia dengar pada masa kampanye, saat sejumlah caleg menjadikan Soto Gading sebagai tempat nongkrong mereka. ”Buktinya ya Pak Jokowi itu. Sejak jadi wali kota rajin makan di sini sampai jadi presiden,” kata Sekar lagi menirukan omongan sejumlah pelanggan.

Baca Juga :  Anak Muda Harus Memiliki Kemampuan Kompetitif

Soto Gading yang kini dikelola Sekar tersebut lahir dari ide Suharno Siswomartono pada 1975. Awalnya kakek Sekar itu berjualan di pasar tradisional kawasan Solo. ”Lokasi yang ini (di Brigjen Sudiarto, Red) memang jadi tempat pertama yang settled. Dulunya ngontrak tuh sejak 1980-an,” cerita perempuan kelahiran Solo tersebut.

Kini Soto Gading punya empat outlet yang tersebar di berbagai wilayah Solo. Pada tiap-tiap cabang ada inovasi baru yang lahir. Ada cabang yang menambahkan menu atau lauk baru. ”Ada yang sudah menambah soto daging,” jelas Sekar.

Soto Gading yang pertama tetap hanya menjual soto ayam. Salah satu alasannya adalah ukuran dapur restoran. Di cabang-cabang lain dapurnya lebih luas. Sehingga penambahan menu dan lauk yang sejalan dengan meningkatnya kesibukan di dapur akan tetap terakomodasi. Tapi tidak di Soto Gading Jalan Brigjen Sudiarto itu.

Sekar mengatakan bahwa tiap-tiap cabang dikelola anak-anak Suharno. ”Nah, yang tempat pertama ini diserahkan ke ayahku sebagai anak pertama. Baru tempat ini yang dikelola generasi ketiga,” papar dia. Tiga tempat lainnya masih dikelola generasi kedua atau anak-anak kandung Suharno.

Bagaimana bisa Sekar dipasrahi warung yang notabene adalah yang paling populer dibandingkan tiga outlet lainnya? ”Kesehatan bapak,” ujar Sekar. Saat dia berusia 23 tahun, kondisi fisik sang ayah melemah. Mau tidak mau, dia pun turun tangan.

Padahal, Sekar tidak pernah bersinggungan dengan bisnis kuliner yang diturunkan sang kakek tersebut. Apalagi, dia menuntut ilmu di Jakarta setelah lulus SMA. ”Pekerja di sini lebih tua dari aku. Pengalamannya juga sudah panjang,” kata Sekar. Maka, saat diserahi Soto Gading, ada kegentaran dalam hatinya.

Setahun pertama adalah masa yang paling berat. Sembari menjajaki bisnis kuliner dan mengenali karakter para pegawainya, Sekar juga harus belajar soal operasional warung. Di sisi lain, dia juga harus bisa memenangkan hati para pelanggan. ”Kadang pelanggan lama suka cari bapak. Mereka nggak mengenali aku karena lama kuliah di luar kota,” ungkapnya.

Mengelola bisnis keluarga memang gampang-gampang susah. Sebagai anak muda, Sekar tertantang untuk mengembangkan pemasaran warungnya. Terutama memperluas penetrasi pasar ke kalangan anak muda. Untuk itu, dia pun menggandeng Persis Solo. Kebetulan, hype sepak bola di Solo sedang tinggi. Adanya pergelaran liga juga menunjang hal tersebut.

Tiap kali Persis Solo berlaga, para pegawai Soto Gading kompak memakai seragam tim kebanggaan Solo tersebut. Pada aplikasi Persis Solo, Soto Gading juga menawarkan diskon khusus. Sejauh ini respons masyarakat Solo cukup positif. ”Jadi, sekarang kami sudah official partner,” tandas Sekar seraya menyunggingkan senyum semringah. (*/c9/hep/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya