Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Antre 2,5 Jam untuk Dapatkan Migor 2 Kilogram

Jumpalitan Sana-sini Mencari Minyak Goreng

Di berbagai penjuru, beragam cara ditempuh untuk bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai yang ditetapkan pemerintah. Ada yang memilih beralih ke minyak kelapa buatan sendiri. 

PAGI-pagi benar mereka datang. Saat, ibarat orang baru bangun tidur, pusat perbelanjaan itu sedang ’’menggeliat’’ dan ’’baru hendak cuci muka’’.

’’Pelanggan sudah tahu barang datang, jadi pagi-pagi sekali toko belum buka sudah kumpul semua. Mereka sudah gedor minta buka toko,” kata Agus, manajer Hypermart Lippo Plaza Buton, pusat perbelanjaan tersebut, kepada  Buton Pos.

Barang yang dimaksud apalagi kalau bukan komoditas terpanas akhir-akhir ini: minyak goreng (migor) subsidi. Nyaris empat bulan terakhir minyak goreng di pasar tradisional Baubau, Sulawesi Tenggara, tembus Rp 21.000 per liter. Padahal, harga yang dipatok pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sejak 19 Januari lalu Rp 14.000 per liter.

Saat jam buka Hypermart datang pada Kamis (17/2) pagi itu, ’’lomba lari’’ pun terjadi. Menyerbulah para calon pembeli yang mayoritas emak-emak. Video amatir kejadian tersebut kemudian ramai berseliweran di berbagai platform pada Sabtu (19/2). ’’Berlarian berebut semua, habis semua,” ucap Agus.

Itu hanya satu dari sekian banyak cerita perebutan migor subsidi yang terjadi di berbagai penjuru negeri. Ada yang sampai datang dari jauh ke tempat operasi pasar dihelat, ada yang rela berjam-jam antre, dan ada pula yang harus celup tinta dulu atau pakai kupon antrean untuk bisa mendapatkan migor subsidi 2 kilogram.

Pada hari yang sama dengan perebutan minyak goreng di Baubau itu, di kawasan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Tiwi bernapas lega. Setelah antre selama sekitar 20 menit di salah satu tempat distributor migor, dia bisa membawa pulang 6 botol (liter) migor yang diadakan.

’’Kalau mau beli itu per KTP dibatasi. Satu orang maksimal dapat enam botol (6 liter),” ujar ibu rumah tangga berusia 35 tahun itu kepada Jawa Pos Radar Solo.

Semua calon pembeli memang harus menunjukkan KTP demi mendapatkan migor. Untuk melayani warga, distributor ini sampai harus membagi pegawai menjadi dua sif. Mereka stand by mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00.

Baca Juga :  Harus Dirawat dan Dikelola Baik, Kapal Rusak Harus Dipindahkan

Dua hari sebelumnya di sebuah operasi pasar di Magetan, Jawa Timur, Tukini butuh waktu lebih panjang ketimbang Tiwi untuk bisa mendapatkan migor dalam jumlah yang jauh lebih sedikit: 2 kilogram. Acara mulai dihelat pukul 16.00, Tukini baru bisa dapat apa yang dia cari sekitar 1,5 jam kemudian.

Itu pun dia harus datang ke lokasi satu jam sebelum acara mulai alias pukul 15.00. Artinya, dia butuh waktu sekitar 2,5 jam untuk bisa mendapatkan 2 kilogram migor subsidi.

Tapi, Tukini tetap bersyukur bisa membawa pulang 2 kilogram migor yang harus ditebus seharga Rp 25 ribu itu. ’’Alhamdulillah tidak kehabisan,” katanya kepada Jawa Pos Radar Madiun.

Ayu, pengantre lain di operasi pasar yang sama, datang dari Desa Kedungguwo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan. Itu pun di lokasi dia masih harus antre dan berdesakan. Di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai. ’’Kenapa harus takut (berdesakan), minyak goreng kan mahal,’’ ujarnya.

Di Kediri, Madiun, dan Trenggalek, membeli migor subsidi juga seperti mengikuti pemilu. Jari harus celup tinta dulu agar tidak ada orang yang sampai dua kali membeli.

Adam, warga Desa/Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, bahkan lebih apes. Pada Selasa (8/2) dua pekan lalu, dia sudah tiga hari beruntun gagal mendapatkan migor curah.

Selain untuk dijual ulang, minyak goreng itu untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri. ’’Sudah mencoba keliling di beberapa agen minyak goreng, persediaannya juga habis,’’ ucapnya kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Pria 42 tahun tersebut mengungkapkan, dirinya datang ke agen minyak goreng yang ada di wilayah Situbondo Kota setelah sebelumnya mendapat informasi dari tetangga. ’’Katanya ada salah satu agen yang masih memiliki persediaan minyak goreng curah. Saya datang cukup pagi. Ternyata sejak pukul 08.00 WIB warga yang antre sudah banyak,’’ ujarnya.

Di hari-hari itu, kesulitan yang sama dialami warga Pacitan, kabupaten di sudut selatan Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Joko Purnowo, pedagang kelontong di Pasar Arjowinangun, mengatakan bahwa stok minyak goreng di kiosnya kian menipis.

Hanya merek-merek tertentu yang masih tersisa. Itu pun bukan merek terkenal. ’’Kemarin ada kiriman dari distributor, tapi cuma dua karton. Itu pun harus dibagi satu pasar,’’ ujarnya Rabu (9/2).

Baca Juga :  Menghasilkan Peserta yang Mahir Pengolah Kopi

Kelangkaan stok terjadi ketika penjual didorong menurunkan harga eceran tertinggi. Penjual tak punya banyak pilihan selain menjajakan sesuai kebutuhan. Meski, banyak pembeli komplain. ’’Sulit kalau harus jual Rp 14 ribu per liter, stoknya nggak ada,’’ ungkap Joko kepada Jawa Pos Radar Madiun.

Di Samarinda, Kalimantan Timur, juga demikian. Sampai dengan Kamis (17/2) pekan lalu, dari 11 pasar yang selalu dipantau Dinas Perdagangan Samarinda, harga minyak goreng di Pasar Pagi masih terbilang tinggi. Harganya masih Rp 22 ribu per liter.

Sisanya di Pasar Merdeka Rp 17 ribu serta Pasar Palaran, Pasar Kedondong, dan Pasar Bengkuring Rp 16 ribu per liter. Kemudian Pasar Sungai Dama, Pasar Kemuning, Pasar Segiri, dan Pasar Lok Bahu Rp 15 ribu per liter. ’’Di Pasar Ijabah harganya Rp 14 ribu per liter,’’ ungkap Penjabat Fungsional Pengawasan Perdagangan Disdag Samarinda Heny Kartika Handayan kepada Kaltim Post.

Entah sampai kapan badai migor ini akan berlalu. Kecemasan bertambah karena awal April mulai memasuki Ramadan, lalu disusul Idul Fitri. Periode ketika harga barang-barang kebutuhan umumnya naik menyusul tingginya permintaan. Karena itu, hampir bisa dipastikan pemandangan antrean mengular atau emak-emak yang berlarian berebut migor seperti yang terjadi di Baubau masih akan terlihat di hari-hari ke depan.

Cara yang dilakukan Abdul Muis mungkin bisa dipertimbangkan untuk ditiru sebagai solusi. Warga Desa/Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu membuat minyak goreng sendiri dari kelapa.

’’Saya dan keluarga  juga sempat kesulitan mencari minyak goreng. Tidak ada cara lain kecuali ambil buah kelapa,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Selain mudah diproduksi, kata Muis, minyak kelapa terasa lebih gurih. Cara membuatnya pun tidak sulit. ’’Butuh kelapa yang sudah tua,” sebutnya.

Awalnya kelapa dikupas, diparut, dan santan hasil parutan selanjutnya diletakkan dalam penggorengan. ’’Tak lama setelah itu, santan yang diaduk-aduk menjadi jernih dan menghasilkan minyak,” ungkapnya. Tertarik? (p8/ps1/iwn/aya/bun/mg5/c1/naz/her/sto/nur/mg1/pri/gen/c1/fin/c17/ttg/JPG)

Jumpalitan Sana-sini Mencari Minyak Goreng

Di berbagai penjuru, beragam cara ditempuh untuk bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai yang ditetapkan pemerintah. Ada yang memilih beralih ke minyak kelapa buatan sendiri. 

PAGI-pagi benar mereka datang. Saat, ibarat orang baru bangun tidur, pusat perbelanjaan itu sedang ’’menggeliat’’ dan ’’baru hendak cuci muka’’.

’’Pelanggan sudah tahu barang datang, jadi pagi-pagi sekali toko belum buka sudah kumpul semua. Mereka sudah gedor minta buka toko,” kata Agus, manajer Hypermart Lippo Plaza Buton, pusat perbelanjaan tersebut, kepada  Buton Pos.

Barang yang dimaksud apalagi kalau bukan komoditas terpanas akhir-akhir ini: minyak goreng (migor) subsidi. Nyaris empat bulan terakhir minyak goreng di pasar tradisional Baubau, Sulawesi Tenggara, tembus Rp 21.000 per liter. Padahal, harga yang dipatok pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sejak 19 Januari lalu Rp 14.000 per liter.

Saat jam buka Hypermart datang pada Kamis (17/2) pagi itu, ’’lomba lari’’ pun terjadi. Menyerbulah para calon pembeli yang mayoritas emak-emak. Video amatir kejadian tersebut kemudian ramai berseliweran di berbagai platform pada Sabtu (19/2). ’’Berlarian berebut semua, habis semua,” ucap Agus.

Itu hanya satu dari sekian banyak cerita perebutan migor subsidi yang terjadi di berbagai penjuru negeri. Ada yang sampai datang dari jauh ke tempat operasi pasar dihelat, ada yang rela berjam-jam antre, dan ada pula yang harus celup tinta dulu atau pakai kupon antrean untuk bisa mendapatkan migor subsidi 2 kilogram.

Pada hari yang sama dengan perebutan minyak goreng di Baubau itu, di kawasan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Tiwi bernapas lega. Setelah antre selama sekitar 20 menit di salah satu tempat distributor migor, dia bisa membawa pulang 6 botol (liter) migor yang diadakan.

’’Kalau mau beli itu per KTP dibatasi. Satu orang maksimal dapat enam botol (6 liter),” ujar ibu rumah tangga berusia 35 tahun itu kepada Jawa Pos Radar Solo.

Semua calon pembeli memang harus menunjukkan KTP demi mendapatkan migor. Untuk melayani warga, distributor ini sampai harus membagi pegawai menjadi dua sif. Mereka stand by mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00.

Baca Juga :  Menghasilkan Peserta yang Mahir Pengolah Kopi

Dua hari sebelumnya di sebuah operasi pasar di Magetan, Jawa Timur, Tukini butuh waktu lebih panjang ketimbang Tiwi untuk bisa mendapatkan migor dalam jumlah yang jauh lebih sedikit: 2 kilogram. Acara mulai dihelat pukul 16.00, Tukini baru bisa dapat apa yang dia cari sekitar 1,5 jam kemudian.

Itu pun dia harus datang ke lokasi satu jam sebelum acara mulai alias pukul 15.00. Artinya, dia butuh waktu sekitar 2,5 jam untuk bisa mendapatkan 2 kilogram migor subsidi.

Tapi, Tukini tetap bersyukur bisa membawa pulang 2 kilogram migor yang harus ditebus seharga Rp 25 ribu itu. ’’Alhamdulillah tidak kehabisan,” katanya kepada Jawa Pos Radar Madiun.

Ayu, pengantre lain di operasi pasar yang sama, datang dari Desa Kedungguwo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan. Itu pun di lokasi dia masih harus antre dan berdesakan. Di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai. ’’Kenapa harus takut (berdesakan), minyak goreng kan mahal,’’ ujarnya.

Di Kediri, Madiun, dan Trenggalek, membeli migor subsidi juga seperti mengikuti pemilu. Jari harus celup tinta dulu agar tidak ada orang yang sampai dua kali membeli.

Adam, warga Desa/Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, bahkan lebih apes. Pada Selasa (8/2) dua pekan lalu, dia sudah tiga hari beruntun gagal mendapatkan migor curah.

Selain untuk dijual ulang, minyak goreng itu untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri. ’’Sudah mencoba keliling di beberapa agen minyak goreng, persediaannya juga habis,’’ ucapnya kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Pria 42 tahun tersebut mengungkapkan, dirinya datang ke agen minyak goreng yang ada di wilayah Situbondo Kota setelah sebelumnya mendapat informasi dari tetangga. ’’Katanya ada salah satu agen yang masih memiliki persediaan minyak goreng curah. Saya datang cukup pagi. Ternyata sejak pukul 08.00 WIB warga yang antre sudah banyak,’’ ujarnya.

Di hari-hari itu, kesulitan yang sama dialami warga Pacitan, kabupaten di sudut selatan Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Joko Purnowo, pedagang kelontong di Pasar Arjowinangun, mengatakan bahwa stok minyak goreng di kiosnya kian menipis.

Hanya merek-merek tertentu yang masih tersisa. Itu pun bukan merek terkenal. ’’Kemarin ada kiriman dari distributor, tapi cuma dua karton. Itu pun harus dibagi satu pasar,’’ ujarnya Rabu (9/2).

Baca Juga :  Menginap di Bibir Kawah Bawa Kubis dan Bawang Merah

Kelangkaan stok terjadi ketika penjual didorong menurunkan harga eceran tertinggi. Penjual tak punya banyak pilihan selain menjajakan sesuai kebutuhan. Meski, banyak pembeli komplain. ’’Sulit kalau harus jual Rp 14 ribu per liter, stoknya nggak ada,’’ ungkap Joko kepada Jawa Pos Radar Madiun.

Di Samarinda, Kalimantan Timur, juga demikian. Sampai dengan Kamis (17/2) pekan lalu, dari 11 pasar yang selalu dipantau Dinas Perdagangan Samarinda, harga minyak goreng di Pasar Pagi masih terbilang tinggi. Harganya masih Rp 22 ribu per liter.

Sisanya di Pasar Merdeka Rp 17 ribu serta Pasar Palaran, Pasar Kedondong, dan Pasar Bengkuring Rp 16 ribu per liter. Kemudian Pasar Sungai Dama, Pasar Kemuning, Pasar Segiri, dan Pasar Lok Bahu Rp 15 ribu per liter. ’’Di Pasar Ijabah harganya Rp 14 ribu per liter,’’ ungkap Penjabat Fungsional Pengawasan Perdagangan Disdag Samarinda Heny Kartika Handayan kepada Kaltim Post.

Entah sampai kapan badai migor ini akan berlalu. Kecemasan bertambah karena awal April mulai memasuki Ramadan, lalu disusul Idul Fitri. Periode ketika harga barang-barang kebutuhan umumnya naik menyusul tingginya permintaan. Karena itu, hampir bisa dipastikan pemandangan antrean mengular atau emak-emak yang berlarian berebut migor seperti yang terjadi di Baubau masih akan terlihat di hari-hari ke depan.

Cara yang dilakukan Abdul Muis mungkin bisa dipertimbangkan untuk ditiru sebagai solusi. Warga Desa/Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu membuat minyak goreng sendiri dari kelapa.

’’Saya dan keluarga  juga sempat kesulitan mencari minyak goreng. Tidak ada cara lain kecuali ambil buah kelapa,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Selain mudah diproduksi, kata Muis, minyak kelapa terasa lebih gurih. Cara membuatnya pun tidak sulit. ’’Butuh kelapa yang sudah tua,” sebutnya.

Awalnya kelapa dikupas, diparut, dan santan hasil parutan selanjutnya diletakkan dalam penggorengan. ’’Tak lama setelah itu, santan yang diaduk-aduk menjadi jernih dan menghasilkan minyak,” ungkapnya. Tertarik? (p8/ps1/iwn/aya/bun/mg5/c1/naz/her/sto/nur/mg1/pri/gen/c1/fin/c17/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya