Berbicara rahim bukan hanya tentang kehidupan, melainkan kematian demi kematian yang sedang terjadi di depan mata. Dan sebagian orang-orang menganggap itu hal yang biasa hingga kemudian terjadi genosida.
Buku yang diracik perempuan yang akrab disapa Jo ini, menampilkan tokoh utama adalah perempuan, terutama perempuan yang terjun dalam gerakan. Ketika perempuan terlibat dalam gerakan maka kerap dilabeli melanggar nilai-nilai sosial dan budaya.
“Padahal, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama ditindas oleh sistem yang sedang berlangsung saat ini,” ujar perempuan yang menamatkan pendidikan dasarnya di SD YPPK St. Vinsensius Mabilabol Oksibil ini.
Buku ini diharapkan bisa membuka mata setiap pembaca, khususnya perempuan untuk melangkah di dunia baru untuk mereka melihat ke depan. Di tengah persoalan yang dihadapi, ia mendorong perempuan Papua memiliki keberanian untuk bersuara atas apa yang menimpa mereka serta memiliki konsistensi. Sebab, perempuan menjadi tokoh utama yang akan melahirkan perubahan dalam perjuangan rakyat Papua.
“Hal yang membuat saya berani menulis ketika membaca novel “Tetralogi Buru” karya Pramoedya Ananta Toer dan beberapa karya buku lainnya milik Pram,” ungkapnya.
“Saya menulis buku ini seiring melihat ketertindasan yang kerap dialami oleh orang-orang Papua. Saya menulis untuk menyuarakan orang Papua, khususnya perempuan Papua yang tertindas. Bahkan, menulis adalah salah satu cara untuk saya melawan,” bebernya
Jo berharap semakin banyak perempuan Papua yang berani untuk menulis. Sebab satu cerita dari perempuan Papua ketika dikisahkan akan menjadi cerita yang menarik.
Kenapa menarik ? karena ketertindasan yang dialami orang Papua berlapis-lapis dengan berbagai variasi yang dialami, banyak ruang-ruang yang kemudian dikunci oleh sosial budaya dan agama.