Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

Dulu Kamar Kos, Kini Dipenuhi Foto Berbagai Hiasan Lokal

Mengunjungi Galeri Foto Black Orchid, Milik Gusti Zeth Tanati

Perjalanan karier sebagai pewarta foto media nasional di Indonesia memberi kesempatan bagi Gusti Zeth Tanati untuk mengabadikan berbagai moment di Papua. Dari situ, dirinya mengoleksi berbagai foto epic yang akhirnya melatarbelakangi dirinya untuk membangun sebuah galeri foto.  Bagaimana kisahnya, berikut obrolan bersama Gusti Zeth Tanati.

Laporan: Rahayu Nur Hasanah-Jayapura

Pria asli Papua itu sedang mengganti tema foto yang dipajang di galerinya. Ketika ditemui di galeri miliknya, Kamis (9/12).

Ruangan yang dulunya merupakan kamar-kamar kos usaha orangtuanya, kini disulap menjadi sebuah galeri foto dengan berbagai hiasan dan ukiran bernuansa lokal. Sambil membuka buku-buku album hasil jepretannya, dirinya menunjuk 1 foto yang sangat menarik. Saat itu foto dengan tema terumbu karang sedang dipandanginya.

“Ini hasil karya yang saya bawa dari Jakarta Tahun 2016/2017. Karena dari workshop FJA (Fotografi Jurnalistik ANTARA) itu keluar, harus bikin karya baru dapat sertifikat,”ujar pria yang awalnya memang bergabung di berbagai komunitas foto tersebut.

Dirinya sangat serius menekuni kegiatan ini sambil terus belajar memotret. Dirinya berprinsip, memotret itu harus ada hasilnya, nanti akan seperti apa, dibuat apa, sehingga dirinya mencari style ciri khas tema atau angle sendiri.

Berawal dari 2014, pria yang sudah banyak mengikuti kegiatan liputan di berbagai kota seperti di Manokwari, Sorong, Merauke hingga Wamena ini mulai mengikuti kegiatan workshop dan pameran fotografi di Jakarta yaitu (Jakarta International Photo Summit). Ada beberapa orang yang ikut berangkat dari Papua ke Jakarta.

Di sana, dirinya melihat berbagai foto yang menarik hingga membuatnya berfikir harus mencari angle yang lebih menarik lagi.

Di Tahun 2015, galeri yang awalnya masih sebuah kamar kos ini mulai digunakan sebagai wadah untuk menampung perkumpulan komunitas. Namun di tahun 2016/2017 ketika ditinggal mengikuti pelatihan di ANTARA, Posko tersebut sepi dikarenakan giat komunitas yang semakin redup.

Saat itu, dirinya mengikuti test foto jurnalistik pada workshop yang diselenggarakan kantor berita ANTARA. Dirinya mengikuti kegiatan tersebut selama 1 tahun lebih di Pasar Baru, Jakarta.

Baca Juga :  Dulu Negara Lain Belajar ke Indonesia soal Puskesmas

Karya pertamanya dalam kegiatan tersebut mengangkat isu tentang peninggalan kopi. Namun ternyata isu yang diambil kurang kuat. Karena kopi di Indonesia, khususnya di Jawa sangat banyak.

Sehingga dirinya memutuskan untuk mengambil isu dampak buruk dari rusaknya terumbu karang. Saat itu, ikan di Serui sangat mahal, terumbu karang banyak yang rusak, orang mencari ikan di laut sulit karena habitatnya mulai rusak. Sehingga dari sana, dirinya mendapat sertifikat dan melanjutkan kegiatan fotografinya di Papua.

Baru di tahun 2017/2018 mulailah dirinya membuat perbaikan. Saat itu ruangan dari kayu yang berukuran 18 x 16, sudah mulai diperbaiki dan dirombak untuk menjadi sebuah galeri foto oleh pria asal Serui itu.

“Akhirnya dari situ saya balik, ruangan kosong saya manfaatkan untuk menampung karya-karya saya selama ini,” tuturnya.

Saat itu, dirinya berfikir kalau tempat ini dijadikan galeri harus diadakan workshop jurnalistik atau fotografi, dijadikan tempat berkumpul dengan teman-teman yang memiliki karya, dijadikan ruang diskusi agar bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Selain itu agar tempat tersebut tidak mati dan bisa terus hidup.

Dari sana dirinya memberi nama Posko tersebut sebagai Galery Black Orchid. Istilah tersebut diambilnya dari nama anggrek di Papua.

“Black Orchid itu adalah jenis anggrek unik yang hanya ada di Papua. Sangat kuat mencirikan diri kita sebagai anak Papua. Jadi itu saya bikin Black Orchid. Kita juga anak Papua jarang sekali punya karya, di mana-mana juga jaranglah Papua. Jadi saya ambil satu nama bunga itu,”jelasnya.

Ketika mendapat sedikit uang dari hasil liputannya sebagai pewarta foto, dirinya mulai membeli peralatan untuk bingkai foto atau hiasan dinding untuk mempercantik tampilan galeri miliknya.

Tidak ada dana bantuan dari pemerintah maupun yang lainya, dirinya bergerak mandiri dengan biaya sendiri. Namun dengan tekat yang bulat, dirinya tetap bersemangat membangun galeri untuk anak-anak Papua agar bisa menjadi tempat dikumpulkannya hasil fotografi yang menarik.

Selain hasil foto hasil jepretannya, terdapat juga berbagai macam buku-buku tentang fotografi yang dipajang di ruangan tersebut. Selain dari belanja pribadi, buku tersebut merupakan hibah dari kenalan atau rekan yang berkecimpung di dunia yang sama dan memiliki ketertarikan yang sama.

Baca Juga :  Bukan Ajang Rebut Kekuasaan, Tapi Hidup Bersama dengan Pemimpin

“Sampai sekarang begitu. Kemarin teman-teman saat datang penutupan PON mereka kasih buku itu di atas. Yang ada tulisan PWI, itu kemarin baru dikasih. Sebagian ada dari Jakarta,” tandasnya.

Sampai saat ini pun dirinya masih aktif dalam memotret. Beberapa bulan yang lalu, dirinya mengikuti LSM ekonomi hijau, dirinya dikontrak untuk memotret.

“Mereka kontrak saya untuk motret. Jadi keliling dari Papua Barat hingga Papua. Akhirnya saya cetak taruh di kantor dan di sini. Tapi sebelumnya saya sudah punya karya, tinggal melengkapi 1 file lagi,”bebernya.

Di ruangan yang terpajang 100 lebih karya hasil fotografinya menampilkan gaya hidup masyarakat Papua yang terlihat menarik dan sangat khas. Terasa nyaman dan menyenangkan. Cocok digunakan sebagai ruang diskusi para jurnalis.

“Kita punya tema-tema foto jadi dikonsepkan. Ini ada orang Papua bagian pedalaman. Kalau kita sudah biasa dengan mereka, mereka mau dipotret. Kalau kita langsung jepret-jepret mereka tidak mau,”ungkapnya ketika menjelaskan cara mengambil foto orang-orang Papua pedalaman yang memang sangat sulit diambil.

Selama ini dirinya melaksanakan diskusi dan membuat proyek fotografi. Jadi tidak perlu nongkrong di cafe, tidak perlu menghabiskan uang hanya untuk membeli 1 gelas kopi yang mahal. Karena kalau di galeri ini, hanya tinggal menyeduh kopi sendiri. Bisa diskusi sampai malam. Dirinya juga sudah menyediakan berbagai fasilitas seperti kulkas dan dispenser.

Rencana ke depan dirinya akan membuat workshop pelatihan foto jurnalis di galeri ini.

“Tapi selama ini saya masih bikin dulu, nanti baru buka. Diskusi bersama teman-teman senior-senior wartawan tulis atau nanti bisa isi bantu foto. Bukan foto saja, tapi kita mengajarkan adik-adik, bikin kelas-kelas foto kecil beberapa kali pertemuan. Nanti kita atur jadwalnya,”katanya.

Tujuannya adalah hanya ingin membagikan ilmu tentang fotografi jurnalistik. Agar teman-teman komunitas di Jayapura ini bisa diskusi terkait ide atau isu, serta bisa membuat proyek foto di galeri ini.

“Kebanyakan mereka punya foto, bingung diarahkan kemana, Jadi mari kita bicara Papua lewat karya,”pungkasnya.(*)

Mengunjungi Galeri Foto Black Orchid, Milik Gusti Zeth Tanati

Perjalanan karier sebagai pewarta foto media nasional di Indonesia memberi kesempatan bagi Gusti Zeth Tanati untuk mengabadikan berbagai moment di Papua. Dari situ, dirinya mengoleksi berbagai foto epic yang akhirnya melatarbelakangi dirinya untuk membangun sebuah galeri foto.  Bagaimana kisahnya, berikut obrolan bersama Gusti Zeth Tanati.

Laporan: Rahayu Nur Hasanah-Jayapura

Pria asli Papua itu sedang mengganti tema foto yang dipajang di galerinya. Ketika ditemui di galeri miliknya, Kamis (9/12).

Ruangan yang dulunya merupakan kamar-kamar kos usaha orangtuanya, kini disulap menjadi sebuah galeri foto dengan berbagai hiasan dan ukiran bernuansa lokal. Sambil membuka buku-buku album hasil jepretannya, dirinya menunjuk 1 foto yang sangat menarik. Saat itu foto dengan tema terumbu karang sedang dipandanginya.

“Ini hasil karya yang saya bawa dari Jakarta Tahun 2016/2017. Karena dari workshop FJA (Fotografi Jurnalistik ANTARA) itu keluar, harus bikin karya baru dapat sertifikat,”ujar pria yang awalnya memang bergabung di berbagai komunitas foto tersebut.

Dirinya sangat serius menekuni kegiatan ini sambil terus belajar memotret. Dirinya berprinsip, memotret itu harus ada hasilnya, nanti akan seperti apa, dibuat apa, sehingga dirinya mencari style ciri khas tema atau angle sendiri.

Berawal dari 2014, pria yang sudah banyak mengikuti kegiatan liputan di berbagai kota seperti di Manokwari, Sorong, Merauke hingga Wamena ini mulai mengikuti kegiatan workshop dan pameran fotografi di Jakarta yaitu (Jakarta International Photo Summit). Ada beberapa orang yang ikut berangkat dari Papua ke Jakarta.

Di sana, dirinya melihat berbagai foto yang menarik hingga membuatnya berfikir harus mencari angle yang lebih menarik lagi.

Di Tahun 2015, galeri yang awalnya masih sebuah kamar kos ini mulai digunakan sebagai wadah untuk menampung perkumpulan komunitas. Namun di tahun 2016/2017 ketika ditinggal mengikuti pelatihan di ANTARA, Posko tersebut sepi dikarenakan giat komunitas yang semakin redup.

Saat itu, dirinya mengikuti test foto jurnalistik pada workshop yang diselenggarakan kantor berita ANTARA. Dirinya mengikuti kegiatan tersebut selama 1 tahun lebih di Pasar Baru, Jakarta.

Baca Juga :  Ada yang Sudah Jadi Gudang, Ada yang Masih Difungsikan Tapi Blower Rusak   

Karya pertamanya dalam kegiatan tersebut mengangkat isu tentang peninggalan kopi. Namun ternyata isu yang diambil kurang kuat. Karena kopi di Indonesia, khususnya di Jawa sangat banyak.

Sehingga dirinya memutuskan untuk mengambil isu dampak buruk dari rusaknya terumbu karang. Saat itu, ikan di Serui sangat mahal, terumbu karang banyak yang rusak, orang mencari ikan di laut sulit karena habitatnya mulai rusak. Sehingga dari sana, dirinya mendapat sertifikat dan melanjutkan kegiatan fotografinya di Papua.

Baru di tahun 2017/2018 mulailah dirinya membuat perbaikan. Saat itu ruangan dari kayu yang berukuran 18 x 16, sudah mulai diperbaiki dan dirombak untuk menjadi sebuah galeri foto oleh pria asal Serui itu.

“Akhirnya dari situ saya balik, ruangan kosong saya manfaatkan untuk menampung karya-karya saya selama ini,” tuturnya.

Saat itu, dirinya berfikir kalau tempat ini dijadikan galeri harus diadakan workshop jurnalistik atau fotografi, dijadikan tempat berkumpul dengan teman-teman yang memiliki karya, dijadikan ruang diskusi agar bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Selain itu agar tempat tersebut tidak mati dan bisa terus hidup.

Dari sana dirinya memberi nama Posko tersebut sebagai Galery Black Orchid. Istilah tersebut diambilnya dari nama anggrek di Papua.

“Black Orchid itu adalah jenis anggrek unik yang hanya ada di Papua. Sangat kuat mencirikan diri kita sebagai anak Papua. Jadi itu saya bikin Black Orchid. Kita juga anak Papua jarang sekali punya karya, di mana-mana juga jaranglah Papua. Jadi saya ambil satu nama bunga itu,”jelasnya.

Ketika mendapat sedikit uang dari hasil liputannya sebagai pewarta foto, dirinya mulai membeli peralatan untuk bingkai foto atau hiasan dinding untuk mempercantik tampilan galeri miliknya.

Tidak ada dana bantuan dari pemerintah maupun yang lainya, dirinya bergerak mandiri dengan biaya sendiri. Namun dengan tekat yang bulat, dirinya tetap bersemangat membangun galeri untuk anak-anak Papua agar bisa menjadi tempat dikumpulkannya hasil fotografi yang menarik.

Selain hasil foto hasil jepretannya, terdapat juga berbagai macam buku-buku tentang fotografi yang dipajang di ruangan tersebut. Selain dari belanja pribadi, buku tersebut merupakan hibah dari kenalan atau rekan yang berkecimpung di dunia yang sama dan memiliki ketertarikan yang sama.

Baca Juga :  Di Dogiyai Ada Aspirasi Tolak DOB, Biak Minta Percepatan DOB Papua Utara

“Sampai sekarang begitu. Kemarin teman-teman saat datang penutupan PON mereka kasih buku itu di atas. Yang ada tulisan PWI, itu kemarin baru dikasih. Sebagian ada dari Jakarta,” tandasnya.

Sampai saat ini pun dirinya masih aktif dalam memotret. Beberapa bulan yang lalu, dirinya mengikuti LSM ekonomi hijau, dirinya dikontrak untuk memotret.

“Mereka kontrak saya untuk motret. Jadi keliling dari Papua Barat hingga Papua. Akhirnya saya cetak taruh di kantor dan di sini. Tapi sebelumnya saya sudah punya karya, tinggal melengkapi 1 file lagi,”bebernya.

Di ruangan yang terpajang 100 lebih karya hasil fotografinya menampilkan gaya hidup masyarakat Papua yang terlihat menarik dan sangat khas. Terasa nyaman dan menyenangkan. Cocok digunakan sebagai ruang diskusi para jurnalis.

“Kita punya tema-tema foto jadi dikonsepkan. Ini ada orang Papua bagian pedalaman. Kalau kita sudah biasa dengan mereka, mereka mau dipotret. Kalau kita langsung jepret-jepret mereka tidak mau,”ungkapnya ketika menjelaskan cara mengambil foto orang-orang Papua pedalaman yang memang sangat sulit diambil.

Selama ini dirinya melaksanakan diskusi dan membuat proyek fotografi. Jadi tidak perlu nongkrong di cafe, tidak perlu menghabiskan uang hanya untuk membeli 1 gelas kopi yang mahal. Karena kalau di galeri ini, hanya tinggal menyeduh kopi sendiri. Bisa diskusi sampai malam. Dirinya juga sudah menyediakan berbagai fasilitas seperti kulkas dan dispenser.

Rencana ke depan dirinya akan membuat workshop pelatihan foto jurnalis di galeri ini.

“Tapi selama ini saya masih bikin dulu, nanti baru buka. Diskusi bersama teman-teman senior-senior wartawan tulis atau nanti bisa isi bantu foto. Bukan foto saja, tapi kita mengajarkan adik-adik, bikin kelas-kelas foto kecil beberapa kali pertemuan. Nanti kita atur jadwalnya,”katanya.

Tujuannya adalah hanya ingin membagikan ilmu tentang fotografi jurnalistik. Agar teman-teman komunitas di Jayapura ini bisa diskusi terkait ide atau isu, serta bisa membuat proyek foto di galeri ini.

“Kebanyakan mereka punya foto, bingung diarahkan kemana, Jadi mari kita bicara Papua lewat karya,”pungkasnya.(*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya