Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Keluarga Berperan Penting Jaga Kelestarian Kebudayaan Papua

Mencermati Pengaruh Alkuturasi Budaya yang Mulai Mengikis Budaya Asli Papua

Kebudayaan masyarakat asli Papua saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa. Pengaruh alkutarasi budaya, memberikan dampak besar terkait kebudayaan Papua yang sudah mengalami perubahan. Berikut pandangan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (FISIP) Universitas Cendrawasih Marlina Flassy S.Sos.,M.Hum.,Ph.D, yang juga dosen Antropologi ini.

Laporan: Carolus Daot_Jayapura.

Diakui maupun tidak kebudayaan asli masyarakat Papua saat ini mengalami perubahan yang luar biasa. Hal itu, menurut Marlina Flassy,  terjadi karena adanya pengaruh akulturasi budaya. Dimana budaya luar, secara perlahan masuk dan mengikis kebudayaan yang ada di Papua.

    Salah satu contoh perubahan kebudayaan di Papua saat ini lanjutnya, dari segi makanan. Dahulunya makanan pokok orang Papua bukan nasi, tapi umbi umbian. Namun karena adanya pengaruh akulutrasi budaya, sehingga sekarang jutru nasi, menjadi makanan pokok bagi orang Papua.

  Hal lain, dulunya di Papua hewan seperti anjing, dan beberapa hewan lainnya merupakan hewan peliharaan, dan bahkan hewan seperti anjing dijaga sebagai sahabat sejatinya manusia Papua, tapi dengan adanya akulutrasi budaya, yang terjadi justru, daging anjing, menjadi makanan favorit bagi orang Papua.

  “Perubahan lain, seperti papeda, generasi  Papua saat ini ada yang tidak mau makan Papeda, padahal pepeda makan pokok orang Papua,” katanya.

  Perubahan ini terjadi, selain karena adanya akulturasi budaya luar yang masuk ke Papua, tapi juga karena kurangnya kesadaran masayarakat Papua untuk melestarikan kebudayaannya.

  Karena itu, menurut Dosen Antropologi itu, apabila hal ini tidak dijaga dan segera dilestarikan, maka kebudayaan Papua lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Bahkan generasi Papua tidak akan mengenal budayanya sendiri.

Baca Juga :  Fasilitasi Penyelenggaran Pemilu dan Dukung Program Prioritas Nasional   

  Untuk itu, salah satu langkah yang dilakukan menurutnya, dengan mendorong, serta membangun kerjasama berbagai pihak. Dan yang berperan penting untuk melestarikan kebudayaan ini, dari kehidupan keluarga.

   Dimana menurut Marlina, orang tua, harus mengambil andil, melestarikan kebudayaan, sebelum anak anaknya keluar dan masuk dalam kehidupan bermasyarakat.

  “Kalau di rumah, usahakan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, selain itu, biasakan masak papeda, atau umbi umbian, dengan begitu anak-anak mengenal akan budayanya,” kata Marlina Flassy, di Jayapura, Jumat (7/10).

   Selain keluarga, tapi juga dunia pendidikan, harus menjasi pelopor dalam melestarikan kebudayaan Papua.

  Apalagi dengan adanya perubahan kurikulum Merdeka Belajar saat ini, diupayakan kegiatan ekstrakulikurel, lebih menonjolkan kegiatan sosial kebudayaan. Sehingga dengan begitu, akan mempermudah para siswa mengenal budayanya masing masing. Sebab kebudayaan merupakan jati diri orang Papua, untuk itu perlu dijaga, agar tetap terlestari.

  Usahakan di sekolah, harus ada matapelajaran budaya, juga kalau bisa misalnya hari senin itu diwajibkan masing masing siswa mengenakan pakyan adatnya, sehingga dengan begitu mereka bisa dengan mudah mengenal budayanya,” kata Marlina Flassy.

  Sebab menurutnya seiring perkembangan zaman saat ini, akulturasi budaya berjalan beriringan. Namun hal ini tidak kemudian kebudayaan itu diabaikan.

  “Kita akui dunia sekarang berubah, manusiapun sudah berubah, sehingga tanpa orang Papua sadari mereka menerima, budaya yang masuk ke Papua, dan jutru secara perlahan kebudayaan Papua itu hilang,” bebernya.

   Marlina Falssy mengatakan sebagai sebagai seorang akedemisi pada bidang Antropolgi, pihaknya telah berupaya menjaga dan melestarikan kebudayaan Papua. Hal itu mereka lakukan dengan membangun sinergitas bersama pemerintah, maupun stakeholder lain.

Baca Juga :  Anggap TPU Tanah Hitam Berjasa, Rasa Kehilangan Jika Pindah ke Tempat Lain

  “Banyak hal yang telah kami lakukan selama ini, agar budaya Papua itu tidak hilang, salah satunya dengan membangun kerjasama dengan pemerintah terutama dinas terkait,” tuturnya.

  Namun memang hal ini menurutnya tidak mudah, untuk itu butuh peran semua pihak. Sehingga kebudayan yang ada di Papua dapat terjaga.

“Sekali lagi saya katakan bahwa kita tidak dapat menolak bahwa dunia sat ini sudah maju, tapi bagaimana perkembangan itu kita kemas dengan budaya yang kita miliki,” tuturnya.

  Dia juga mengatakan selain pada perubahan budaya, tapi juga managemen dalam pengelolahan wisata yang ada di Papua, masih belum maksimal. Sehingga kadang kala keberadaan wisata yang ada di Papua tidak memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.

  Padahal di wilayah lain, tempat wisata sangat memberikan dampak besar untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat. “Salah satu contoh, pantai base G  atau Jembatan Merah, saya melihatnya pengelolahan wisata ini masih amburadul, karena kadang kala biaya masuknya saja mahal, bahkan karcis parkir juga sangat mahal, sistem seperti inilah yang harus dilihat oleh pemerintah,” kata Marlina Flassy.

  Selain itu tingkat kenyamanan juga menurutnya perlu dibenah, sebab jika hal ini tidak segera dilakukan pembenahan, maka keindahan tanah Papua tidak akan memberi dampak bagi kehidupan masyarakat di dalamnya.

  “Bagaimana orang mau datang ke pantai, kalau disana banyak yang mambuk, hal ini jadi kendala bagi kita di Papua sehingga harapnnya managemennya diperbaiki,” pungkasnya. (*/tri).

Mencermati Pengaruh Alkuturasi Budaya yang Mulai Mengikis Budaya Asli Papua

Kebudayaan masyarakat asli Papua saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa. Pengaruh alkutarasi budaya, memberikan dampak besar terkait kebudayaan Papua yang sudah mengalami perubahan. Berikut pandangan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (FISIP) Universitas Cendrawasih Marlina Flassy S.Sos.,M.Hum.,Ph.D, yang juga dosen Antropologi ini.

Laporan: Carolus Daot_Jayapura.

Diakui maupun tidak kebudayaan asli masyarakat Papua saat ini mengalami perubahan yang luar biasa. Hal itu, menurut Marlina Flassy,  terjadi karena adanya pengaruh akulturasi budaya. Dimana budaya luar, secara perlahan masuk dan mengikis kebudayaan yang ada di Papua.

    Salah satu contoh perubahan kebudayaan di Papua saat ini lanjutnya, dari segi makanan. Dahulunya makanan pokok orang Papua bukan nasi, tapi umbi umbian. Namun karena adanya pengaruh akulutrasi budaya, sehingga sekarang jutru nasi, menjadi makanan pokok bagi orang Papua.

  Hal lain, dulunya di Papua hewan seperti anjing, dan beberapa hewan lainnya merupakan hewan peliharaan, dan bahkan hewan seperti anjing dijaga sebagai sahabat sejatinya manusia Papua, tapi dengan adanya akulutrasi budaya, yang terjadi justru, daging anjing, menjadi makanan favorit bagi orang Papua.

  “Perubahan lain, seperti papeda, generasi  Papua saat ini ada yang tidak mau makan Papeda, padahal pepeda makan pokok orang Papua,” katanya.

  Perubahan ini terjadi, selain karena adanya akulturasi budaya luar yang masuk ke Papua, tapi juga karena kurangnya kesadaran masayarakat Papua untuk melestarikan kebudayaannya.

  Karena itu, menurut Dosen Antropologi itu, apabila hal ini tidak dijaga dan segera dilestarikan, maka kebudayaan Papua lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Bahkan generasi Papua tidak akan mengenal budayanya sendiri.

Baca Juga :  Patung Pahlawan Olahraga Papua Akan Dibangun di Kampung Harapan

  Untuk itu, salah satu langkah yang dilakukan menurutnya, dengan mendorong, serta membangun kerjasama berbagai pihak. Dan yang berperan penting untuk melestarikan kebudayaan ini, dari kehidupan keluarga.

   Dimana menurut Marlina, orang tua, harus mengambil andil, melestarikan kebudayaan, sebelum anak anaknya keluar dan masuk dalam kehidupan bermasyarakat.

  “Kalau di rumah, usahakan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, selain itu, biasakan masak papeda, atau umbi umbian, dengan begitu anak-anak mengenal akan budayanya,” kata Marlina Flassy, di Jayapura, Jumat (7/10).

   Selain keluarga, tapi juga dunia pendidikan, harus menjasi pelopor dalam melestarikan kebudayaan Papua.

  Apalagi dengan adanya perubahan kurikulum Merdeka Belajar saat ini, diupayakan kegiatan ekstrakulikurel, lebih menonjolkan kegiatan sosial kebudayaan. Sehingga dengan begitu, akan mempermudah para siswa mengenal budayanya masing masing. Sebab kebudayaan merupakan jati diri orang Papua, untuk itu perlu dijaga, agar tetap terlestari.

  Usahakan di sekolah, harus ada matapelajaran budaya, juga kalau bisa misalnya hari senin itu diwajibkan masing masing siswa mengenakan pakyan adatnya, sehingga dengan begitu mereka bisa dengan mudah mengenal budayanya,” kata Marlina Flassy.

  Sebab menurutnya seiring perkembangan zaman saat ini, akulturasi budaya berjalan beriringan. Namun hal ini tidak kemudian kebudayaan itu diabaikan.

  “Kita akui dunia sekarang berubah, manusiapun sudah berubah, sehingga tanpa orang Papua sadari mereka menerima, budaya yang masuk ke Papua, dan jutru secara perlahan kebudayaan Papua itu hilang,” bebernya.

   Marlina Falssy mengatakan sebagai sebagai seorang akedemisi pada bidang Antropolgi, pihaknya telah berupaya menjaga dan melestarikan kebudayaan Papua. Hal itu mereka lakukan dengan membangun sinergitas bersama pemerintah, maupun stakeholder lain.

Baca Juga :  Bertemu Forkompinda Papua, MRP Serahkan 12 Putusan Perlindungan Hak OAP 

  “Banyak hal yang telah kami lakukan selama ini, agar budaya Papua itu tidak hilang, salah satunya dengan membangun kerjasama dengan pemerintah terutama dinas terkait,” tuturnya.

  Namun memang hal ini menurutnya tidak mudah, untuk itu butuh peran semua pihak. Sehingga kebudayan yang ada di Papua dapat terjaga.

“Sekali lagi saya katakan bahwa kita tidak dapat menolak bahwa dunia sat ini sudah maju, tapi bagaimana perkembangan itu kita kemas dengan budaya yang kita miliki,” tuturnya.

  Dia juga mengatakan selain pada perubahan budaya, tapi juga managemen dalam pengelolahan wisata yang ada di Papua, masih belum maksimal. Sehingga kadang kala keberadaan wisata yang ada di Papua tidak memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.

  Padahal di wilayah lain, tempat wisata sangat memberikan dampak besar untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat. “Salah satu contoh, pantai base G  atau Jembatan Merah, saya melihatnya pengelolahan wisata ini masih amburadul, karena kadang kala biaya masuknya saja mahal, bahkan karcis parkir juga sangat mahal, sistem seperti inilah yang harus dilihat oleh pemerintah,” kata Marlina Flassy.

  Selain itu tingkat kenyamanan juga menurutnya perlu dibenah, sebab jika hal ini tidak segera dilakukan pembenahan, maka keindahan tanah Papua tidak akan memberi dampak bagi kehidupan masyarakat di dalamnya.

  “Bagaimana orang mau datang ke pantai, kalau disana banyak yang mambuk, hal ini jadi kendala bagi kita di Papua sehingga harapnnya managemennya diperbaiki,” pungkasnya. (*/tri).

Berita Terbaru

Artikel Lainnya