Berdasarkan identifikasi, pesawat itu diperkirakan jatuh pada tahun 1944, saat pertempuran sengit antara Jepang dan Sekutu. Dengan ukuran sekitar 12 x 17 meter, bangkai pesawat ini menjadi saksi bisu dari pertempuran di kawasan Pasifik.
“Di Hamadi saja, kami temukan enam titik berbeda. Sementara di Dok II ada dua titik yang masih cukup utuh,” jelas Pamong Budaya Balai Pelestarian Kebudayaan Wlayah XXII Papua, Saberia, kepada Cenderawasih Pos, Selasa (9/9)
Meski sebagian situs masih terlihat utuh, namun tak sedikit yang sudah mengalami kerusakan. Penyebabnya beragam mulai dari faktor alam, hingga aktivitas manusia.
Di Hamadi, misalnya, sejumlah peninggalan rusak akibat praktik bom ikan yang masih digunakan sebagian nelayan. Ledakan bukan hanya memporakporandakan ekosistem laut, tetapi juga meretakkan struktur bersejarah yang sudah rapuh.
“Kami bahkan sempat mendengar ledakan bom ikan saat survei berlangsung. Untungnya kami aman karena didampingi Satpolairud Polresta Jayapura Kota,” ungkap Saberia.
Selain bom ikan, kebiasaan membuang sampah ke laut juga mempercepat kerusakan. Limbah plastik dan logam mencemari air, memperburuk kondisi situs bersejarah yang seharusnya dijaga.
Survei ini tidak hanya sekadar pencatatan, tetapi juga menghasilkan peta dasar sebaran situs bawah air. Tujuannya, agar pemerintah maupun masyarakat bisa mengetahui dengan pasti letak tinggalan sejarah tersebut dan melindunginya dari kerusakan lebih lanjut.
Peninggalan ini menjadi bukti penting dari Sejarah Perang Pasifik, sekaligus menegaskan bahwa Jayapura bukan sekadar saksi, tetapi juga panggung pertempuran besar dunia.
“Perekaman dan dokumentasi ini penting, agar kita bisa menetapkannya sebagai cagar budaya bawah air. Kalau terjaga, tinggalan ini bisa menjadi objek wisata edukasi sejarah dan maritim,” jelasnya.