Misteri Potongan Kayu Saat Banjir yang Menerjang Tiga Provinsi
Kebohongan pemerintah soal musibah atau bencana di tiga provinsi, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat tak lagi bisa dibantah hanya lewat argumen dan dugaan. Warga sangat paham bahwa kayu gelondongan tak turun dari langit melainkan ada aktifitas penebangan. Ahlipun sependapat.
Laporan: Naufal Shafa Diya
Setiap kali hujan deras turun berhari-hari dan sungai-sungai di Tulungagung mulai meluap, ada satu pemandangan yang hampir selalu muncul: potongan kayu dalam berbagai ukuran terseret arus. Sebagian warga menganggapnya wajar, hasil dari pohon tumbang yang terpeleset tanah longsor. Namun sebagian lainnya curiga—jangan-jangan itu jejak penebangan liar di kawasan hulu yang selama ini dituding sebagai biang banjir.
Kecurigaan ini tidak berlebihan. Di beberapa kecamatan, terutama wilayah berbukit, laporan aktivitas pembalakan kerap terdengar meski belum tentu semuanya benar. Karena itu, membedakan apakah kayu tersebut hasil ditebang atau tercabut alami menjadi penting untuk melihat akar persoalan secara jernih.Sejumlah relawan sering memulai pengecekan dari ujung kayu. Dalam situasi banjir, cara ini dinilai paling cepat dan akurat.
Jika ujung kayu terlihat rata, halus, seperti digunting rapi, hampir pasti kayu tersebut telah dipotong oleh alat. Kadang bekas gigi gergaji masih tampak. Sebaliknya, kayu yang terseret banjir memiliki ujung tak beraturan—pecah, terkoyak, atau masih menyisakan akar.Perbedaan berikutnya bisa dilihat dari warna dan tekstur. Kayu hasil tebang biasanya berwarna cerah, bersih, dan permukaannya rata.
Sementara kayu yang tercabut alami berwarna lebih gelap, lembap, dan tidak rata karena tercabut bersama tanah atau akar. Ciri-ciri ini sering menjadi petunjuk awal bagi petugas ketika mereka mendapati tumpukan kayu setelah banjir surut.Kulit kayu bercerita pun menjadi indikator lain. Pada kayu hasil tebang, kulitnya masih rapi. Berbeda dengan kayu yang terseret air: kulitnya memar, terkelupas, bahkan sobek panjang akibat benturan arus.