Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Desain Udeng dengan Tanaman, Konservasi Air, serta Sumber Pencahayaan di Atap

Bandara Banyuwangi Bersanding dengan Karya Arsitektur Top Dunia

Desain interior terminal Bandara Banyuwangi dirancang minim sekat dengan dinding berupa kisi-kisi dari kayu ulin bekas kapal untuk memperlancar sirkulasi udara serta sinar matahari. Tak cuma berfungsi sebagai penunjang infrastruktur, tapi juga menjadi daya tarik wisata.   

SIGIT HARIYADI-DEDY JUMHARDIYANTO, Banyuwangi

BANDARA Banyuwangi tak sekadar menjadi salah satu penggerak roda perekonomian masyarakat. Tapi, juga salah satu bukti bahwa perkembangan pesat kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu diraih tanpa menyingkirkan akar budaya masyarakat.

Bandara yang berada di Desa/Kecamatan Blimbingsari itu masuk jajaran Top 20 bangunan dengan arsitektur terbaik dunia dalam ajang Aga Khan Awards for Architecture (AKAA) 2022. Bandara hijau pertama di Indonesia itu bersaing dengan 19 karya arsitektur lain yang tersebar di 16 negara.

Terminal bandara yang dibangun pemerintah kabupaten berkolaborasi dengan arsitek Andra Matin itu menarik perhatian dunia bukan hanya karena desainnya yang mengadopsi bentuk udeng alias ikat kepala suku Osing. Melainkan juga karena bangunannya yang mengusung konsep hijau dan ramah lingkungan (green building).

Andra Matin adalah seorang arsitek kebanggaan bangsa yang pernah dinobatkan sebagai satu di antara 101 arsitek dunia yang paling berkiprah versi Wallpaper Architecture Directory pada 2007. Andra juga adalah perancang Le Bo ye Graphic dan Gedung Dua8 di Jakarta serta Conrad Chapel di Bali.

Konsep green building tersebut terlihat dari atap terminal yang ditanami tanaman, konservasi air, dan sunroof yang menjadi sumber cahaya alami pada siang hari. Atap bangunannya juga menunjukkan pembagian yang jelas antara terminal keberangkatan dan kedatangan.

Bupati Ipuk Fiestiandani mengatakan, Bandara Banyuwangi menggerakkan perekonomian lokal dengan semakin mudahnya akses dari dan menuju Banyuwangi. ’’Hal ini berujung pada peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di kabupaten yang kita cintai bersama ini,” kata dia kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Aga Khan Awards for Architecture merupakan penghargaan tertua di dunia bidang arsitektur yang dilaksanakan tiga tahun sekali. Karya yang masuk nominasi tidak hanya memperlihatkan keunggulan arsitektur. Tapi juga merespons aspirasi budaya, mendukung konservasi, dan meningkatkan kualitas lingkungan.

Baca Juga :  Masuk Dipandu Petugas KPPS, Tangan Diarahkan ke Surat Suara

Penghargaan itu tak hanya memberikan apresiasi kepada arsitek, tetapi juga klien, perajin ahli, dan semua pihak yang telah memainkan peran penting dalam realisasi proyek. Sebanyak 20 karya arsitektur tersebut, antara lain, Wafra Wind Tower (Kuwait), Tulkarm Courthouse (Palestina), Flying Saucer Rehabilitation (Uni Emirat Arab), dan Le Jardin d’Afrique (Tunisia).

Bandara Banyuwangi kini telah melayani penerbangan komersial. Sebelum pandemi Covid-19, dibuka rute penerbangan Banyuwangi¬–Jakarta pergi pulang (PP), Banyuwangi– Surabaya (PP), dan Banyuwangi–Denpasar.

Begitu memasuki pandemi, jadwal penerbangan di Banyuwangi sempat tidak teratur. Tapi, seiring meredanya Covid-19, mulai 13 Desember 2021 rute penerbangan Jakarta–Banyuwangi PP mulai dilayani seperti dulu lagi.

’’Bandara Blimbingsari tidak hanya berfungsi sebagai penunjang infrastruktur, tapi juga daya tarik wisata serta pengungkit roda ekonomi Banyuwangi,” ungkap Executive General Manager (EGM) PT Angkasa Pura II Bandar Udara Internasional Banyuwangi Indrawansyah melalui Plt Manager of Operation, Service, and Maintenance Perananta Sembiring.

Bandara Banyuwangi merupakan pintu masuk dan etalase mini suku Osing, penduduk asli kabupaten di Jawa Timur tersebut. Karena itu, dirancang khas dengan mengakomodasi potensi budaya lokal. Bandara tersebut dilengkapi 12 konter check-in sebagai antisipasi perkembangan sampai sepuluh tahun ke depan dengan empat maskapai yang beroperasi. Masing-masing Garuda Indonesia, Batik Air, Citilink, dan Susi Air.

Bangunan terminal bandara tanpa eskalator.  Sistem penerangannya mengandalkan sinar  matahari dengan penguraian kaca samping.  Sirkulasi pencahayaan berupa atap yang bisa tembus cahaya ke ruangan.

’’Dimensi landasan pacu  kini memiliki panjang 2.450 meter, lebar 45 meter dengan ketebalan strength 56 pavement classification number (PCN). Dengan klasifikasi ini, landasan bandara bisa didarati pesawat 737-900 ER,” tuturnya.

Konsep arsitektur hijau bandara pernah mendapat apresiasi dari Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR. BKSAP menilai konsep green architecture terminal yang sedang dibangun itu sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan.

Bangunan rancangan arsitek Andra Matin tersebut juga dinilai mengedepankan penggunaan energi sehemat mungkin karena meminimalkan penggunaan AC dan lampu pada siang hari.

Sekretaris Kabupaten Banyuwangi Mujiono mengatakan, rancangan bangunan terminal bandara memenuhi enam kriteria bangunan ramah lingkungan. Yaitu, penggunaan lahan tepat guna, efisiensi energi, konservasi air, kenyamanan udara, siklus material, dan manajemen lingkungan.

Baca Juga :  Ada Ojek Khusus Wanita dan Kurir Sepeda Untuk Anak Sekolah

Andra juga menerapkan konsep desain pasif yang lebih mengandalkan penataan ruangan daripada penggunaan alat-alat canggih untuk mengurangi konsumsi energi. Begitu memasuki kawasan bandara, siapa saja akan disuguhi bangunan hijau berlantai dua beratap rumput. ’’Jika dilihat dari atas atau pinggir, model terminal serupa dengan udeng, penutup kepala khas Banyuwangi,” ungkap Mujiono.

Jika dilihat lebih detail, kisi-kisi bahan bangunan bandara juga menggunakan banyak bahan daur ulang dengan memanfaatkan kayu ulin bekas kapal maupun dermaga.

Perangkat pendingin udara dan material kaca hampir tidak digunakan di bandara itu. Sebagai gantinya, desain interior gedung terminal dirancang minim sekat dengan dinding berupa kisi-kisi dari kayu ulin. Itu membuat sirkulasi udara berjalan lancar dan sinar matahari dapat leluasa masuk. ”Sehingga mengurangi penggunaan lampu. Kehadiran empat kolam ikan di lantai dasar juga berpengaruh besar terhadap suhu ruang karena mampu menurunkan tekanan udara,’’ kata Sekkab Mujiono.

Ketika masuk ke terminal, semua tempat duduk penumpang menggunakan kursi berbahan kayu yang minimalis. Dilengkapi dengan stopkontak listrik yang rapi dan tersembunyi di antara kursi sehingga kesan dekat dengan alam sangat terasa.

Sementara itu, bagian atap bangunan terminal bandara mengadaptasi bentuk penutup kepala pria suku Osing, udeng. Kehadirannya tak hanya menjadi representasi budaya lokal, tetapi juga membuat cahaya matahari dapat masuk melalui wuwungan. Buntutnya, ruang utama tetap terang walaupun tanpa lampu pada siang hari.

Untuk meredam radiasi sinar matahari, di bagian luar bandara juga terdapat tanaman hias li quan yew atau air terjun. Bagian atap dilapisi rumput gajah mini yang selaras dengan taman pakis, pohon pule, dan rumput yang menghampar di sekitar bandara.

’’Bahan lain yang digunakan adalah batu lempeng asli Banyuwangi untuk melapisi dinding dari kayu ulin tadi. Sementara, kisi-kisi dan ornamen bangunan terbuat dari kayu jati yang menampilkan hiasan lokal Banyuwangi, Gajah Oling,” jelas Mujiono. (*/aif/c7/ttg/JPG)

Bandara Banyuwangi Bersanding dengan Karya Arsitektur Top Dunia

Desain interior terminal Bandara Banyuwangi dirancang minim sekat dengan dinding berupa kisi-kisi dari kayu ulin bekas kapal untuk memperlancar sirkulasi udara serta sinar matahari. Tak cuma berfungsi sebagai penunjang infrastruktur, tapi juga menjadi daya tarik wisata.   

SIGIT HARIYADI-DEDY JUMHARDIYANTO, Banyuwangi

BANDARA Banyuwangi tak sekadar menjadi salah satu penggerak roda perekonomian masyarakat. Tapi, juga salah satu bukti bahwa perkembangan pesat kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu diraih tanpa menyingkirkan akar budaya masyarakat.

Bandara yang berada di Desa/Kecamatan Blimbingsari itu masuk jajaran Top 20 bangunan dengan arsitektur terbaik dunia dalam ajang Aga Khan Awards for Architecture (AKAA) 2022. Bandara hijau pertama di Indonesia itu bersaing dengan 19 karya arsitektur lain yang tersebar di 16 negara.

Terminal bandara yang dibangun pemerintah kabupaten berkolaborasi dengan arsitek Andra Matin itu menarik perhatian dunia bukan hanya karena desainnya yang mengadopsi bentuk udeng alias ikat kepala suku Osing. Melainkan juga karena bangunannya yang mengusung konsep hijau dan ramah lingkungan (green building).

Andra Matin adalah seorang arsitek kebanggaan bangsa yang pernah dinobatkan sebagai satu di antara 101 arsitek dunia yang paling berkiprah versi Wallpaper Architecture Directory pada 2007. Andra juga adalah perancang Le Bo ye Graphic dan Gedung Dua8 di Jakarta serta Conrad Chapel di Bali.

Konsep green building tersebut terlihat dari atap terminal yang ditanami tanaman, konservasi air, dan sunroof yang menjadi sumber cahaya alami pada siang hari. Atap bangunannya juga menunjukkan pembagian yang jelas antara terminal keberangkatan dan kedatangan.

Bupati Ipuk Fiestiandani mengatakan, Bandara Banyuwangi menggerakkan perekonomian lokal dengan semakin mudahnya akses dari dan menuju Banyuwangi. ’’Hal ini berujung pada peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di kabupaten yang kita cintai bersama ini,” kata dia kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Aga Khan Awards for Architecture merupakan penghargaan tertua di dunia bidang arsitektur yang dilaksanakan tiga tahun sekali. Karya yang masuk nominasi tidak hanya memperlihatkan keunggulan arsitektur. Tapi juga merespons aspirasi budaya, mendukung konservasi, dan meningkatkan kualitas lingkungan.

Baca Juga :  Masuk Dipandu Petugas KPPS, Tangan Diarahkan ke Surat Suara

Penghargaan itu tak hanya memberikan apresiasi kepada arsitek, tetapi juga klien, perajin ahli, dan semua pihak yang telah memainkan peran penting dalam realisasi proyek. Sebanyak 20 karya arsitektur tersebut, antara lain, Wafra Wind Tower (Kuwait), Tulkarm Courthouse (Palestina), Flying Saucer Rehabilitation (Uni Emirat Arab), dan Le Jardin d’Afrique (Tunisia).

Bandara Banyuwangi kini telah melayani penerbangan komersial. Sebelum pandemi Covid-19, dibuka rute penerbangan Banyuwangi¬–Jakarta pergi pulang (PP), Banyuwangi– Surabaya (PP), dan Banyuwangi–Denpasar.

Begitu memasuki pandemi, jadwal penerbangan di Banyuwangi sempat tidak teratur. Tapi, seiring meredanya Covid-19, mulai 13 Desember 2021 rute penerbangan Jakarta–Banyuwangi PP mulai dilayani seperti dulu lagi.

’’Bandara Blimbingsari tidak hanya berfungsi sebagai penunjang infrastruktur, tapi juga daya tarik wisata serta pengungkit roda ekonomi Banyuwangi,” ungkap Executive General Manager (EGM) PT Angkasa Pura II Bandar Udara Internasional Banyuwangi Indrawansyah melalui Plt Manager of Operation, Service, and Maintenance Perananta Sembiring.

Bandara Banyuwangi merupakan pintu masuk dan etalase mini suku Osing, penduduk asli kabupaten di Jawa Timur tersebut. Karena itu, dirancang khas dengan mengakomodasi potensi budaya lokal. Bandara tersebut dilengkapi 12 konter check-in sebagai antisipasi perkembangan sampai sepuluh tahun ke depan dengan empat maskapai yang beroperasi. Masing-masing Garuda Indonesia, Batik Air, Citilink, dan Susi Air.

Bangunan terminal bandara tanpa eskalator.  Sistem penerangannya mengandalkan sinar  matahari dengan penguraian kaca samping.  Sirkulasi pencahayaan berupa atap yang bisa tembus cahaya ke ruangan.

’’Dimensi landasan pacu  kini memiliki panjang 2.450 meter, lebar 45 meter dengan ketebalan strength 56 pavement classification number (PCN). Dengan klasifikasi ini, landasan bandara bisa didarati pesawat 737-900 ER,” tuturnya.

Konsep arsitektur hijau bandara pernah mendapat apresiasi dari Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR. BKSAP menilai konsep green architecture terminal yang sedang dibangun itu sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan.

Bangunan rancangan arsitek Andra Matin tersebut juga dinilai mengedepankan penggunaan energi sehemat mungkin karena meminimalkan penggunaan AC dan lampu pada siang hari.

Sekretaris Kabupaten Banyuwangi Mujiono mengatakan, rancangan bangunan terminal bandara memenuhi enam kriteria bangunan ramah lingkungan. Yaitu, penggunaan lahan tepat guna, efisiensi energi, konservasi air, kenyamanan udara, siklus material, dan manajemen lingkungan.

Baca Juga :  Tampilkan Kreatifitas Anak Lewat Pameran Kreatif dan Kuliner Khas Papua

Andra juga menerapkan konsep desain pasif yang lebih mengandalkan penataan ruangan daripada penggunaan alat-alat canggih untuk mengurangi konsumsi energi. Begitu memasuki kawasan bandara, siapa saja akan disuguhi bangunan hijau berlantai dua beratap rumput. ’’Jika dilihat dari atas atau pinggir, model terminal serupa dengan udeng, penutup kepala khas Banyuwangi,” ungkap Mujiono.

Jika dilihat lebih detail, kisi-kisi bahan bangunan bandara juga menggunakan banyak bahan daur ulang dengan memanfaatkan kayu ulin bekas kapal maupun dermaga.

Perangkat pendingin udara dan material kaca hampir tidak digunakan di bandara itu. Sebagai gantinya, desain interior gedung terminal dirancang minim sekat dengan dinding berupa kisi-kisi dari kayu ulin. Itu membuat sirkulasi udara berjalan lancar dan sinar matahari dapat leluasa masuk. ”Sehingga mengurangi penggunaan lampu. Kehadiran empat kolam ikan di lantai dasar juga berpengaruh besar terhadap suhu ruang karena mampu menurunkan tekanan udara,’’ kata Sekkab Mujiono.

Ketika masuk ke terminal, semua tempat duduk penumpang menggunakan kursi berbahan kayu yang minimalis. Dilengkapi dengan stopkontak listrik yang rapi dan tersembunyi di antara kursi sehingga kesan dekat dengan alam sangat terasa.

Sementara itu, bagian atap bangunan terminal bandara mengadaptasi bentuk penutup kepala pria suku Osing, udeng. Kehadirannya tak hanya menjadi representasi budaya lokal, tetapi juga membuat cahaya matahari dapat masuk melalui wuwungan. Buntutnya, ruang utama tetap terang walaupun tanpa lampu pada siang hari.

Untuk meredam radiasi sinar matahari, di bagian luar bandara juga terdapat tanaman hias li quan yew atau air terjun. Bagian atap dilapisi rumput gajah mini yang selaras dengan taman pakis, pohon pule, dan rumput yang menghampar di sekitar bandara.

’’Bahan lain yang digunakan adalah batu lempeng asli Banyuwangi untuk melapisi dinding dari kayu ulin tadi. Sementara, kisi-kisi dan ornamen bangunan terbuat dari kayu jati yang menampilkan hiasan lokal Banyuwangi, Gajah Oling,” jelas Mujiono. (*/aif/c7/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya