Scott Alfaz, ODHA yang Bangkit dari Keterpukulan, Lulus S-2 di Eropa, dan Jadi CEO
Scott Alfaz melewati masa-masa sulit setelah divonis mengidap HIV dengan disiplin mengonsumsi obat serta beraktivitas senormal-normalnya. Platform digital yang dia dirikan bersama beberapa rekannya menyediakan ruang aman untuk pembahasan isu-isu seksual dan kesehatan mental.
DINDA JUWITA, Jakarta
SATU dekade lalu, hidup Scott berubah untuk selamanya. Niat baiknya mendonorkan darah justru membuatnya tahu fakta yang tak pernah diharapkannya dalam hidup.
Tak lama setelah sampel darahnya diambil, seorang petugas PMI (Palang Merah Indonesia) menghubungi dan meminta Scott dirujuk ke salah satu rumah sakit di Jogjakarta. Setengah jam kemudian, dokter memberinya kabar buruk.
”Diberi tahu (HIV positif, Red). Saat itu saya masih kuliah, 19 tahun. Nggak tahu dan nggak sadar karena tidak ada perubahan sama sekali secara fisik,” ujarnya kepada Jawa Pos baru-baru ini.
Hidup terasa begitu gelap. Scott tak tahu-menahu apa yang harus dilakukannya saat itu. Dia kalut, mencoba menguasai diri, meski akhirnya jatuh juga.
”Saya malu, merasa berbeda, nggak punya keberanian menceritakannya ke keluarga saat itu. Tujuh tahun saya nggak menceritakan kondisi saya kepada keluarga,” jelasnya.
Pria bertubuh atletis itu menutup diri selama tujuh tahun. Dia banyak dibantu para sahabat. Sisanya, tentu dia harus mengandalkan diri sendiri.
Setiap bulan Scott rutin mengambil jatah obat yang harus dikonsumsinya. Memang, tak ada obat untuk AIDS. Namun, kepatuhan yang ketat untuk mengonsumsi rejimen antiretroviral (ARV) dapat secara dramatis memperlambat bertambah parahnya penyakit serta mencegah infeksi sekunder dan komplikasi.
Pemerintah pun menggratiskan dan menjamin ketersediaan obat tersebut. Itu tentu menjadi angin segar yang memperpanjang harapan hidup para ODHA.
Dengan menjalani terapi yang dianjurkan, virus HIV menjadi undetectable. Artinya, virus tersebut tak terdeteksi dalam darah. Sumber UNAIDS dan CDC menyebut bahwa orang dengan HIV undetectable tak bisa menularkan virus kepada pasangan maupun bayinya.
Scott sudah berada di fase undetectable. Untuk bisa sampai tahap tersebut, syaratnya adalah terus mengonsumsi obat ARV secara konsisten dan tepat waktu. Dengan begitu, sistem kekebalan kembali terbentuk dan harapan hidup ODHA bisa lebih panjang.
Sejak dinyatakan sebagai ODHA, Scott mencoba menjalani hidup senormal-normalnya. Meski begitu, tentu masa-masa sulit harus dijalaninya. Di awal mengonsumsi obat-obatan itu, misalnya, dia sempat merasakan alergi.
”Karena sempat alergi, berat badan saya sempat turun drastis. Namun, beberapa bulan kemudian saya sudah nggak alergi, berat badan normal lagi. Ya, akhirnya saya mencoba melanjutkan hidup pelan-pelan dengan kuliah lagi, beraktivitas lagi,” tutur pria lajang tersebut.
Dia menceritakan, konsumsi obat itu berbeda-beda untuk setiap ODHA. Ada yang harus dikonsumsi dua kali sehari dalam rentang waktu 12 jam. Ada pula yang hanya sekali sehari dalam rentang waktu 24 jam.
Di awal, Scott menenggak obat satu hari dua kali. Namun, pada tahun keenam, dia mengajukan penggantian ke obat yang hanya diminum sekali kali sehari. ”Nggak ada alasan khusus atau bagaimana, hanya agar memudahkan aktivitas minum obatnya,” ujar pria 29 tahun tersebut.
Meski mencoba menjalani hidup senormal-normalnya, Scott tak bisa membohongi isi hatinya. Batinnya terus bergejolak. Berbagai pikiran tentang masa depan yang belum pasti membuatnya tak tenang.
”Sempat ingin bunuh diri, pengin udahan aja gitu. Ngerasa nggak akan bisa hidup lama, jadi ya mending udahan aja gitu,” ungkapnya.
Keruwetan pikiran itu harus diperparah dengan stigma HIV yang berkembang di masyarakat. Sempat putus asa, dia bahkan pernah hampir menabrakkan diri di depan mobil di jalanan.
Bertahun-tahun harus berperang dengan batin sendiri, Scott mencoba berdamai. Dia tak ingin virus paling mematikan di muka bumi itu membunuh mimpi-mimpinya.
Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, tersebut menceritakan bahwa embel-embel sebagai salah seorang HIV positif yang justru akhirnya membuatnya termotivasi. Dia berhasil menyelesaikan S-1 dari Fakultas Hukum UGM dengan predikat cum laude.
Hingga akhirnya, pada 2017, Scott mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studi S-2 di bidang hukum kriminal global di Universitas Groningen, Belanda. Pulang dari studinya di Negeri Kincir Angin, Scott ingin bisa berkontribusi bagi para ODHA di tanah air.
Dia pun mendirikan hayVee pada 2019. Platform digital yang didirikan bersama beberapa rekannya itu bertujuan menjadi ruang aman untuk isu-isu seksual dan kesehatan mental.
”HayVee juga berusaha merangkul teman-teman yang HIV positif dan menyiapkan wadah untuk langsung terhubung dengan dokter dan para profesional,” jelas Scott yang menjabat CEO di hayVee.
Scott menuturkan, mendirikan hayVee bukanlah semata-mata untuk mewujudkan salah satu mimpinya. Bagi pria 29 tahun yang juga berkiprah sebagai entrepreneur itu, hidup sebagai ODHA justru membuatnya lebih bijaksana dan memikirkan orang lain.
Soal berkeluarga, dia mengakui rencana itu ada. Namun, sejauh ini dia belum bertemu dengan jodoh. Beberapa kali berpacaran dan pacar-pacarnya tahu dia ODHA dan bisa menerima, tetapi toh akhirnya putus juga. ”Putusnya bukan karena saya ODHA,” katanya.
Di luar itu, dia merasa hidup yang dirasakannya saat ini jauh lebih baik daripada bayangan-bayangan semu di pikirannya. Meski, dia mengakui hingga saat ini terus berusaha berdamai dengan takdir yang dijalani.
”Setelah melihat respons orang-orang yang positif, banyak sekali yang memberikan support. Ya, meski ada juga sih yang nyinyir, terutama di medsos (media sosial). Tapi, toh kata-kata netizen nggak memengaruhi saldo rekening saya,” ujarnya berkelakar. (*/c14/ttg/JPG)