Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Yang Dikeluhkan Cuma Dingin yang Lebih Menusuk Tulang

Mereka Membangun Kehidupan Baru di Hunian Tetap di Kaki Semeru

Geliat ekonomi mulai tumbuh di hunian tetap yang dibangun untuk para pengungsi letusan Semeru. Bangunannya juga kukuh, tak tembus suara hujan, dan tahan gempa.

EDI SUSILO, Lumajang

ANGIN malam dari lembah Semeru menyusup lewat celah hutan pinus yang berada tepat di atas ribuan hunian tetap (huntap) di Desa Sumbermujur, Lumajang, Jawa Timur. Berembus ke bawah, membuat tengkuk para penghuni huntap bergidik kedinginan.

’’Nginep di sini saja. Sebentar lagi hujan. Ayo masuk rumah,’’ ucap Suyadi, menawari Jawa Pos menginap.

Lindap memang sudah menggelayut. Dan, benar saja, tak sampai lima menit, hujan turun deras. Memaksa setiap penghuni, para korban APG (awan panas guguran) Semeru itu masuk ke huntap berukuran 6 x 6 meter yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) tersebut.

Ditemani sang paman, Lamsino, sesama pengungsi APG Semeru, keduanya mengobrol di ruang tamu Senin (27/6) malam pekan lalu. Ditemani rokok lintingan, keduanya mengaku bersyukur mendapatkan huntap di kloter pertama. Setelah berbulan-bulan tinggal di tenda pengungsian di Desa Penanggal.

Tinggal di huntap, bagi Suyadi dan Lamsino, adalah upaya menghapus trauma. Dusun mereka, Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, dihujani abu saat Semeru meletus pada 4 Desember tahun lalu yang membuat warga kalang kabut, tunggang-langgang, menyelamatkan diri. ’’Saya kalau ingat-ingat peristiwa itu saja masih ngeri. Takut,’’ ucap Lamsino dengan nada bergetar.

Meski semua keluarganya selamat saat kejadian, kecamuk panas abu gunung setinggi 3.676 meter itu, jeritan tetangga, dan teriakan anak-anak membuatnya ogah kembali ke desa. Huntap pun menjadi kesempatan bagi dia untuk membangun kembali kehidupan. ”Rumah ini sudah sae (bagus). Bangunannya bagus,” papar Lamsino.

Itu dia buktikan ketika ingin menancapkan paku di tembok huntap. Alih-alih tembok bisa tertembus, paku yang dipalu justru bengkok. Kalau hujan, suaranya juga tidak tembus.

Hanya terdengar sayup-sayup. Dia senang karena rumah yang dibangun pemerintah pusat itu juga tahan gempa.

Ada 1.951 unit huntap yang sudah dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tapi baru 130 KK yang menghuni sejak 27 April lalu. Masing-masing pengungsi Semeru mendapatkan huntap dan huntara (hunian sementara) yang dibangun gandeng dengan luas tanah 140 meter persegi.

Baca Juga :  Jadi Bagian Tim Wonderland Indonesia 2 dengan Titik Pijak Awal Komputer Bekas

Tapi, belum siapnya huntara sebagai pelengkap huntap menjadi salah satu penyebab belum semua pengungsi bisa masuk ke tempat relokasi. Pemkab Lumajang menargetkan, pemindahan tuntas dalam dua bulan ini.

Sebanyak 1.951 unit huntap yang dibangun Kementerian PUPR telah tuntas. Namun, untuk huntara yang dibangun berbagai NGO (non- governmental organization), belum semuanya rampung.

Sebanyak 577 huntara kini sudah selesai. Sedangkan 401 unit lainnya sedang dibangun secara bertahap.

Yang dikeluhkan Lamsino hanya soal dingin yang menusuk tulang. Dia dan warga huntap lain memang ’’orang gunung”,  telah sepanjang hidup mereka hidup berdampingan dengan dinginnya hawa gunung.

Tapi, huntap di Sumbermujur memang lebih menusuk tulang. Maklum, tempatnya langsung berada di kaki Semeru. Tak ada gunung atau perbukitan yang bisa menghadang dinginnya angin dari atas. Tak seperti di dusun Lamsino dulu. Saat Jawa Pos menginap di sana pada Senin malam pekan lalu, misalnya, suhu tercatat 18 derajat Celsius.

Pada Selasa pagi keesokan harinya, selepas azan Subuh, aktivitas warga yang tinggal di huntap yang diberi nama Bumi Semeru Damai itu mulai menggeliat. Pagi-pagi pedagang tahu dengan klakson dan trompet membangunkan penghuni yang masih meringkuk kedinginan. Penjual sayur juga mulai menjajakan dagangannya ke rumah-rumah warga.

Termasuk Suyadi yang pagi itu bergegas menjemput rezeki. Bersama putri bungsunya, Mirnawati, 9, keduanya berboncengan naik sepeda motor menuju Kecamatan Candipuro untuk menggiling daging ayam buat campuran adonan bakso.

Saat PMK (penyakit mulut dan kuku) merebak di Lumajang, bapak dua anak itu memang mengubah campuran adonan bakso. Sebelumnya, dia menggunakan gilingan daging sapi. Karena tak laku dan warga waswas makan daging sapi selama PMK, daging ayam pun menjadi pilihan.

Sejak tinggal di pengungsian, lelaki 40 tahun itu memang telah memulai usaha. Mi ayam dan bakso menjadi pilihannya bersama sang istri, Satuni, mencari penghasilan. Usaha itu kini dia pindahkan ke samping rumah di blok D2-10. ”Hasilnya ya alhamdulillah,” katanya.

Sejak pagi, belasan pembeli meriung di warungnya. Tetangga, tamu, dan para pekerja yang mengerjakan proyek penyempurnaan huntap menjadi pelanggan.

Berjarak dua blok dari Suyadi, Saiful Arifin menjajal peruntungan dengan membuka usaha bensin eceran. Juga, warung kopi (warkop) kecil-kecilan di samping rumah. Memang, yang dia kantongi tidak sebesar ketika menjadi petani di Dusun Curah Kobokan, Desa Supiturang. Tapi, dia tetap bersyukur bisa memperoleh sedikit pendapatan.

Baca Juga :  Ciptakan Pelapis Keramik Semprot Termal, Digandeng Badan Antariksa Eropa

Selain membuka usaha, Saiful kini menjadi pekerja proyek yang membantu menyelesaikan huntap. Dia bekerja sebagai kuli yang mengecat rumah. Hasilnya dia gunakan untuk tambahan menghidupi sang istri dan putri tunggalnya yang baru genap berusia setahun. ”Saya pengin kerja lain. Nggak berani tinggal lagi di desa,” ungkapnya.

Hampir di setiap blok ada penghuni membuka usaha di sisa tanah samping rumah. Mayoritas berdagang makanan-minuman. Ada pula yang berjualan gas dan isi ulang pulsa telepon.

Meski sudah menggeliat, belum semua pengungsi bisa kembali bekerja. Terutama para pengungsi yang sebelum tinggal di pengungsian bekerja sebagai penggarap sawah dan ladang.

Ya, sejak Semeru meluluhlantakkan dusun dan desa, sawah mereka belum bisa ditanami lagi. Abu dan pasir Semeru masih menyelimuti sawah dan ladang. ”Pasir di sawah saya masih setinggi dengkul,” kata Lamsino.

Petani asal Kajar Kuning itu sudah menengok kondisi sawah yang masih jadi lautan pasir. Tak hanya tebal, pasir yang menutup sawah juga telah mengeras padat sehingga dicangkul secara manual pun tidak akan bisa. Dia berharap ada alat berat yang bisa mengeruk lapisan pasir itu.

Sumiati juga tidak bisa lagi memulai menanam sengon di ladang miliknya bersama sang suami. Ladang sudah hancur diterjang lahar Semeru. Pasir menutup dan merobohkan ratusan pohon sengon berusia tujuh tahun milik warga Dusun Kamar Kajang itu saat Semeru mengamuk tahun lalu. ”Sebenarnya waktunya panen. Tapi, Semeru keburu meletus,” keluh nenek 70 tahun tersebut.

Hingga kini, dia bersama sang suami masih menganggur. Hanya bantuan dari donatur dan anak-anaknya untuk menyambung hidup. Pikiran nenek itu juga belum tenang betul. Masih ada dua anak yang hingga kemarin belum mendapatkan jatah huntap seperti dirinya.

Pemkab Lumajang memang memperbolehkan para petani dan peladang untuk bisa menggarap tanah mereka. Asalkan, para pengungsi tidak kembali ke rumah mereka dan tidur di sana. Kampung-kampung pengungsi saat ini memang ditetapkan sebagai zona merah.

Kini harapan para petani kaki Semeru hanya satu: secepatnya bisa kembali ke ladang menggarap sawah dan ladang. (*/c7/ttg/JPG)

Mereka Membangun Kehidupan Baru di Hunian Tetap di Kaki Semeru

Geliat ekonomi mulai tumbuh di hunian tetap yang dibangun untuk para pengungsi letusan Semeru. Bangunannya juga kukuh, tak tembus suara hujan, dan tahan gempa.

EDI SUSILO, Lumajang

ANGIN malam dari lembah Semeru menyusup lewat celah hutan pinus yang berada tepat di atas ribuan hunian tetap (huntap) di Desa Sumbermujur, Lumajang, Jawa Timur. Berembus ke bawah, membuat tengkuk para penghuni huntap bergidik kedinginan.

’’Nginep di sini saja. Sebentar lagi hujan. Ayo masuk rumah,’’ ucap Suyadi, menawari Jawa Pos menginap.

Lindap memang sudah menggelayut. Dan, benar saja, tak sampai lima menit, hujan turun deras. Memaksa setiap penghuni, para korban APG (awan panas guguran) Semeru itu masuk ke huntap berukuran 6 x 6 meter yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) tersebut.

Ditemani sang paman, Lamsino, sesama pengungsi APG Semeru, keduanya mengobrol di ruang tamu Senin (27/6) malam pekan lalu. Ditemani rokok lintingan, keduanya mengaku bersyukur mendapatkan huntap di kloter pertama. Setelah berbulan-bulan tinggal di tenda pengungsian di Desa Penanggal.

Tinggal di huntap, bagi Suyadi dan Lamsino, adalah upaya menghapus trauma. Dusun mereka, Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, dihujani abu saat Semeru meletus pada 4 Desember tahun lalu yang membuat warga kalang kabut, tunggang-langgang, menyelamatkan diri. ’’Saya kalau ingat-ingat peristiwa itu saja masih ngeri. Takut,’’ ucap Lamsino dengan nada bergetar.

Meski semua keluarganya selamat saat kejadian, kecamuk panas abu gunung setinggi 3.676 meter itu, jeritan tetangga, dan teriakan anak-anak membuatnya ogah kembali ke desa. Huntap pun menjadi kesempatan bagi dia untuk membangun kembali kehidupan. ”Rumah ini sudah sae (bagus). Bangunannya bagus,” papar Lamsino.

Itu dia buktikan ketika ingin menancapkan paku di tembok huntap. Alih-alih tembok bisa tertembus, paku yang dipalu justru bengkok. Kalau hujan, suaranya juga tidak tembus.

Hanya terdengar sayup-sayup. Dia senang karena rumah yang dibangun pemerintah pusat itu juga tahan gempa.

Ada 1.951 unit huntap yang sudah dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tapi baru 130 KK yang menghuni sejak 27 April lalu. Masing-masing pengungsi Semeru mendapatkan huntap dan huntara (hunian sementara) yang dibangun gandeng dengan luas tanah 140 meter persegi.

Baca Juga :  Kadang Ngaku Polisi, Tak Terhitung Jumlah Motor yang Dicuri

Tapi, belum siapnya huntara sebagai pelengkap huntap menjadi salah satu penyebab belum semua pengungsi bisa masuk ke tempat relokasi. Pemkab Lumajang menargetkan, pemindahan tuntas dalam dua bulan ini.

Sebanyak 1.951 unit huntap yang dibangun Kementerian PUPR telah tuntas. Namun, untuk huntara yang dibangun berbagai NGO (non- governmental organization), belum semuanya rampung.

Sebanyak 577 huntara kini sudah selesai. Sedangkan 401 unit lainnya sedang dibangun secara bertahap.

Yang dikeluhkan Lamsino hanya soal dingin yang menusuk tulang. Dia dan warga huntap lain memang ’’orang gunung”,  telah sepanjang hidup mereka hidup berdampingan dengan dinginnya hawa gunung.

Tapi, huntap di Sumbermujur memang lebih menusuk tulang. Maklum, tempatnya langsung berada di kaki Semeru. Tak ada gunung atau perbukitan yang bisa menghadang dinginnya angin dari atas. Tak seperti di dusun Lamsino dulu. Saat Jawa Pos menginap di sana pada Senin malam pekan lalu, misalnya, suhu tercatat 18 derajat Celsius.

Pada Selasa pagi keesokan harinya, selepas azan Subuh, aktivitas warga yang tinggal di huntap yang diberi nama Bumi Semeru Damai itu mulai menggeliat. Pagi-pagi pedagang tahu dengan klakson dan trompet membangunkan penghuni yang masih meringkuk kedinginan. Penjual sayur juga mulai menjajakan dagangannya ke rumah-rumah warga.

Termasuk Suyadi yang pagi itu bergegas menjemput rezeki. Bersama putri bungsunya, Mirnawati, 9, keduanya berboncengan naik sepeda motor menuju Kecamatan Candipuro untuk menggiling daging ayam buat campuran adonan bakso.

Saat PMK (penyakit mulut dan kuku) merebak di Lumajang, bapak dua anak itu memang mengubah campuran adonan bakso. Sebelumnya, dia menggunakan gilingan daging sapi. Karena tak laku dan warga waswas makan daging sapi selama PMK, daging ayam pun menjadi pilihan.

Sejak tinggal di pengungsian, lelaki 40 tahun itu memang telah memulai usaha. Mi ayam dan bakso menjadi pilihannya bersama sang istri, Satuni, mencari penghasilan. Usaha itu kini dia pindahkan ke samping rumah di blok D2-10. ”Hasilnya ya alhamdulillah,” katanya.

Sejak pagi, belasan pembeli meriung di warungnya. Tetangga, tamu, dan para pekerja yang mengerjakan proyek penyempurnaan huntap menjadi pelanggan.

Berjarak dua blok dari Suyadi, Saiful Arifin menjajal peruntungan dengan membuka usaha bensin eceran. Juga, warung kopi (warkop) kecil-kecilan di samping rumah. Memang, yang dia kantongi tidak sebesar ketika menjadi petani di Dusun Curah Kobokan, Desa Supiturang. Tapi, dia tetap bersyukur bisa memperoleh sedikit pendapatan.

Baca Juga :  Dulu Kamar Kos, Kini Dipenuhi Foto Berbagai Hiasan Lokal

Selain membuka usaha, Saiful kini menjadi pekerja proyek yang membantu menyelesaikan huntap. Dia bekerja sebagai kuli yang mengecat rumah. Hasilnya dia gunakan untuk tambahan menghidupi sang istri dan putri tunggalnya yang baru genap berusia setahun. ”Saya pengin kerja lain. Nggak berani tinggal lagi di desa,” ungkapnya.

Hampir di setiap blok ada penghuni membuka usaha di sisa tanah samping rumah. Mayoritas berdagang makanan-minuman. Ada pula yang berjualan gas dan isi ulang pulsa telepon.

Meski sudah menggeliat, belum semua pengungsi bisa kembali bekerja. Terutama para pengungsi yang sebelum tinggal di pengungsian bekerja sebagai penggarap sawah dan ladang.

Ya, sejak Semeru meluluhlantakkan dusun dan desa, sawah mereka belum bisa ditanami lagi. Abu dan pasir Semeru masih menyelimuti sawah dan ladang. ”Pasir di sawah saya masih setinggi dengkul,” kata Lamsino.

Petani asal Kajar Kuning itu sudah menengok kondisi sawah yang masih jadi lautan pasir. Tak hanya tebal, pasir yang menutup sawah juga telah mengeras padat sehingga dicangkul secara manual pun tidak akan bisa. Dia berharap ada alat berat yang bisa mengeruk lapisan pasir itu.

Sumiati juga tidak bisa lagi memulai menanam sengon di ladang miliknya bersama sang suami. Ladang sudah hancur diterjang lahar Semeru. Pasir menutup dan merobohkan ratusan pohon sengon berusia tujuh tahun milik warga Dusun Kamar Kajang itu saat Semeru mengamuk tahun lalu. ”Sebenarnya waktunya panen. Tapi, Semeru keburu meletus,” keluh nenek 70 tahun tersebut.

Hingga kini, dia bersama sang suami masih menganggur. Hanya bantuan dari donatur dan anak-anaknya untuk menyambung hidup. Pikiran nenek itu juga belum tenang betul. Masih ada dua anak yang hingga kemarin belum mendapatkan jatah huntap seperti dirinya.

Pemkab Lumajang memang memperbolehkan para petani dan peladang untuk bisa menggarap tanah mereka. Asalkan, para pengungsi tidak kembali ke rumah mereka dan tidur di sana. Kampung-kampung pengungsi saat ini memang ditetapkan sebagai zona merah.

Kini harapan para petani kaki Semeru hanya satu: secepatnya bisa kembali ke ladang menggarap sawah dan ladang. (*/c7/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya