Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

Biasanya, Bulan Begini Ini Kami Megang Banyak Lembaran Duit Abang

Di Lamongan, Mereka Berbulan-bulan Hidup dalam Genangan Banjir Bengawan Jero (1)

Banjir yang tak surut sejak November tahun lalu di puluhan desa di lima kecamatan menyulitkan warga bekerja, anak-anak sekolah, dan melenyapkan potensi penghasilan besar dari tambak. ”Rumah terendam itu sudah risiko, tapi kalau sudah jalan, itu nadi penghidupan kami,” kata Ghufron, salah seorang warga yang terdampak banjir.

EDI SUSILO, Lamongan

BAGI warga Kemlagilor, jumlah musim di Indonesia bukan lagi dua. Melainkan tiga: kemarau, hujan, dan banjir. Pantas disebut musim karena di desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu, banjir tak terjadi dalam hitungan hari. Atau pekan. Melainkan, bulan. Berbulan-bulan.

Banjir musim ini, misalnya. Sampai kemarin (2/3), air bah merendam jalan dan sebagian rumah warga Kemlagilor. Padahal, air luapan dari Bengawan Jero itu ada di sana sejak November tahun lalu. Belum ada tanda-tanda surut. Di beberapa ruas jalan utama, ketinggian air sampai sekitar 20 sentimeter. Di beberapa ruas lainnya, bahkan lebih dalam lagi.

”Banjir nggak enak, kakiku sampai gatal-gatal kena kutu,” ucap Noval Awaludin, bocah kelas VI SDN Kemlagilor, kepada Jawa Pos sambil menunjukkan bercak-bercak merah di sela kaki.

Bengawan Jero (jero dalam bahasa Jawa berarti dalam) adalah nama yang diakrabi masyarakat di sepanjang alirannya untuk menyebut Sungai Blawi. Sungai itu memanjang dari barat ke timur, melintasi beberapa kecamatan di kabupaten yang dikenal dengan soto ayam dan pecel lele tersebut.

Kawasan di sepanjang sungai tersebut merupakan dataran rendah yang rawan banjir. Orang-orang Lamongan sering menyebut kawasan tersebut sebagai lebak. Daratan rendah cengkung mirip cawan. Di sinilah air terjebak dan sulit mengalir jika penanganan tak dilakukan maksimal.

Data per 1 Maret dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim mencatat, akibat luapan Bengawan Jero, masih ada 29 desa yang dilanda banjir. Puluhan desa itu tersebar di lima kecamatan: Turi, Glagah, Deket, Kalitengah, dan Karangbinangun. Dengan ketinggian terendah 5 sentimeter dan terdalam 36 sentimeter.

Efek rambatan banjir yang tak kunjung surut itu otomatis menjulur panjang. Di Kemlagilor, misalnya, permukaan jalan licin. Lumpur yang terbawa air mengendap dan melapisi bagian atas jalan cor-coran beton tersebut. Tak hati-hati melintas, orang bisa dengan gampang terpeleset.

Semua aktivitas warga juga praktis melambat. Anak-anak berangkat ke sekolah dengan mencangking sandal. Tanpa sepatu. Para emak berjalan merambat untuk pergi ke pasar. Sambil menjinjing tas belanjaan. Semua berjalan dengan cara yang sama: menyibak rok dan daster atau menekuk celana. Menghindari air di bawah dengkul agar pakaian tak basah.

Baca Juga :  Hiasan Gerabah dari Situs Gunung Srobu Jadi Inspirasi Motif Batik Papua

Kepala SDN Kemlagilor Upi Ernawati menyatakan, meski tiga ruang kelas tak bisa dipakai karena kebanjiran, anak-anak tetap masuk sekolah. Jadwal sekolah pun dibuat dua sif agar semua siswa tertampung dan bisa belajar di ruang kelas. ”Ya, mau bagaimana lagi, setiap tahun begini,” katanya.

Sekolahnya telah mengajukan perbaikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan. Terutama untuk meninggikan lantai sekolah agar ruang kelas masih bisa dipakai untuk kegiatan belajar-mengajar ketika banjir.

Untuk memudahkan siswa ke sekolah, Pemda Lamongan juga telah menyiapkan lima mobil angkutan. Mobil-mobil itu akan mengangkut para murid melewati genangan banjir. Berangkat dan pulang, anak-anak bisa naik mobil tersebut. Gratis.

Getah getir juga karena air bah yang betah ngendon berbulan-bulan itu juga terciprat ke warga yang berdagang dan menjual jasa sebagai mata pencaharian. ”Saya nunggu air surut aja, baru kerja lagi,” ujar Gufron, warga Dusun Kiringan, Desa Kemlagilor.

Dia kapok lantaran nekat mengantarkan air galon ke rumah-rumah pelanggan saat banjir. Sebab, bukan untung yang dia dapat. Malah tekor. Sebab, mobil pikap L300 miliknya sering rusak setelah menerjang banjir. Saban dua hari, dia harus menyervis kendaraannya tersebut. Sekali servis ringan, biayanya mencapai Rp 150 ribu. Ongkos servis tak sebanding dengan keuntungan menjual air isi ulang. ”Harapan saya, jalan ini segera ditinggikan saja,” tuturnya.

Agar kerjanya enak. Dia tak berharap lebih: kampungnya bisa aman dari banjir. Rumah terendam, katanya, sudah menjadi risiko warga. Namun, jalan, sebagai urat nadi penghidupan, sepatutnya tak boleh terganggu luberan air.

Harapan lain disampaikan para petambak. Ya, tambak udang dan ikan memang menjadi penyambung hidup sebagian besar warga Kemlagilor. Setiap jengkal di desa itu dikelilingi pematang tambak. Dan, sudah tiga tahunan belakangan ini, nasib para petambak tak seperti pepatah lama, ”Siapa yang menabur pasti akan menuai”.

Sebab, benih ikan dan udang yang ditabur di tambak nyatanya tak mereka tuai dengan untung. Justru sebaliknya: rugi. ”Kalau nggak banjir, bisa panen 120 kilogram udang vaname,” kata Siti Malikah, yang membantu suaminya, Mas’ud, sebagai petambak.

Baca Juga :  Pilih Pulang Kembali, Karena Tidak Dapat Perhatian, Akses Pendidikan pun Sulit

Namun, saat panen awal tahun ini, udang vaname yang didapat tinggal 15 kilogram. Merosotnya hasil panen udang sudah dia prediksi. Sebab, baru sepekan dia menabur benih, banjir keburu datang.

”Biasanya, bulan begini ini kami megang banyak lembaran duit abang (merah/Rp 100 ribu, Red). Tapi, sekarang tinggal dua ribuan,” ungkap Mohamad, petambak lain, lantas tertawa getir meratapi nasib di warung kopi.

Sudah tak ada panen vaname tahun ini di tambaknya, nasib benih bandeng yang dia tabor pada November tahun lalu juga tak jelas. Air di tambak sampai saat ini terlalu tinggi. Tak cocok buat bandeng yang akan dipanen. Itu pun kalau bandengnya masih ada di tambak.

Berdasar pantauan Jawa Pos, di sepanjang jalan yang terendam air, tampaknya kekhawatiran Mohamad terbukti. Bandeng seukuran dua telunjuk tangan banyak berseliweran di jalan yang sudah mirip kolam itu.

Berjarak 9,1 kilometer ke timur Kemlagilor, banjir setinggi sekitar 20 sentimeter juga menggenangi jalan-jalan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Deket. Banjir yang berlangsung sejak akhir tahun lalu itu memaksa beberapa sekolah harus menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sebab, sekolah terendam air di atas mata kaki.

Menurut Plt Kepala SDN Sidomulyo 1 Kartadji, kebijakan PJJ diambil demi keamanan siswa. Sebab, bukan hanya sekolah yang kebanjiran. Tetapi juga akses menuju sekolah.

Di sebelah utara Sidomulyo, Desa Soko, Kecamatan Glagah, bernasib serupa. Banjir setinggi dengkul orang dewasa terjadi di beberapa ruas jalan.

Pekan lalu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PUSDA) Lamongan M. Jupri menyatakan, pihaknya terus berupaya melakukan percepatan penanganan banjir di wilayah Bengawan Jero dan Babat. Sejumlah langkah telah dilakukan Dinas PUSDA Lamongan, yang sebelumnya juga sempat berkoordinasi dengan balai besar wilayah sungai (BBWS). Salah satunya, menata konstruksi bangunan dam Margoanyar, Kecamatan Glagah.

Langkah itu diharapkan memperlancar arus pembuangan air ke Kali Corong menuju dam Tambakombo dan berakhir ke laut. Pembongkaran tersebut akan mempercepat surutnya air genangan di Bengawan Jero. Selain itu, langkah tersebut diharapkan mampu mempercepat pembuangan air dari Sungai Blawi menuju Bengawan Solo melalui pintu Kuro.

Warga terdampak banjir tentu berharap benar langkah itu mujarab. Dengan begitu, mereka kembali percaya bahwa Indonesia masih memiliki dua musim. Banjir (berbulan-bulan) tak termasuk di dalamnya. (*/c14/ttg)

Di Lamongan, Mereka Berbulan-bulan Hidup dalam Genangan Banjir Bengawan Jero (1)

Banjir yang tak surut sejak November tahun lalu di puluhan desa di lima kecamatan menyulitkan warga bekerja, anak-anak sekolah, dan melenyapkan potensi penghasilan besar dari tambak. ”Rumah terendam itu sudah risiko, tapi kalau sudah jalan, itu nadi penghidupan kami,” kata Ghufron, salah seorang warga yang terdampak banjir.

EDI SUSILO, Lamongan

BAGI warga Kemlagilor, jumlah musim di Indonesia bukan lagi dua. Melainkan tiga: kemarau, hujan, dan banjir. Pantas disebut musim karena di desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu, banjir tak terjadi dalam hitungan hari. Atau pekan. Melainkan, bulan. Berbulan-bulan.

Banjir musim ini, misalnya. Sampai kemarin (2/3), air bah merendam jalan dan sebagian rumah warga Kemlagilor. Padahal, air luapan dari Bengawan Jero itu ada di sana sejak November tahun lalu. Belum ada tanda-tanda surut. Di beberapa ruas jalan utama, ketinggian air sampai sekitar 20 sentimeter. Di beberapa ruas lainnya, bahkan lebih dalam lagi.

”Banjir nggak enak, kakiku sampai gatal-gatal kena kutu,” ucap Noval Awaludin, bocah kelas VI SDN Kemlagilor, kepada Jawa Pos sambil menunjukkan bercak-bercak merah di sela kaki.

Bengawan Jero (jero dalam bahasa Jawa berarti dalam) adalah nama yang diakrabi masyarakat di sepanjang alirannya untuk menyebut Sungai Blawi. Sungai itu memanjang dari barat ke timur, melintasi beberapa kecamatan di kabupaten yang dikenal dengan soto ayam dan pecel lele tersebut.

Kawasan di sepanjang sungai tersebut merupakan dataran rendah yang rawan banjir. Orang-orang Lamongan sering menyebut kawasan tersebut sebagai lebak. Daratan rendah cengkung mirip cawan. Di sinilah air terjebak dan sulit mengalir jika penanganan tak dilakukan maksimal.

Data per 1 Maret dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim mencatat, akibat luapan Bengawan Jero, masih ada 29 desa yang dilanda banjir. Puluhan desa itu tersebar di lima kecamatan: Turi, Glagah, Deket, Kalitengah, dan Karangbinangun. Dengan ketinggian terendah 5 sentimeter dan terdalam 36 sentimeter.

Efek rambatan banjir yang tak kunjung surut itu otomatis menjulur panjang. Di Kemlagilor, misalnya, permukaan jalan licin. Lumpur yang terbawa air mengendap dan melapisi bagian atas jalan cor-coran beton tersebut. Tak hati-hati melintas, orang bisa dengan gampang terpeleset.

Semua aktivitas warga juga praktis melambat. Anak-anak berangkat ke sekolah dengan mencangking sandal. Tanpa sepatu. Para emak berjalan merambat untuk pergi ke pasar. Sambil menjinjing tas belanjaan. Semua berjalan dengan cara yang sama: menyibak rok dan daster atau menekuk celana. Menghindari air di bawah dengkul agar pakaian tak basah.

Baca Juga :  Dibacok di Siku, tapi Lebih Suka Melapor sebagai Kecelakaan Tunggal

Kepala SDN Kemlagilor Upi Ernawati menyatakan, meski tiga ruang kelas tak bisa dipakai karena kebanjiran, anak-anak tetap masuk sekolah. Jadwal sekolah pun dibuat dua sif agar semua siswa tertampung dan bisa belajar di ruang kelas. ”Ya, mau bagaimana lagi, setiap tahun begini,” katanya.

Sekolahnya telah mengajukan perbaikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan. Terutama untuk meninggikan lantai sekolah agar ruang kelas masih bisa dipakai untuk kegiatan belajar-mengajar ketika banjir.

Untuk memudahkan siswa ke sekolah, Pemda Lamongan juga telah menyiapkan lima mobil angkutan. Mobil-mobil itu akan mengangkut para murid melewati genangan banjir. Berangkat dan pulang, anak-anak bisa naik mobil tersebut. Gratis.

Getah getir juga karena air bah yang betah ngendon berbulan-bulan itu juga terciprat ke warga yang berdagang dan menjual jasa sebagai mata pencaharian. ”Saya nunggu air surut aja, baru kerja lagi,” ujar Gufron, warga Dusun Kiringan, Desa Kemlagilor.

Dia kapok lantaran nekat mengantarkan air galon ke rumah-rumah pelanggan saat banjir. Sebab, bukan untung yang dia dapat. Malah tekor. Sebab, mobil pikap L300 miliknya sering rusak setelah menerjang banjir. Saban dua hari, dia harus menyervis kendaraannya tersebut. Sekali servis ringan, biayanya mencapai Rp 150 ribu. Ongkos servis tak sebanding dengan keuntungan menjual air isi ulang. ”Harapan saya, jalan ini segera ditinggikan saja,” tuturnya.

Agar kerjanya enak. Dia tak berharap lebih: kampungnya bisa aman dari banjir. Rumah terendam, katanya, sudah menjadi risiko warga. Namun, jalan, sebagai urat nadi penghidupan, sepatutnya tak boleh terganggu luberan air.

Harapan lain disampaikan para petambak. Ya, tambak udang dan ikan memang menjadi penyambung hidup sebagian besar warga Kemlagilor. Setiap jengkal di desa itu dikelilingi pematang tambak. Dan, sudah tiga tahunan belakangan ini, nasib para petambak tak seperti pepatah lama, ”Siapa yang menabur pasti akan menuai”.

Sebab, benih ikan dan udang yang ditabur di tambak nyatanya tak mereka tuai dengan untung. Justru sebaliknya: rugi. ”Kalau nggak banjir, bisa panen 120 kilogram udang vaname,” kata Siti Malikah, yang membantu suaminya, Mas’ud, sebagai petambak.

Baca Juga :  Bahas Depopulasi dan Marginalisasi Masyarakat Adat di Papua

Namun, saat panen awal tahun ini, udang vaname yang didapat tinggal 15 kilogram. Merosotnya hasil panen udang sudah dia prediksi. Sebab, baru sepekan dia menabur benih, banjir keburu datang.

”Biasanya, bulan begini ini kami megang banyak lembaran duit abang (merah/Rp 100 ribu, Red). Tapi, sekarang tinggal dua ribuan,” ungkap Mohamad, petambak lain, lantas tertawa getir meratapi nasib di warung kopi.

Sudah tak ada panen vaname tahun ini di tambaknya, nasib benih bandeng yang dia tabor pada November tahun lalu juga tak jelas. Air di tambak sampai saat ini terlalu tinggi. Tak cocok buat bandeng yang akan dipanen. Itu pun kalau bandengnya masih ada di tambak.

Berdasar pantauan Jawa Pos, di sepanjang jalan yang terendam air, tampaknya kekhawatiran Mohamad terbukti. Bandeng seukuran dua telunjuk tangan banyak berseliweran di jalan yang sudah mirip kolam itu.

Berjarak 9,1 kilometer ke timur Kemlagilor, banjir setinggi sekitar 20 sentimeter juga menggenangi jalan-jalan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Deket. Banjir yang berlangsung sejak akhir tahun lalu itu memaksa beberapa sekolah harus menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sebab, sekolah terendam air di atas mata kaki.

Menurut Plt Kepala SDN Sidomulyo 1 Kartadji, kebijakan PJJ diambil demi keamanan siswa. Sebab, bukan hanya sekolah yang kebanjiran. Tetapi juga akses menuju sekolah.

Di sebelah utara Sidomulyo, Desa Soko, Kecamatan Glagah, bernasib serupa. Banjir setinggi dengkul orang dewasa terjadi di beberapa ruas jalan.

Pekan lalu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PUSDA) Lamongan M. Jupri menyatakan, pihaknya terus berupaya melakukan percepatan penanganan banjir di wilayah Bengawan Jero dan Babat. Sejumlah langkah telah dilakukan Dinas PUSDA Lamongan, yang sebelumnya juga sempat berkoordinasi dengan balai besar wilayah sungai (BBWS). Salah satunya, menata konstruksi bangunan dam Margoanyar, Kecamatan Glagah.

Langkah itu diharapkan memperlancar arus pembuangan air ke Kali Corong menuju dam Tambakombo dan berakhir ke laut. Pembongkaran tersebut akan mempercepat surutnya air genangan di Bengawan Jero. Selain itu, langkah tersebut diharapkan mampu mempercepat pembuangan air dari Sungai Blawi menuju Bengawan Solo melalui pintu Kuro.

Warga terdampak banjir tentu berharap benar langkah itu mujarab. Dengan begitu, mereka kembali percaya bahwa Indonesia masih memiliki dua musim. Banjir (berbulan-bulan) tak termasuk di dalamnya. (*/c14/ttg)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya