Berkat pengabdian yang tulus, Neisel akhirnya diganjar sebagai Aparatur Sipil Negara pada tahun 2009. Tapi baginya itu hanyalah bonus, bukan tujuan. Sejak tahun itu, alumnus Universitas Brawijaya Malang itu berapa kali pindah tugas ke tempat dengan kondisi yang sama, seperti Puskesmas Yetti, Puskesmas Milki sekaligus menjabat sebagai Kepala Puskesmas untuk pertama kalinya.
Tak berselang lama, pria berusia 43 tahun itu kembali ke Kampung Semografi kemudian kembali dimutasi sebagai Kepala Puskesmas Yaffi. Pada awal tahun 2024, dirinya kembali ke Kampung Semografi. Dirinya benar-benar telah berjodoh dengan Kampung Semografi. Mengabdi 18 tahun membuat Neisel mendapatkan banyak pengalaman. Bahkan dia benar-benar kini sudah berdamai dengan kondisinya. Neisel satu-satunya tenaga kesehatan yang bertahan di Kampung Semografi.
Kampung Semografi dengan segala keterbatasan kini rumah kedua baginya. Pustu Semografi merupakan satu-satunya akses kesehatan yang berada di kampung bagian atas (Distrik Web). Neisel juga memberikan layanan kesehatan di kampung sekitar seperti Kampung Tatakra, Kampung Paprap, Kampung Favenimbu dan Dusun Semovita.
Butuh tenaga ekstra bagi Neisel untuk bisa mendatangi pasien. Di kampung-kampung tersebut, fasilitas transportasi yang terbatas memaksa dirinya harus berjalan kaki dari kampung ke kampung. Tak ada ruas jalan permanen, jalan kaki adalah satu-satunya pilihan. Neisel biasanya menyusuri pinggiran sungai, masuk hutan berjam-jam untuk tiba di kampung tujuan, Kampung Tatakra misalnya. Dari Kampung Semografi biasanya ditempuh 3-4 jam berjalan kaki.
“Saya hanya sendiri membawahi beberapa kampung. Sangat sulit semuanya, berjalan kaki berjam-jam untuk pelayanan, biasanya bermalam dalam perjalanan,” cetusnya.
*Melayani Tanpa Pamrih*
Entah apa yang merasuki pikiran Neisel sehingga tak pernah ada niat untuk meninggalkan Kampung Semografi. Padahal, apa yang dia lakukan selama ini sepertinya bertepuk sebelah tangan dengan apa yang ia dapatkan. Gajinya tetap sama dengan apa yang didapatkan oleh sejawatnya di perkotaan. Tapi baginya itu bukan sebuah tujuan. Karena tujuannya hanya untuk melayani masyarakat terpencil.
Dia ingin bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan, khususnya bagi Kampung Semografi dan kampung sekitar. Bahkan statusnya kini pun hanya sebagai ASN biasa di Pustu Semografi.
“Intinya kondisi sekarang sangat sulit. Beli bama saja sulit. Tunjangan dan lain-lainnya sudah tidak kayak dulu. Andalkan gaji saja. Kemarin kuliah kredit, masih potongan kredit. Jadi segalanya jadi sulit. Tapi bagi saya sudah biasa daerah begitu,” ujarnya dengan nafas panjang.
Dia bertutur, pernah mendapatkan tawaran untuk mutasi ke perkotaan (Kota Jayapura – red). Namun berat rasanya bagi Neisel berpisah dengan masyarakat Semografi dengan kondisi saat ini. Apalagi tak ada Nakes yang bisa bertahan lama di tempat itu.
“Hati saya ingin melayani masyarakat tertinggal yang jarang diperhatikan. Semua baik, tujuan kita mau kerja benar, bukan kerja baik,” tutur Neisel dengan mata berkaca-kaca.
Selain itu, mengabdi di pelosok membuat Neisel merasa lebih bermanfaat lantaran ilmu yang dipelajari selama menempuh pendidikan lebih dibutuhkan masyarakat setempat dibanding jika ia bekerja di perkotaan. Berbagai macam penyakit ditangani Neisel , seperti Malaria, Ispa, Diare, Infeksi Kulit, TBC dan penyakit lainnya. Dari kegiatan pengobatan gratis, hingga penyuluhan justru menjadi kebiasaan yang mengasyikan bagi Neisel. Mengobati masyarakat di pelosok, baginya justru lebih jujur dan tulus.
Pria dengan badan tegap itu juga menyebutkan jika dirinya dengan masyarakat Kampung Semografi kini tak bisa dipisahkan. Dirinya benar-benar dicintai. “Saya bisa bertahan sampai 18 tahun karena ditahan masyarakat, berapa kali pindah, masyarakat ketemu bupati yang lalu dan meminta saya dikembalikan ke Semografi,” ucapnya.