Miki menjelaskan adapun pengunaan aksesoris koteka yang ia pakai di hari wisuda itu merupakan impian sejak awal masuk di ISBI. Ini menggambarkan komitmen kecintaannya terhadap kebudayaan dan menjadi tantangan tersendiri di era serba modern ini. Tak diragukan, ternyata ia mengunakan koteka itu tidak hanya diujung pendidikannya semata tetapi juga jauh sebelum itu, ketika ia memasuki ujian meja dan yudisium.
“Ini saya suda janji dari awal masuk di ISBI Tanah Papua bahwa saat yudisium, bahkan saat ujian dan wisuda bahkan saya memakai atribut seperti ini (Koteka). Saya sudah bersumpah dengan diri saya sendiri,” ucap Miki dengan percaya diri, Selasa (28/10). Sambil tersenyum, Meki menjelaskan bahwa adapun pengunaan Koteka tersebut ia lakukan bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, Selasa 28 Oktober 2025.
Sehingga ia mengabdikan momen itu untuk mengenangkan sumpahnya diawal masuk kampus seni itu sebagai identitas orang asli Papua. Sebagai mahasiswa yang fokus pada Desain Komunikasi Visual (DKV), Miki mengaku telah menghasilkan banyak film dokumenter yang telah ia buat dengan peralatan yang seadanya. Kondisi ini pun sejalan dengan pengalaman pernah berkerja di sebuah konter Hp di Waena. Dari sini ia mempelajari tentang hal-hal yang baru tentang kemajuan teknologi meski dengan alat seadanya.
Selepas dari itu, ia mencoba merambah ke media sosial dengan merekam segala aktivitasnya dengan kamera seadanya. Dari kebiasaannya ia kemudian mencoba membuat film dokumenter. Alhasil pria yang senang dipanggil kaka Miki ini akhirnya terpilih sebagai sosok pemuda pelopor.
Istilah ini digunakan oleh Dispora Provinsi Papua yang merupakan sebuah event mencari sosok pemuda berbakat dan memiliki karakter menginspirasi. Pada akhir tahun 2021 lalu Miki terpilih sebagai juara satu Papua dan mewakili Papua ke tingkat nasional. Dalam Prodi DKV, ia lebih fokus pada video dan foto, dengan begitu ia mencoba merekam dan mengabdikan suara-suara alam dengan peralatan yang modern.
“Jadi itu namanya pengarsipan. Dulukan kita orang Papua dengan secara lisan. Tetapi hari ini dengan teknologi yang modern kita kolaborasi untuk mengabadikan atau mengabadikan budaya itu dalam bentuk digitalisasi, supaya generasi berikutnya juga bisa lihat,” jelasnya.
Miki menjelaskan adapun pengunaan aksesoris koteka yang ia pakai di hari wisuda itu merupakan impian sejak awal masuk di ISBI. Ini menggambarkan komitmen kecintaannya terhadap kebudayaan dan menjadi tantangan tersendiri di era serba modern ini. Tak diragukan, ternyata ia mengunakan koteka itu tidak hanya diujung pendidikannya semata tetapi juga jauh sebelum itu, ketika ia memasuki ujian meja dan yudisium.
“Ini saya suda janji dari awal masuk di ISBI Tanah Papua bahwa saat yudisium, bahkan saat ujian dan wisuda bahkan saya memakai atribut seperti ini (Koteka). Saya sudah bersumpah dengan diri saya sendiri,” ucap Miki dengan percaya diri, Selasa (28/10). Sambil tersenyum, Meki menjelaskan bahwa adapun pengunaan Koteka tersebut ia lakukan bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, Selasa 28 Oktober 2025.
Sehingga ia mengabdikan momen itu untuk mengenangkan sumpahnya diawal masuk kampus seni itu sebagai identitas orang asli Papua. Sebagai mahasiswa yang fokus pada Desain Komunikasi Visual (DKV), Miki mengaku telah menghasilkan banyak film dokumenter yang telah ia buat dengan peralatan yang seadanya. Kondisi ini pun sejalan dengan pengalaman pernah berkerja di sebuah konter Hp di Waena. Dari sini ia mempelajari tentang hal-hal yang baru tentang kemajuan teknologi meski dengan alat seadanya.
Selepas dari itu, ia mencoba merambah ke media sosial dengan merekam segala aktivitasnya dengan kamera seadanya. Dari kebiasaannya ia kemudian mencoba membuat film dokumenter. Alhasil pria yang senang dipanggil kaka Miki ini akhirnya terpilih sebagai sosok pemuda pelopor.
Istilah ini digunakan oleh Dispora Provinsi Papua yang merupakan sebuah event mencari sosok pemuda berbakat dan memiliki karakter menginspirasi. Pada akhir tahun 2021 lalu Miki terpilih sebagai juara satu Papua dan mewakili Papua ke tingkat nasional. Dalam Prodi DKV, ia lebih fokus pada video dan foto, dengan begitu ia mencoba merekam dan mengabdikan suara-suara alam dengan peralatan yang modern.
“Jadi itu namanya pengarsipan. Dulukan kita orang Papua dengan secara lisan. Tetapi hari ini dengan teknologi yang modern kita kolaborasi untuk mengabadikan atau mengabadikan budaya itu dalam bentuk digitalisasi, supaya generasi berikutnya juga bisa lihat,” jelasnya.