Misalnya, kata dia, ketika Kota atau Kabupaten melakukan sidang penetapan cagar budaya, maka Dinas Kebudayaan Provinsi harus menetapkan semua objek cagar budaya itu untuk di tetapkan jadi cagar budaya. Hal ini tentumya membutuhkan biaya, tapi dengan adanya persoalan ini, tentu menjadi kendala bagi Bidang Kebudayan dan sejarah Papua untuk menetapkan cagar budaya tersebut.
“Oleh sebab itu kita minta PJ Gubernur dan Pejabat Sekda dapat merevisi DPA di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Papua,” tegasnya.
Menurut Yahya, terdapat 15 Cagar Budaya di Papua yang dikelola Bidang Kebudayaan. Hal ini tentunya membutuhkan anggaran yang cukup untuk mengelola cagar budaya tersebut.
Di sisi lain, setiap bulannya Bidang Kebudayaan ini harus membayar upah para pekerja, atau penjaga cagar budaya. Namun dengan penetapan DPA oleh Disparbudpar tahun 2024 tidak mengakomodir Bidang Kebudayaan. Tentu akan mempengaruhi kerja Bidang Kebudayaan nantinya.
“Ada 30 pekerja dari 15 cagar budaya yang kita kelolah kalau tidak didukung dengan anggaran, lantas bagaimana kami bisa menggaji mereka,” ujarnya.
Yahya pun mengharapkan persoalan ini menjadi atensi Pj Gubernur Papua, agar DPA Disparbud Papua tahun 2024 dibekukan, kemudian dilakukan revisi. “Kami DPA Diparbud Papua, minta Pj Gubernur dan Pj Sekda dapat merevisi DPA di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Papua,” tegasnya.
Jika hal ini tidak diindahkan, maka pihaknya akan melakukan upaya lain yang tentunya tidak diinginkan terjadi. “Jangan sampai ada persoalan di internal Disparbud Papua, sehingga kami minta tuntutan ini ditanggapi secara serius,” tegasnya. (rel/tri)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos