Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

Masyarakat dan Keluarga Korban  Minta Presiden Pulangkan TNI dari Rumah Mereka

JAYAPURA-Tim Kemanusiaan Untuk Intan Jaya Papua melakukan diversifikasi menyampaikan aspirasi masyarakat korban konflik kepada presiden untuk segera menarik TNI organik maupun anorganik di Hitadipa.

Tim kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua yang terdiri para dosen, jurnalis dan aktivis HAM tersebut pada  konferensi pers Temuan dan Rekomendasi Tim Kemanusiaan Provinsi Papua untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya, Haris Azhar mengatakan Pdt. Yeremias adalah mantan ketua klasis GKII Hitadipa Intan Jaya, Sampai dengan saat ini  adalah ketua sekolah minggu Alkitab Teologi di Hitadipa dan juga penasihat GKII Wilayah Tiga Papua. Pdt. Yeremias menurutnya rutin memberikan pelayanan di dua wilayah Janambu dan Bulapa. Almarhum juga seorang ahli bahasa penerjemah Alkitab suci dari bahasa Indonesia ke bahasa Moni. “Pendeta dikenal sebagai orang yang memiliki prinsip dan tegas. Salah satunya ketika mencari dua anak yang hilang sejak 21 April 2020,” ungkapnya.

Tim Kemusiaan Untuk Intan Jaya Papua  Haris Azhar, Viktor Mabor  bersama tim saat melakukan konferensi pers Temuan dan Rekomendasi Tim Kemanusiaan Provinsi Papua untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya, di Hotel  Horison Kota Jayapura, Kamis, (29/10). ( FOTO: Noel/Cepos)

Kata Haris, tim kemanusiaan untuk Intan Jaya menemukan dalam 1 tahun terakhir ada rentetan peristiwa yang terjadi di Distrik Hitadipa hingga perampasan ruang hidup masyarakat setempat. Dimulai dari peristiwa penembakan terhadap tiga tukang ojek pada 2019. Kemudian pada tanggal 17 Desember 2019 terjadi lagi penembakan terhadap 2 anggota TNI AD oleh TPNPB.

Dikatakan, kontak senjata antara kedua pihak semakin meningkat pasca insiden dan berdampak langsung pada warga setempat. Beberapa lokasi baku tembak selama bulan ini antara lain kampung Kulapa Distrik Hitagipa, Kampung Ndugusiga dan Kampung Bulapa Distrik Sugapa, serta Kampung Ugimba (Distrik Ugimba).

Berbagai peristiwa ini tidak terlepas dari rentetan pendropingan pasukan selama bulan Desember di beberapa kabupaten termasuk Intan Jaya. Aparat keamanan juga menduduki sekolah SD dan SMP Satu Atap Hitagipa yang mengakibatkan ketakutan dari guru dan anak sekolah.

Memasuki tahun 2020, eskalasi kekerasan semakin meningkat. Pada 26 Januari 2020, Alex Kobogau seorang warga sipil meninggal karena tembakan TNI. Namun aparat keamanan menyatakan bahwa Alex adalah lompatan TPNPB. Namun pihak keluarga menyatakan bahwa Alex adalah warga sipil.

Pada hari yang sama seorang anak Jackson Sondegau (8 tahun) terluka tertembak di perut, sedangkan Yopi Sanin Yegeseni (14) mendapat penganiayaan saat penahanan dari aparat.

“Kekerasan terus berlanjut pada 20 Februari 2020, dimana dua warga sipil lainnya yakni Kayus Sani (51) kepala suku Yuparu dan Melki Tipagau (11 Tahun) harus dirawat karena luka tembak. Pada waktu bersamaan juga bahwa selama bulan Februari ribuan warga mengungsi dari tempat tinggalnya dan tidak dapat menjalankan aktivitas secara normal.   Pada 22 Mei 2020 Yunus Sani meninggal dibunuh oleh TPNPB karena dugaan korban sebagai mata-mata,” katanya.

Lanjut Azhar yang mengawali kariernya di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di tahun 1999 itu, rentetan peristiwa ini menunjukkan adanya eskalasi kekerasan yang tidak hanya menimbulkan korban dari aparat dan kombatan. Tetapi lebih banyak berasal dari masyarakat sipil dan bahkan beberapa adalah anak-anak.

“Adapun tipologi kekerasan yang dialami masyarakat sipil selama kurun waktu Oktober 2019 sampai dengan September 2020 antara lain intimidasi ancaman teror mental dan fisik. Pemaksaan, penyisiran, penganiayaan, penghilangan paksa hingga pembunuhan, trauma dan ketidakberdayaan berlapis atas kekerasan dan perampasan hak hidup telah menghasilkan penderitaan berkepanjangan masyarakat,” katanya. 

Hitadipa dengan  jumlah penduduk yang diperkiralan 11,467 orang itu merupakan tanah misi pertama gereja pada 1962.

Ia juga menjelaskan bahwa peristiwa pada tanggal 17 sampai dengan 19 September berawal pada tanggal 17 September sekira pukul 12 siang terjadi tembakan ke rombongan anggota TNI di Sugapa yang mengakibatkan 1 orang anggota meninggal dunia dan 1 laras panjang milik TNI diambil oleh OPM.

Baca Juga :  Dampak Vaksin Akan Terlihat Tiga Bulan Kedepan

Pasca penyerangan tersebut, masyarakat Hitadipa dipanggil satu persatu. Namun tidak semua warga dipanggil untuk meminta pengembalian senjata yang diambil oleh OPM. Dimana pesan tersebut juga diiringi dengan ancaman bahwa jika tidak dikembalikan Distrik Hitadipa akan dibom. Praktik ini terus terjadi pada tanggal 18 September hingga keesokan harinya.

“Pada 19 September sekira pukul 9 pagi masyarakat dikumpulkan oleh anggota TNI di lapangan depan kantor Koramil dipimpin oleh Danramil dikatakan kepada masyarakat bahwa diberikan waktu 2 hari untuk mengembalikan senjata yang dirampas pada 17 September dan jika tidak dikembalikan dalam 2 hari tersebut maka akan dilakukan operasi penumpasan ke warga. Lebih lanjut memerintahkan kepada dua orang pemuda untuk mencari Melianus Wandagau kepala suku Moni di Sugapa Lama,” tandasnya. 

“Hingga pukul 12.00 siang masyarakat kembali berkumpul di gereja Immanuel oleh Alpius anggota TNI Koramil yang mengatakan di antaranya pendeta gembala tidak pernah mengajar 10 hukum mengajar kepada jemaat untuk tidak boleh membunuh, tapi kamu membunuh orang itu suka mengatakan bahwa orang-orang atau masyarakat cita-cita yang menjadi musuh lawan perang dengan saya (TNI-Polri) adalah antara lain Jimi Sani, Pendeta Yeremia  Zanambani, Pendeta Yakobus Maiseni, Ibu Ev Naomi Kobogau Roni Majau dan Amoli Wandagau. Akibat pernyataan ini semua ibu-ibu dan bapak-bapak termasuk pendeta dan gembala menangis di depan Alpius,” jelas Haris.

Lanjutnya dalam peristiwa itu sempat terjadi aksi baku tembak antara TPNPB dan TNI hingga adanya pembakaran bangunan kesehatan rumah dinas tenaga kesehatan yang digunakan masyarakat dengan alasan anggota dibakar. Karena rumah tersebut berada di balik bangunan rumah masyarakat makanya menewaskan 1 anggota TNI pada tanggal 19 September 2020 dan peristiwa tersebut mengakibatkan kerugian bagi warga. Tempat tinggal dan SMP ikut terbakar juga satu unit motor, bangunan rumah fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah dibakar.

“Pada pukul 15.30 WIT, empat anggota TNI menuju kandang babi milik pendeta. Dua anggota TNI, berdiri jarak 23 sampai 79 meter dari jalan induk Kabupaten Intan Jaya. Sedangkan 2 anggota lainnya salah satunya Alpius langsung menuju bangunan kandang babi memerintahkan angkat tangan dan dijawab sambil angkat tangan oleh Pendeta Yeremias mengatakan bahwa saya adalah hamba Tuhan. Itu anggota TNI tetap melakukan tembakan satu kesempatan ke tangan kiri dan penembakan lainnya ke arah dinding. Pendeta jatuh lalu diduga ditusuk dengan pisau tajam pada bagian belakang badan,” bebernya.

Tim kemanusiaan mengatakan, luka tembak dimana terjadi penembakan terhadap Pendeta Yeremias dilakukan dengan senjata api standar militer. Dilakukan dengan cara kurang lebih 1 meter, objek mengena ke bagian tubuhnya dengan satu peluru ke tangan kiri bagian atas. Pada bagian kulit terlihat irisan lurus vertikal berkisar 7 sampai 10 cm. Tidak sekedar luka kulit akibat peluru kondisi tangan hampir terputus.

“Tidak didapati bekas peluru atau tidak ada saksi yang awal menjemput korban atau saat menemani korban pasca peristiwa mendapati peluru senapan. Luka juga didapati pada bagian belakang atau tubuh korban. Diduga luka akibat senjata tajam mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah sangat banyak,” kata Haris Azhar.

Hingga saat ini, Haris Azhar menyebutkan masyarakat  mengevakuasi diri. Dimana akibat peristiwa itu, masyarakat sedikit demi sedikit mengamankan diri atau mengevakuasi keluar dari tempat tinggalnya. Puncaknya pada saat pembunuhan Pendeta Yeremias.

Baca Juga :  Papua Bukan Tanah Kosong

“Sesaat setelah pendeta dikubur sekira pukul 11 siang pada 20 September 2020m, masyarakat berbondong-bondong keluar ke hutan ke sejumlah daerah lain di daerah kabupaten tetangga. Sampai saat ini belum ada pendataan terhadap mereka yang mengungsi keluar distrik. Akibat mereka belum mendapat bantuan dan jaminan ekonomi dan keamanan serta kepastian untuk bisa kembali ke kampung mereka,” katanya.

Untuk itu, tim kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua menyebutkan masyarakat di Distrik Hitadipa meminta agar bisa kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan mereka. Demikian juga keluarga korban berharap mereka bisa kembali untuk bisa melakukan ibadah duka atas meninggalnya Pendeta Yeremias.

“Mereka berharap TNI organik maupun anorganik untuk tidak lagi berada di hutan. Selain karena mereka trauma, masyarakat berkeyakinan bahwa Hitadipa adalah tanah suci misa gereja yang tidak boleh untuk praktek kekerasan. Bahkan keluarga korban juga menyampaikan mereka menolak dilakukan semata-mata dengan dua alasan bahwa bukti dan kesaksian sudah banyak diberikan untuk menghukum pelaku kasus ini. Demikian juga bahwa membuka kembali kuburan bertentangan dengan nilai adat di Papua bisa berdampak tidak baik bagi keluarga,” tambahnya.

Selain itu tim kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua juga meminta Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan Panglima TNI menarik pasukan dan menghentikan operasi militer di Papua.

“Meminta Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat di Hitadipa. Meminta kepada Gubernur Papua untuk membantu pemerintah daerah Intan Jaya melakukan pemulihan psikologis sosial kemasyarakat kita Diva yang trauma,” tutupnya.

Sementara itu, menanggapi pemberitaan terkait meninggalnya Rufinus Tigau seorang katakis atau pewarta gereja Katolik Stasi Jalae, Paroki Bilogai, Dekenat Moni – Puncak, Keuskupan Timika. pimpinan Gereja Katolik Dekenat Moni – Puncak Keuskupan Timika, Pastor Yance Yogi, Pr mengingatkan semua media massa yang ada di Papua maupun Indonesia  harus mengecek kebenaran di lapangan atau tempat kejadian, sehingga  ada kebenaran dalam pemberitaan.

“Dalam kasus di Intan Jaya yang menewaskan Katesi kami, saya pimpinan gereja Katolik Dekenat Moni – Puncak mulai dari Kabupaten Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya mau ingatkan kepada semua media atau wartawan agar tidak sekedar menulis pernyataan pihak yang memiliki otoritas. Tapi juga turun ke lapangan atau telepon kami sebagai pimpinan gereja Katolik untuk mengecek kebenaran tentang ditembaknya Rufinus Tigau. Dia adalah seorang Katakis stasi Jalae, Paroki Bilogai,” ungkap Pastor Yance Yogi, Pr melalui rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis, (29/10).

Menurut Pastor Yogi, Rufinus Tigau merupakan bawahnya dan bukan TPNPB atau KKB seperti yang dituduhkan. Karena yang bekerja di Stasi Jalae, benar ditemukan tak bernyawa.

“Jadi dia (Rufinus) bukan KKB atau TPN-PB, dia murni katakis. Dia anak buahku yang ada di Jalae. Dia sudah bertugas sebagai katakis menjelang lima tahun. Dia benar-benar katakis atau pewarta gereja Katolik. Jadi dibilang anggota TPN itu sangat tidak benar,” tegasnya.

Terkait kematian tersebut, pihaknya selalu membuka diri untuk menyampaikan informasi yang baik kepada siapapun, apalagi wartawan. 

“Jurnalis harus memiliki hubungan kontak dengan kami, tokoh agama atau masyarakat seperti kepala kampung agar mendapat gambaran yang terjadi lapangan. Karena selama ini saya ikuti semua pemberitaan di media massa itu pro otoritas. Padahal mereka juga menyampaikan informasi yang berasal dari pihak lain. Nah, kami ada di lapangan, tentunya tanya kami juga,” pintanya.(oel/nat)

JAYAPURA-Tim Kemanusiaan Untuk Intan Jaya Papua melakukan diversifikasi menyampaikan aspirasi masyarakat korban konflik kepada presiden untuk segera menarik TNI organik maupun anorganik di Hitadipa.

Tim kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua yang terdiri para dosen, jurnalis dan aktivis HAM tersebut pada  konferensi pers Temuan dan Rekomendasi Tim Kemanusiaan Provinsi Papua untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya, Haris Azhar mengatakan Pdt. Yeremias adalah mantan ketua klasis GKII Hitadipa Intan Jaya, Sampai dengan saat ini  adalah ketua sekolah minggu Alkitab Teologi di Hitadipa dan juga penasihat GKII Wilayah Tiga Papua. Pdt. Yeremias menurutnya rutin memberikan pelayanan di dua wilayah Janambu dan Bulapa. Almarhum juga seorang ahli bahasa penerjemah Alkitab suci dari bahasa Indonesia ke bahasa Moni. “Pendeta dikenal sebagai orang yang memiliki prinsip dan tegas. Salah satunya ketika mencari dua anak yang hilang sejak 21 April 2020,” ungkapnya.

Tim Kemusiaan Untuk Intan Jaya Papua  Haris Azhar, Viktor Mabor  bersama tim saat melakukan konferensi pers Temuan dan Rekomendasi Tim Kemanusiaan Provinsi Papua untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya, di Hotel  Horison Kota Jayapura, Kamis, (29/10). ( FOTO: Noel/Cepos)

Kata Haris, tim kemanusiaan untuk Intan Jaya menemukan dalam 1 tahun terakhir ada rentetan peristiwa yang terjadi di Distrik Hitadipa hingga perampasan ruang hidup masyarakat setempat. Dimulai dari peristiwa penembakan terhadap tiga tukang ojek pada 2019. Kemudian pada tanggal 17 Desember 2019 terjadi lagi penembakan terhadap 2 anggota TNI AD oleh TPNPB.

Dikatakan, kontak senjata antara kedua pihak semakin meningkat pasca insiden dan berdampak langsung pada warga setempat. Beberapa lokasi baku tembak selama bulan ini antara lain kampung Kulapa Distrik Hitagipa, Kampung Ndugusiga dan Kampung Bulapa Distrik Sugapa, serta Kampung Ugimba (Distrik Ugimba).

Berbagai peristiwa ini tidak terlepas dari rentetan pendropingan pasukan selama bulan Desember di beberapa kabupaten termasuk Intan Jaya. Aparat keamanan juga menduduki sekolah SD dan SMP Satu Atap Hitagipa yang mengakibatkan ketakutan dari guru dan anak sekolah.

Memasuki tahun 2020, eskalasi kekerasan semakin meningkat. Pada 26 Januari 2020, Alex Kobogau seorang warga sipil meninggal karena tembakan TNI. Namun aparat keamanan menyatakan bahwa Alex adalah lompatan TPNPB. Namun pihak keluarga menyatakan bahwa Alex adalah warga sipil.

Pada hari yang sama seorang anak Jackson Sondegau (8 tahun) terluka tertembak di perut, sedangkan Yopi Sanin Yegeseni (14) mendapat penganiayaan saat penahanan dari aparat.

“Kekerasan terus berlanjut pada 20 Februari 2020, dimana dua warga sipil lainnya yakni Kayus Sani (51) kepala suku Yuparu dan Melki Tipagau (11 Tahun) harus dirawat karena luka tembak. Pada waktu bersamaan juga bahwa selama bulan Februari ribuan warga mengungsi dari tempat tinggalnya dan tidak dapat menjalankan aktivitas secara normal.   Pada 22 Mei 2020 Yunus Sani meninggal dibunuh oleh TPNPB karena dugaan korban sebagai mata-mata,” katanya.

Lanjut Azhar yang mengawali kariernya di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di tahun 1999 itu, rentetan peristiwa ini menunjukkan adanya eskalasi kekerasan yang tidak hanya menimbulkan korban dari aparat dan kombatan. Tetapi lebih banyak berasal dari masyarakat sipil dan bahkan beberapa adalah anak-anak.

“Adapun tipologi kekerasan yang dialami masyarakat sipil selama kurun waktu Oktober 2019 sampai dengan September 2020 antara lain intimidasi ancaman teror mental dan fisik. Pemaksaan, penyisiran, penganiayaan, penghilangan paksa hingga pembunuhan, trauma dan ketidakberdayaan berlapis atas kekerasan dan perampasan hak hidup telah menghasilkan penderitaan berkepanjangan masyarakat,” katanya. 

Hitadipa dengan  jumlah penduduk yang diperkiralan 11,467 orang itu merupakan tanah misi pertama gereja pada 1962.

Ia juga menjelaskan bahwa peristiwa pada tanggal 17 sampai dengan 19 September berawal pada tanggal 17 September sekira pukul 12 siang terjadi tembakan ke rombongan anggota TNI di Sugapa yang mengakibatkan 1 orang anggota meninggal dunia dan 1 laras panjang milik TNI diambil oleh OPM.

Baca Juga :  Dobrak Pintu, Sembilan Tahanan Polres Merauke Kabur

Pasca penyerangan tersebut, masyarakat Hitadipa dipanggil satu persatu. Namun tidak semua warga dipanggil untuk meminta pengembalian senjata yang diambil oleh OPM. Dimana pesan tersebut juga diiringi dengan ancaman bahwa jika tidak dikembalikan Distrik Hitadipa akan dibom. Praktik ini terus terjadi pada tanggal 18 September hingga keesokan harinya.

“Pada 19 September sekira pukul 9 pagi masyarakat dikumpulkan oleh anggota TNI di lapangan depan kantor Koramil dipimpin oleh Danramil dikatakan kepada masyarakat bahwa diberikan waktu 2 hari untuk mengembalikan senjata yang dirampas pada 17 September dan jika tidak dikembalikan dalam 2 hari tersebut maka akan dilakukan operasi penumpasan ke warga. Lebih lanjut memerintahkan kepada dua orang pemuda untuk mencari Melianus Wandagau kepala suku Moni di Sugapa Lama,” tandasnya. 

“Hingga pukul 12.00 siang masyarakat kembali berkumpul di gereja Immanuel oleh Alpius anggota TNI Koramil yang mengatakan di antaranya pendeta gembala tidak pernah mengajar 10 hukum mengajar kepada jemaat untuk tidak boleh membunuh, tapi kamu membunuh orang itu suka mengatakan bahwa orang-orang atau masyarakat cita-cita yang menjadi musuh lawan perang dengan saya (TNI-Polri) adalah antara lain Jimi Sani, Pendeta Yeremia  Zanambani, Pendeta Yakobus Maiseni, Ibu Ev Naomi Kobogau Roni Majau dan Amoli Wandagau. Akibat pernyataan ini semua ibu-ibu dan bapak-bapak termasuk pendeta dan gembala menangis di depan Alpius,” jelas Haris.

Lanjutnya dalam peristiwa itu sempat terjadi aksi baku tembak antara TPNPB dan TNI hingga adanya pembakaran bangunan kesehatan rumah dinas tenaga kesehatan yang digunakan masyarakat dengan alasan anggota dibakar. Karena rumah tersebut berada di balik bangunan rumah masyarakat makanya menewaskan 1 anggota TNI pada tanggal 19 September 2020 dan peristiwa tersebut mengakibatkan kerugian bagi warga. Tempat tinggal dan SMP ikut terbakar juga satu unit motor, bangunan rumah fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah dibakar.

“Pada pukul 15.30 WIT, empat anggota TNI menuju kandang babi milik pendeta. Dua anggota TNI, berdiri jarak 23 sampai 79 meter dari jalan induk Kabupaten Intan Jaya. Sedangkan 2 anggota lainnya salah satunya Alpius langsung menuju bangunan kandang babi memerintahkan angkat tangan dan dijawab sambil angkat tangan oleh Pendeta Yeremias mengatakan bahwa saya adalah hamba Tuhan. Itu anggota TNI tetap melakukan tembakan satu kesempatan ke tangan kiri dan penembakan lainnya ke arah dinding. Pendeta jatuh lalu diduga ditusuk dengan pisau tajam pada bagian belakang badan,” bebernya.

Tim kemanusiaan mengatakan, luka tembak dimana terjadi penembakan terhadap Pendeta Yeremias dilakukan dengan senjata api standar militer. Dilakukan dengan cara kurang lebih 1 meter, objek mengena ke bagian tubuhnya dengan satu peluru ke tangan kiri bagian atas. Pada bagian kulit terlihat irisan lurus vertikal berkisar 7 sampai 10 cm. Tidak sekedar luka kulit akibat peluru kondisi tangan hampir terputus.

“Tidak didapati bekas peluru atau tidak ada saksi yang awal menjemput korban atau saat menemani korban pasca peristiwa mendapati peluru senapan. Luka juga didapati pada bagian belakang atau tubuh korban. Diduga luka akibat senjata tajam mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah sangat banyak,” kata Haris Azhar.

Hingga saat ini, Haris Azhar menyebutkan masyarakat  mengevakuasi diri. Dimana akibat peristiwa itu, masyarakat sedikit demi sedikit mengamankan diri atau mengevakuasi keluar dari tempat tinggalnya. Puncaknya pada saat pembunuhan Pendeta Yeremias.

Baca Juga :  Dampak Vaksin Akan Terlihat Tiga Bulan Kedepan

“Sesaat setelah pendeta dikubur sekira pukul 11 siang pada 20 September 2020m, masyarakat berbondong-bondong keluar ke hutan ke sejumlah daerah lain di daerah kabupaten tetangga. Sampai saat ini belum ada pendataan terhadap mereka yang mengungsi keluar distrik. Akibat mereka belum mendapat bantuan dan jaminan ekonomi dan keamanan serta kepastian untuk bisa kembali ke kampung mereka,” katanya.

Untuk itu, tim kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua menyebutkan masyarakat di Distrik Hitadipa meminta agar bisa kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan mereka. Demikian juga keluarga korban berharap mereka bisa kembali untuk bisa melakukan ibadah duka atas meninggalnya Pendeta Yeremias.

“Mereka berharap TNI organik maupun anorganik untuk tidak lagi berada di hutan. Selain karena mereka trauma, masyarakat berkeyakinan bahwa Hitadipa adalah tanah suci misa gereja yang tidak boleh untuk praktek kekerasan. Bahkan keluarga korban juga menyampaikan mereka menolak dilakukan semata-mata dengan dua alasan bahwa bukti dan kesaksian sudah banyak diberikan untuk menghukum pelaku kasus ini. Demikian juga bahwa membuka kembali kuburan bertentangan dengan nilai adat di Papua bisa berdampak tidak baik bagi keluarga,” tambahnya.

Selain itu tim kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua juga meminta Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan Panglima TNI menarik pasukan dan menghentikan operasi militer di Papua.

“Meminta Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat di Hitadipa. Meminta kepada Gubernur Papua untuk membantu pemerintah daerah Intan Jaya melakukan pemulihan psikologis sosial kemasyarakat kita Diva yang trauma,” tutupnya.

Sementara itu, menanggapi pemberitaan terkait meninggalnya Rufinus Tigau seorang katakis atau pewarta gereja Katolik Stasi Jalae, Paroki Bilogai, Dekenat Moni – Puncak, Keuskupan Timika. pimpinan Gereja Katolik Dekenat Moni – Puncak Keuskupan Timika, Pastor Yance Yogi, Pr mengingatkan semua media massa yang ada di Papua maupun Indonesia  harus mengecek kebenaran di lapangan atau tempat kejadian, sehingga  ada kebenaran dalam pemberitaan.

“Dalam kasus di Intan Jaya yang menewaskan Katesi kami, saya pimpinan gereja Katolik Dekenat Moni – Puncak mulai dari Kabupaten Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya mau ingatkan kepada semua media atau wartawan agar tidak sekedar menulis pernyataan pihak yang memiliki otoritas. Tapi juga turun ke lapangan atau telepon kami sebagai pimpinan gereja Katolik untuk mengecek kebenaran tentang ditembaknya Rufinus Tigau. Dia adalah seorang Katakis stasi Jalae, Paroki Bilogai,” ungkap Pastor Yance Yogi, Pr melalui rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis, (29/10).

Menurut Pastor Yogi, Rufinus Tigau merupakan bawahnya dan bukan TPNPB atau KKB seperti yang dituduhkan. Karena yang bekerja di Stasi Jalae, benar ditemukan tak bernyawa.

“Jadi dia (Rufinus) bukan KKB atau TPN-PB, dia murni katakis. Dia anak buahku yang ada di Jalae. Dia sudah bertugas sebagai katakis menjelang lima tahun. Dia benar-benar katakis atau pewarta gereja Katolik. Jadi dibilang anggota TPN itu sangat tidak benar,” tegasnya.

Terkait kematian tersebut, pihaknya selalu membuka diri untuk menyampaikan informasi yang baik kepada siapapun, apalagi wartawan. 

“Jurnalis harus memiliki hubungan kontak dengan kami, tokoh agama atau masyarakat seperti kepala kampung agar mendapat gambaran yang terjadi lapangan. Karena selama ini saya ikuti semua pemberitaan di media massa itu pro otoritas. Padahal mereka juga menyampaikan informasi yang berasal dari pihak lain. Nah, kami ada di lapangan, tentunya tanya kami juga,” pintanya.(oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya