Sementara, jika dilihat dalam kerangka komunikasi publik, pesan demonstrasi yang telah dilakukan masa dalam memperingati HTN itu, menuntut agar pemerintah tidak berhenti pada pola komunikasi top-down.
Melainkan membangun komunikasi deliberatif sebagaimana juga ditegaskan sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkait, yang mewajibkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan.
“Mekanisme dialog, konsultasi publik, dan transparansi informasi menjadi kunci agar aspirasi masyarakat tani dan adat tidak hanya didengar, tetapi juga diakomodasi dalam kebijakan,” jelasnya.
Dengan demikian, menurutnya aksi demonstrasi masyarakat harus dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai instrumen korektif yang sah dalam sistem demokrasi untuk memastikan kebijakan pembangunan dan pertanahan khususnya berjalan inklusif serta berkeadilan.
Lebih jauh Dosen Hukum Tata Negara itu menyebut, aksi dalam memperingati Hari Tani Nasional di Jayapura sejatinya mengingatkan kita bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ruang hidup yang menyangkut identitas, martabat, dan keberlanjutan masyarakat.
Karena itu, negara melalui perangkat hukum dan kebijakannya, dituntut untuk tidak hanya mengelola tanah sebagai objek pembangunan, tetapi juga menjamin keadilan dan partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.
Menurutnya, jika komunikasi antara pemerintah dan masyarakat dibangun secara deliberatif dan transparan, maka suara rakyat tidak perlu lagi turun ke jalan sebagai protes, melainkan menjadi bagian dari proses kebijakan yang sah dan bermartabat. “Demokrasi hanya akan tumbuh kokoh ketika hak, dan suara rakyat diakui serta dihormati secara setara,” pungkasnya. (jim/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos