Sunday, December 29, 2024
23.7 C
Jayapura

Komnas HAM Papua: Ada Unsur Kejahatan Sadis

Minta Presiden Instrusikan Panglima TNI untuk Ungkap Kasus Tersebut

JAYAPURA – Kasus pembunuhan warga Papua yang diduga melibatkan oknum TNI kembali terjadi. Pada 22 Agustus lalu, empat warga Nduga yang berada di Mimika dimutilasi dan jenazahnya ditemukan di Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika.

Berdasar informasi yang diterima, enam di antara sepuluh pelaku yang terlibat dalam kasus dugaan pembunuhan tersebut merupakan oknum prajurit TNI. Sedangkan empat lainnya adalah masyarakat sipil. Mereka bersama-sama menghabisi nyawa dan memutilasi para korban.

Terkait dengan peristiwa 22 agustus itu, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) sudah mendapatkan informasi sejak hari H kejadian berdasarkan sumber yang berada di Mimika.

Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyebut, Komnas HAM saat itu belum bisa memverifikasi menyangkut identitas para korban, kronologi dan motif dari pembunuhan.

“Jika ini dugaan pelakunya adalah aparat TNI, maka ini adalah kejahatan kemanusiaan yang melanggar HAM. Karena pelakunya aparat negara dan pembunuhan berencana yang sadis, orang sudah meninggal lalu dimutilasi,” tegas Frits saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (29/8).

Lanjut Frits, jika pelakunya adalah aparat TNI pasti ada yang memberi perintah dan ada yang mengendalikan. Sehingga itu, masuk unsur kejahatan yang sadis. Terkait peristiwa ini, Komnas HAM Papua kata Frits akan berkoordinasi dengan Polda dan segera menyurat kepada Panglima Kodam XVII/Cenderawasih untuk meminta klarifikasi  terhadap dugaan pelibatan anggota TNI dalam peristiwa pembunuhan dan mutilasi di Mimika.

“Untuk kasus ini kami sudah melaporkan kepada pimpinan Komnas HAM RI, dan saya sedang mempertimbangkan membentuk tim. Yang pasti, Komnas HAM  Papua akan mengirim tim untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan ini,” kata Frits.

Menurut Frits, kasus pembunuhan terhadap warga sipil yang melibatkan TNI sering berulang. Misalkan di Intan Jaya, warga sipil yang dibawa aparat lalu dibunuh dan dibakar setelah itu dibuang.

“Sekarang kejadiannya berulang lagi, ini mengakibatkan siklus kekerasan yang terus terjadi di Papua. Dan aparat selalu menggunakan pola membalas kejahatan, ini adalah kesalahan besar yang tidak bisa mewakili tindakan negara,” tegasnya.

Baca Juga :  BPBD Provinsi Papua Bakal Memperkuat Sistem Peringatan Dini Bencana

Sejak awal kata Frits, Komnas HAM mengingatkan bahwa di era Otsus banyak uang yang mengalir ke kampung kampung dan itu menyuburkan kekerasan bersenjata. Oleh karena itu, tugas aparat negara untuk menghentikan siklus kekerasan dengan memutus rantai jual beli senjata.

“Jika orang orang yang dibunuh menjadi dugaan aparat, kenapa tidak diambil secara baik untuk mengungkap siapa sebenarnya pelaku jual beli amunisi dan senjata. Mestinya orang orang itu (korban-red) harus diamankan untuk kepentingan pengungkapan,” tuturnya.

“Terlalu rugi dan salah jika warga sipil yang sebenarnya bisa diamankan untuk mengungkap jalur bisnis jual beli senjata di Papua dibunuh aparat negara atas nama negara dengan cara yang paling sadis, ini tindakan yang salah dan akan membuat dendam berkepanjangan,” sambung Frits.

Disampaikan Frits, ini kejahatan yang sama dilakukan di tempat lain dengan pelaku adalah aparat negara. Sehingga itu, dengan datangnya Presiden di Papua hari ini harus memerintahkan untuk membentuk tim yang indenpenden guna mengungkap kasus ini untuk dibawa ke pengendilan.

“Dari data yang kami terima, empat orang tersebut belum ada klarifikasi apakah mereka bagian dari kelompok sipil bersenjata atau tidak. Yang jelas mereka ini adalah warga sipil,” tegasnya.

Komnas HAM kata Frits punya pengalaman dalam mengungkap kasus penembakan di Mimika, dan di wilayah tersebut memiliki pasukan yang teramat banyak. “Peristiwa Mimika harus menjadi atensi Presiden, jangan sampai kemudian pemekaran Provinsi di tanah ini menjadi satu batu sandungan yang menimbulkan kekerasan dan terjadinya pelanggaran HAM di Papua,” ucapnya.

Frits juga mengingatkan aparat negara harus punya standar operasi yang terukur, sebab mereka mewakili negara. “Komnas HAM meminta masyarakat sipil untuk terus memberi dukungan pada Polda dan Kodam untuk mengungkap kasus ini, dan meminta presiden menginstrusikan panglima TNI untuk mengungkap kasus ini secara terang benderang dan memastikan kejahatan kemanusiaan ini harus dibawa ke Pengadilan,” kata Frits.

Baca Juga :  Seleksi CPNS Formasi 2019 Diperkirakan Oktober

Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua, ada beberapa kasus orang hilang di wilayah konflik bersenjata antara TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata.

Misalnya kasus orang hilang di Intan Jaya bernama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani pada tahun 2020 silam, Sem Kobogau hilang pada tahun 2021 dan dua warga Pegunungan Bintang diketahui bernama Jeksom dan Asven Kasipmabin dinyatakan hilang pada Mei 2021 lalu, Yeremias Nagen yang hilang di Kebun, kabupaten Nduga pada maret 2021.

Orang orang yang hilang tersebut belum ditemukan hingga saat ini, kecuali Luther Zanambani dan Apianus Zanambani diketahui telah dibunuh lalu mayatnya dibakar oleh oknum TNI setelah sebelumnya diculik. Dari kasus ini, sembilan oknum anggota TNI ditetapkan sebagai tersangka saat itu.

Sebelumnya, pada 22 Agustus 2022 sekira pukul 21.50 WIT di SP 1 Distrik Mimika Baru Kabupaten Mimika telah terjadi pembunuhan terhadap empat orang masyarakat yang dilakukan oleh tiga orang sipil dan enam oknum TNI.

Setelah melakukan pembunuhan, semua korban dipotong kepalanya dan kedua kakinya dan dimasukan ke dalam karung. Selanjutnya dibuang di Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika.

Sementara aktifis kemanusiaan Natalius Pigai sebut pembunuhan 4 masyarakat Nduga dengan cara sadis yang di duga dilakukan 6 angota TNI dan 3 warga sipil adalah tindakan biadab.

Pigai lantas mendesak agar Presiden Joko Widodo agar tidak tinggal diam, tapi dapat melihat kasus ini secara serius layaknya kasus pembunuhan Brigadir Josua.  Mantan komisioner Komnas HAM RI itu menduga pembunuhan yang dilakukan anggota TNI tersebut tidak terlepas dari adanya komando.  “Pembunuhan yang melibatkan lebih dari 5 orang tidak mungkin tanpa komando,” katanya. Komnas HAM harus usut sebagai dugaan pelanggaran HAM Berat,” Kata Pigai. (fia/oel/wen)

Minta Presiden Instrusikan Panglima TNI untuk Ungkap Kasus Tersebut

JAYAPURA – Kasus pembunuhan warga Papua yang diduga melibatkan oknum TNI kembali terjadi. Pada 22 Agustus lalu, empat warga Nduga yang berada di Mimika dimutilasi dan jenazahnya ditemukan di Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika.

Berdasar informasi yang diterima, enam di antara sepuluh pelaku yang terlibat dalam kasus dugaan pembunuhan tersebut merupakan oknum prajurit TNI. Sedangkan empat lainnya adalah masyarakat sipil. Mereka bersama-sama menghabisi nyawa dan memutilasi para korban.

Terkait dengan peristiwa 22 agustus itu, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) sudah mendapatkan informasi sejak hari H kejadian berdasarkan sumber yang berada di Mimika.

Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyebut, Komnas HAM saat itu belum bisa memverifikasi menyangkut identitas para korban, kronologi dan motif dari pembunuhan.

“Jika ini dugaan pelakunya adalah aparat TNI, maka ini adalah kejahatan kemanusiaan yang melanggar HAM. Karena pelakunya aparat negara dan pembunuhan berencana yang sadis, orang sudah meninggal lalu dimutilasi,” tegas Frits saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (29/8).

Lanjut Frits, jika pelakunya adalah aparat TNI pasti ada yang memberi perintah dan ada yang mengendalikan. Sehingga itu, masuk unsur kejahatan yang sadis. Terkait peristiwa ini, Komnas HAM Papua kata Frits akan berkoordinasi dengan Polda dan segera menyurat kepada Panglima Kodam XVII/Cenderawasih untuk meminta klarifikasi  terhadap dugaan pelibatan anggota TNI dalam peristiwa pembunuhan dan mutilasi di Mimika.

“Untuk kasus ini kami sudah melaporkan kepada pimpinan Komnas HAM RI, dan saya sedang mempertimbangkan membentuk tim. Yang pasti, Komnas HAM  Papua akan mengirim tim untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan ini,” kata Frits.

Menurut Frits, kasus pembunuhan terhadap warga sipil yang melibatkan TNI sering berulang. Misalkan di Intan Jaya, warga sipil yang dibawa aparat lalu dibunuh dan dibakar setelah itu dibuang.

“Sekarang kejadiannya berulang lagi, ini mengakibatkan siklus kekerasan yang terus terjadi di Papua. Dan aparat selalu menggunakan pola membalas kejahatan, ini adalah kesalahan besar yang tidak bisa mewakili tindakan negara,” tegasnya.

Baca Juga :  Meski Pro Kontra, Otsus Tetap Perlu Dilanjutkan

Sejak awal kata Frits, Komnas HAM mengingatkan bahwa di era Otsus banyak uang yang mengalir ke kampung kampung dan itu menyuburkan kekerasan bersenjata. Oleh karena itu, tugas aparat negara untuk menghentikan siklus kekerasan dengan memutus rantai jual beli senjata.

“Jika orang orang yang dibunuh menjadi dugaan aparat, kenapa tidak diambil secara baik untuk mengungkap siapa sebenarnya pelaku jual beli amunisi dan senjata. Mestinya orang orang itu (korban-red) harus diamankan untuk kepentingan pengungkapan,” tuturnya.

“Terlalu rugi dan salah jika warga sipil yang sebenarnya bisa diamankan untuk mengungkap jalur bisnis jual beli senjata di Papua dibunuh aparat negara atas nama negara dengan cara yang paling sadis, ini tindakan yang salah dan akan membuat dendam berkepanjangan,” sambung Frits.

Disampaikan Frits, ini kejahatan yang sama dilakukan di tempat lain dengan pelaku adalah aparat negara. Sehingga itu, dengan datangnya Presiden di Papua hari ini harus memerintahkan untuk membentuk tim yang indenpenden guna mengungkap kasus ini untuk dibawa ke pengendilan.

“Dari data yang kami terima, empat orang tersebut belum ada klarifikasi apakah mereka bagian dari kelompok sipil bersenjata atau tidak. Yang jelas mereka ini adalah warga sipil,” tegasnya.

Komnas HAM kata Frits punya pengalaman dalam mengungkap kasus penembakan di Mimika, dan di wilayah tersebut memiliki pasukan yang teramat banyak. “Peristiwa Mimika harus menjadi atensi Presiden, jangan sampai kemudian pemekaran Provinsi di tanah ini menjadi satu batu sandungan yang menimbulkan kekerasan dan terjadinya pelanggaran HAM di Papua,” ucapnya.

Frits juga mengingatkan aparat negara harus punya standar operasi yang terukur, sebab mereka mewakili negara. “Komnas HAM meminta masyarakat sipil untuk terus memberi dukungan pada Polda dan Kodam untuk mengungkap kasus ini, dan meminta presiden menginstrusikan panglima TNI untuk mengungkap kasus ini secara terang benderang dan memastikan kejahatan kemanusiaan ini harus dibawa ke Pengadilan,” kata Frits.

Baca Juga :  Serapan Anggaran OPD Pemprov Rendah

Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua, ada beberapa kasus orang hilang di wilayah konflik bersenjata antara TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata.

Misalnya kasus orang hilang di Intan Jaya bernama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani pada tahun 2020 silam, Sem Kobogau hilang pada tahun 2021 dan dua warga Pegunungan Bintang diketahui bernama Jeksom dan Asven Kasipmabin dinyatakan hilang pada Mei 2021 lalu, Yeremias Nagen yang hilang di Kebun, kabupaten Nduga pada maret 2021.

Orang orang yang hilang tersebut belum ditemukan hingga saat ini, kecuali Luther Zanambani dan Apianus Zanambani diketahui telah dibunuh lalu mayatnya dibakar oleh oknum TNI setelah sebelumnya diculik. Dari kasus ini, sembilan oknum anggota TNI ditetapkan sebagai tersangka saat itu.

Sebelumnya, pada 22 Agustus 2022 sekira pukul 21.50 WIT di SP 1 Distrik Mimika Baru Kabupaten Mimika telah terjadi pembunuhan terhadap empat orang masyarakat yang dilakukan oleh tiga orang sipil dan enam oknum TNI.

Setelah melakukan pembunuhan, semua korban dipotong kepalanya dan kedua kakinya dan dimasukan ke dalam karung. Selanjutnya dibuang di Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika.

Sementara aktifis kemanusiaan Natalius Pigai sebut pembunuhan 4 masyarakat Nduga dengan cara sadis yang di duga dilakukan 6 angota TNI dan 3 warga sipil adalah tindakan biadab.

Pigai lantas mendesak agar Presiden Joko Widodo agar tidak tinggal diam, tapi dapat melihat kasus ini secara serius layaknya kasus pembunuhan Brigadir Josua.  Mantan komisioner Komnas HAM RI itu menduga pembunuhan yang dilakukan anggota TNI tersebut tidak terlepas dari adanya komando.  “Pembunuhan yang melibatkan lebih dari 5 orang tidak mungkin tanpa komando,” katanya. Komnas HAM harus usut sebagai dugaan pelanggaran HAM Berat,” Kata Pigai. (fia/oel/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya