Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Pemerintah Jangan Hanya Sibuk Menghalau Asap

Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Wainussy, SH.  ( FOTO : LP3BH for Cepos)

Warinussy: Jika Kasus Rasisme Terjadi Lagi, Kepala Negara Bertanggungjawab 

JAYAPURA-Pendekatan model instan yang terus digunakan oleh Pemerintahan Jokowi dalam mensikapi situasi konflik berbau rasialis dan diskriminatif terhadap orang asli Papua pada kasus Surabaya dan Malang, Jawa Timur, dinilai telah mengabaikan teori resolusi konflik.

  Hal ini dikemukanan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Wainussy, SH. 

  Dikatakan, dalam menyelesaikan masalah Rasisme dan Diskriminasi terhadap mahasiswa Papua dan orang Papua, harus mengedepankan tahapan-tahapan penyelesaian konflik hingga mencapai rekonsiliasi. 

   Dimana dalam esensinya mesti diawali dengan pengungkapan kebenaran diantaranya melalui investigasi. “Tapi sama sekali belum dilakukan, misalnya oleh Komnas HAM,” ujarnya.

   Kemudian setelah pengungkapan kebenaran lalu disusul dengan pengakuan dan dapat diakhiri dengan permohonan maaf sebagai awal dimulainya rekonsiliasi.

Baca Juga :  UN Hari Pertama Tidak Ada Kendala

“ Kenyataan hari ini, justru pemerintah negara ini sibuk menghalau asapnya dengan cara “memaksa” minta maaf dan “mendesak” pemberian maaf dari rakyat Papua dengan mengabaikan prosedur tersebut diatas,” ungkap Warinussy yang juga selaku Deputy Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di Provinsi Papua Barat.

 Menurutnya, ini dapat menjadi indikasi kuat bahwa pemerintah negara sama sekali tidak memiliki itikad baik apapun untuk selesaikan kasus perlakuan rasis dan diskriminasi tersebut secara adil dan benar.

  Dengan pendekatan yang dilakukan saat ini. Dirinya ragu, apakah ada jaminan mahasiwa Papua atau OAP tidak dipelakukan Rasis dikemudian hari .

“ Dari cara dan model penyelesaian secara instan ini, saya menduga kuat kemungkinan perbuatan rasis dan diskriminasi ini bakal terulang lagi dikemudian hari. Karena tidak nampak ada keseriusan dan fokus penanganan penegakan hukumnya,” ujarnya.

Baca Juga :  Dua Oknum Polisi dan 1 Pecatan Polisi Terlibat Peredaran Sabu

Bagaimana jika kembali terjadi? Warinussy menegaskan, bahwa Presiden selalu kepala Negara bertanggungjawab.

“ Jika terjadi lagi maka jelas Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara bertanggung jawab penuh,” terangnya.

  Seperti diketahui, pelakuan berupa ujaran rasisme  ditujukan kepada mahasiswa Papua di Asrama Kalasan Surabaya dan di Malang pada 16 Agusutus lalu. hal ini direspon dengan aksi demonstrasi masyarakat Papua di 14 kota/kabupaten yang ada di Papua dan Papua Barat dan di berbagai kota di pulau Jawa dan di kota-kota lainnya.  Ada yang berlangsung damai, namun dibeberapa tempat terjadi aksi anarkis, diantaranya di Manokwari, Sorong dan Fakfak.

  Presiden Jokowi berencana dalam waktu dekat akan mengundang tokoh-tokoh dari Papua untuk bertemu dan duduk bersama menyelesaikan masalah ini. (luc)

Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Wainussy, SH.  ( FOTO : LP3BH for Cepos)

Warinussy: Jika Kasus Rasisme Terjadi Lagi, Kepala Negara Bertanggungjawab 

JAYAPURA-Pendekatan model instan yang terus digunakan oleh Pemerintahan Jokowi dalam mensikapi situasi konflik berbau rasialis dan diskriminatif terhadap orang asli Papua pada kasus Surabaya dan Malang, Jawa Timur, dinilai telah mengabaikan teori resolusi konflik.

  Hal ini dikemukanan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Wainussy, SH. 

  Dikatakan, dalam menyelesaikan masalah Rasisme dan Diskriminasi terhadap mahasiswa Papua dan orang Papua, harus mengedepankan tahapan-tahapan penyelesaian konflik hingga mencapai rekonsiliasi. 

   Dimana dalam esensinya mesti diawali dengan pengungkapan kebenaran diantaranya melalui investigasi. “Tapi sama sekali belum dilakukan, misalnya oleh Komnas HAM,” ujarnya.

   Kemudian setelah pengungkapan kebenaran lalu disusul dengan pengakuan dan dapat diakhiri dengan permohonan maaf sebagai awal dimulainya rekonsiliasi.

Baca Juga :  Buchtar: Jakarta Jangan Batasi dan Buat Laporan Sepihak!

“ Kenyataan hari ini, justru pemerintah negara ini sibuk menghalau asapnya dengan cara “memaksa” minta maaf dan “mendesak” pemberian maaf dari rakyat Papua dengan mengabaikan prosedur tersebut diatas,” ungkap Warinussy yang juga selaku Deputy Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di Provinsi Papua Barat.

 Menurutnya, ini dapat menjadi indikasi kuat bahwa pemerintah negara sama sekali tidak memiliki itikad baik apapun untuk selesaikan kasus perlakuan rasis dan diskriminasi tersebut secara adil dan benar.

  Dengan pendekatan yang dilakukan saat ini. Dirinya ragu, apakah ada jaminan mahasiwa Papua atau OAP tidak dipelakukan Rasis dikemudian hari .

“ Dari cara dan model penyelesaian secara instan ini, saya menduga kuat kemungkinan perbuatan rasis dan diskriminasi ini bakal terulang lagi dikemudian hari. Karena tidak nampak ada keseriusan dan fokus penanganan penegakan hukumnya,” ujarnya.

Baca Juga :  Kunjungi Dua Jemaat GIDI, Bupati Mamteng Bantu Rp 200 Juta

Bagaimana jika kembali terjadi? Warinussy menegaskan, bahwa Presiden selalu kepala Negara bertanggungjawab.

“ Jika terjadi lagi maka jelas Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara bertanggung jawab penuh,” terangnya.

  Seperti diketahui, pelakuan berupa ujaran rasisme  ditujukan kepada mahasiswa Papua di Asrama Kalasan Surabaya dan di Malang pada 16 Agusutus lalu. hal ini direspon dengan aksi demonstrasi masyarakat Papua di 14 kota/kabupaten yang ada di Papua dan Papua Barat dan di berbagai kota di pulau Jawa dan di kota-kota lainnya.  Ada yang berlangsung damai, namun dibeberapa tempat terjadi aksi anarkis, diantaranya di Manokwari, Sorong dan Fakfak.

  Presiden Jokowi berencana dalam waktu dekat akan mengundang tokoh-tokoh dari Papua untuk bertemu dan duduk bersama menyelesaikan masalah ini. (luc)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya