Friday, April 19, 2024
31.7 C
Jayapura

Salju di Puncak Jaya “Cartenz” Diprediksi Akan Hilang

JAYAPURA – Provinsi Papua yang terletak di ujung timur Indonesia ini tidak hanya terkenal dengan wisata budayanya atau tariannya, namun sebagian orang di luar Papua bahkan luar negeri mengenal Papua karena Puncak Cartenz dengan ketinggian 4.884 Mdpl.

Puncak Jayawijaya atau lebih dikenal Gunung Cartenz di kalangan pendaki masuk dalam 7 seven sumits Indonesia. Cartenz juga masuk dalam seven sumits dunia setelah Gunung Elbrus yang terletak di Rusia dengan ketinggian 5.642 Mdpl.

Bahkan dari pelajaran geografi yang didapatkan di sekolah, sering kali disampaikan bahwa di Papua terdapat es dan salju, yakni di daerah puncak Pegunungan Jayawijaya. Namun yang menjadi pertanyaan apakah lapisan es ini bersifat abadi. Apakah es ini benar-benar abadi ?

Pasalnya dari berbagai sumber juga dikatakan bahwa es abadi ini sudah berkurang dan akan hilang. Jadi mana yang benar, apakah itu akan tetap abadi atau tidak abadi ?

Kepala Stasiun Klimatologi Jayapura,  Dony Christianto memberikan penjelasan terkait hal ini.

Dony Christianto menyampaikan bahwa sebaiknya dipahami dulu mengapa bisa terbentuk adanya es di daerah tropis Indonesia. Es terbentuk di puncak Jayawijaya atau lebih tepatnya puncak Soemantri dan Cartenz dengan ketinggian lebih dari 4.800 meter dari permukaan laut.

“Saat kita naik ke atas gunung, semakin tinggi maka suhu yang kita rasakan akan semakin dingin. Hal inilah yang menyebabkan es dapat terbentuk di sana. Es di puncak Cartenz ini terbentuk akibat suhu udara yang dingin. Dimana rata-rata suhu udara pada daerah ini adalah 2 sampai 10 derajat celcius (data pengukuran akhir 2010),” terangnya saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Sabtu (26/3).

Baca Juga :  Kejari Jayapura Eksekusi Delapan Terpidana Korupsi

Lanjutnya, kondisi saat ini dimana suhu bumi akibat pemanasan global cenderung terus bergerak naik termasuk temperatur di puncak Cartenz. Hal ini menyebabkan daerah puncak Cartenz menjadi tidak ideal lagi, karena suhu pada daerah ini juga bergerak naik.

Dari hasil pengukuran ketebalan es di puncak Cartenz, didapatkan bahwa pengurangan luas area dan ketebalan terjadi dengan sangat masif.

Doni juga memaparkan bahwa secara umum pencairan es di dunia terjadi mulai tahun 1850, saat awal revolusi Industri. Tahun 1850, luas es di Puncak Jaya diestimasi sekitar 20 Km persegi.

Dalam 20 tahun terakhir atau pada 2002, luas es Puncak Jaya terus menipis menjadi 2 Km persegi. Kemudian menjadi 1,8 Km persegi pada 2005, 0, 6 Km persegi pada 2015, 0,46 Km persegi pada Maret 2018, dan 0,34 Km persegi pada Mei 2020.

Selain luasan lapisan es, BMKG juga mengukur ketebalan lapisan es dimana didapatkan pada tahun 2010 dengan tebal es adalah 32 meter, kemudian 27 meter pada 2015, 22 meter pada 2016 (dikarenakan EL Nino Kuat) dan hanya tersisa 8 meter pada 2021.

Baca Juga :  Pemkab Nduga Raih Opini WTP Atas LKPD Tahun 2022

“Dari sini terlihat dengan jelas pengurangan jumlah es di puncak Cartenz, dan rasanya tidak salah jika ada beberapa pernyataan yang menyatakan bahwa kemungkinan es di Puncak Jayawijaya akan hilang pada akhir tahun 2025. Jadi ternyata puncak es di Cartenz tidak abadi,” tuturnya.

Namun yang menjadi pertanyaan besar kata Doni, sudah terlihat dengan jelas adanya efek perubahan klimat dengan mencairnya es di Cartenz. Efek pemanasan global bukan hanya ini, ada banyak sektor yang pastinya juga merasakan efek pemanasan global di Papua.

“Dampak pemanasan global ini pasti mempengaruhi ketersediaan air, baik air permukaan ataupun air tanah. Dari sini lahan pertanian, daerah perburuan hewan, endemi flora dan fauna tentunya akan berubah. Perubahan ini pastinya mengikuti suhu atau iklim yang ideal dan tempat yang menyediakan air bagi mereka. Hal ini tentunya akan diikuti dengan perubahan daerah endemisitas penyakit contohnya malaria dan demam berdarah,” paparnya.

Dikatakan, semuanya sangat membutuhkan sentuhan dari ilmu-ilmu sosiologi, sosiogeografi dan ilmu lainnya guna mengarahkan kehidupan manusia. Khususnya masyarakat pegunungan tengah agar dapat mempersiapkan diri dan hidup sejahtera. (fia/nat)

JAYAPURA – Provinsi Papua yang terletak di ujung timur Indonesia ini tidak hanya terkenal dengan wisata budayanya atau tariannya, namun sebagian orang di luar Papua bahkan luar negeri mengenal Papua karena Puncak Cartenz dengan ketinggian 4.884 Mdpl.

Puncak Jayawijaya atau lebih dikenal Gunung Cartenz di kalangan pendaki masuk dalam 7 seven sumits Indonesia. Cartenz juga masuk dalam seven sumits dunia setelah Gunung Elbrus yang terletak di Rusia dengan ketinggian 5.642 Mdpl.

Bahkan dari pelajaran geografi yang didapatkan di sekolah, sering kali disampaikan bahwa di Papua terdapat es dan salju, yakni di daerah puncak Pegunungan Jayawijaya. Namun yang menjadi pertanyaan apakah lapisan es ini bersifat abadi. Apakah es ini benar-benar abadi ?

Pasalnya dari berbagai sumber juga dikatakan bahwa es abadi ini sudah berkurang dan akan hilang. Jadi mana yang benar, apakah itu akan tetap abadi atau tidak abadi ?

Kepala Stasiun Klimatologi Jayapura,  Dony Christianto memberikan penjelasan terkait hal ini.

Dony Christianto menyampaikan bahwa sebaiknya dipahami dulu mengapa bisa terbentuk adanya es di daerah tropis Indonesia. Es terbentuk di puncak Jayawijaya atau lebih tepatnya puncak Soemantri dan Cartenz dengan ketinggian lebih dari 4.800 meter dari permukaan laut.

“Saat kita naik ke atas gunung, semakin tinggi maka suhu yang kita rasakan akan semakin dingin. Hal inilah yang menyebabkan es dapat terbentuk di sana. Es di puncak Cartenz ini terbentuk akibat suhu udara yang dingin. Dimana rata-rata suhu udara pada daerah ini adalah 2 sampai 10 derajat celcius (data pengukuran akhir 2010),” terangnya saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Sabtu (26/3).

Baca Juga :  KPK RI Diminta Beri Jaminan LE Berobat di Singapura

Lanjutnya, kondisi saat ini dimana suhu bumi akibat pemanasan global cenderung terus bergerak naik termasuk temperatur di puncak Cartenz. Hal ini menyebabkan daerah puncak Cartenz menjadi tidak ideal lagi, karena suhu pada daerah ini juga bergerak naik.

Dari hasil pengukuran ketebalan es di puncak Cartenz, didapatkan bahwa pengurangan luas area dan ketebalan terjadi dengan sangat masif.

Doni juga memaparkan bahwa secara umum pencairan es di dunia terjadi mulai tahun 1850, saat awal revolusi Industri. Tahun 1850, luas es di Puncak Jaya diestimasi sekitar 20 Km persegi.

Dalam 20 tahun terakhir atau pada 2002, luas es Puncak Jaya terus menipis menjadi 2 Km persegi. Kemudian menjadi 1,8 Km persegi pada 2005, 0, 6 Km persegi pada 2015, 0,46 Km persegi pada Maret 2018, dan 0,34 Km persegi pada Mei 2020.

Selain luasan lapisan es, BMKG juga mengukur ketebalan lapisan es dimana didapatkan pada tahun 2010 dengan tebal es adalah 32 meter, kemudian 27 meter pada 2015, 22 meter pada 2016 (dikarenakan EL Nino Kuat) dan hanya tersisa 8 meter pada 2021.

Baca Juga :  Distrik Kiwirok, Dalam 4 Bulan 13 Kali Kontak Senjata

“Dari sini terlihat dengan jelas pengurangan jumlah es di puncak Cartenz, dan rasanya tidak salah jika ada beberapa pernyataan yang menyatakan bahwa kemungkinan es di Puncak Jayawijaya akan hilang pada akhir tahun 2025. Jadi ternyata puncak es di Cartenz tidak abadi,” tuturnya.

Namun yang menjadi pertanyaan besar kata Doni, sudah terlihat dengan jelas adanya efek perubahan klimat dengan mencairnya es di Cartenz. Efek pemanasan global bukan hanya ini, ada banyak sektor yang pastinya juga merasakan efek pemanasan global di Papua.

“Dampak pemanasan global ini pasti mempengaruhi ketersediaan air, baik air permukaan ataupun air tanah. Dari sini lahan pertanian, daerah perburuan hewan, endemi flora dan fauna tentunya akan berubah. Perubahan ini pastinya mengikuti suhu atau iklim yang ideal dan tempat yang menyediakan air bagi mereka. Hal ini tentunya akan diikuti dengan perubahan daerah endemisitas penyakit contohnya malaria dan demam berdarah,” paparnya.

Dikatakan, semuanya sangat membutuhkan sentuhan dari ilmu-ilmu sosiologi, sosiogeografi dan ilmu lainnya guna mengarahkan kehidupan manusia. Khususnya masyarakat pegunungan tengah agar dapat mempersiapkan diri dan hidup sejahtera. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya