“Tekanan Psikologis, Stress Berlebihan, Gula dan Tensi Naik, RS Singapura Meminta Gubernur Sesegera Mungkin Berobat ke SIngapura,” Stefanus Roy Rening: RS di
JAYAPURA – Gubernur Papua Lukas Enembe belum dapat memenuhi panggilan kedua dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan gratifikasi Rp 1 M. “Beliau (Gubernur-red) masih istirahat di rumah Koya,” kata Juru Bicara Gubernur Papua M Rifai Darus melalui pesan WhatsAppnya kepada Cenderawasih Pos, Senin (26/9) kemarin.
Sementara itu, dalam rilis tim kuasa hukum dan Advokasi Gubernur Papua Lukas Enembe menyampaikan jika kliennya tetap menghormati proses hukum yang sedang ditangani KPK berkaitan dengan penetapan tersangka gratifikasi Rp 1 M.
“Gubernur Lukas Enembe saat ini tidak bisa hadir memenuhi panggilan kedua penyidik KPK di Jakarta (26/9) karena sakit,” kata Kuasa Hukum Gubernur DR. Stefanus Roy Rening dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos.
Lanjutnya, alasan ketidakhadiran tersebut sudah disampaikan sendiri oleh Tim Dokter Pribadi Gubernur Papua Dr. Anton Mote kepada Direktur Penyidikan KPK Guntur Asep sejak Jumat, (24/9) di Gedung KPK, Kuningan Jakarta.
Pada kesempatan tersebut, Tim Dokter Gubernur menjelaskan secara detail kepada Tim Dokter KPK dr. Yohanis. Dalam surat tersebut, Dr. Anton Mote, menjelaskan kondisi kesehatan Gubernur Papua semakin buruk.
“Memburuknya kondisi kesehatan ini karena tekanan psikologis, stress berlebihan, sakit gula dan tensi naik. Begitupun dengan hasil riwayat kesehatan dari rumah sakit Royal Helathcare di Singapore yang diterima oleh Tim dokter pribadi pada (20/9) yang meminta agar Gubernur Lukas Enembe sesegera mungkin melanjutkan pengobatan karena kondisi sakit yang semakin parah terutama berpengaruh pada fungsi ginjal,” kata Roy memaparkan penjelasan dari dr Anton Mote.
Lanjutnya, dengan kondisi kesehatan tersebut, Gubernur Lukas Enembe tidak bisa hadir untuk memenuhi panggilan kedua dari KPK yang dijadwalkan (26/9). Selain itu, Tim dokter pribadi juga telah menyampaikan permohonan kepada pimpinan KPK RI untuk memberikan ijin berobat kepada Gubernur Lukas Enembe.
“Permohonan izin berobat ini sudah sesuai dengan hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang lebih prima. Dalam kaitan dengan kondisi kesehatan ini, Tim Hukum berpandangan, bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, Gubernur Papua harus mendapatkan haknya agar kesehatan yang diperoleh dalam keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun social yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara social ekonomis,” paparnya.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009 Tentang Kesehatan. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Sehingga pimpinan KPK diharapkan memperhatikan hak-hak kesehatan Gubernur Lukas Enembe.
“Untuk itu, agar Gubernur Lukas Enembe mendapatkan hak-hak asasinya di bidang kesehatan, kami Tim Hukum meminta dengan hormat Presiden Joko Widodo untuk memberikan kesempatan/mengizinkan kepada Gubernur Lukas Enembe mendapatkan perawatan yang intensif/prima dari Tim dokter Gubernur di Royal Helathcare Singapore,” pintanya.
Menurut Roy, tanpa ditangani dengan tim dokter yang mengenal dengan baik riwayat penyakitnya dapat memperparah kondisi kesehatan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan Gubernur Lukas Enembe.
Tim Hukum menilai, pengalihan penyelidikan dari Surat Perintah Penyelidikan Nomor ; Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tanggal 27 Juli 2022 dan kemudian berubah/beralih menjadi Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor : LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 1 September 2022 awal mula terjadi kriminalisasi terhadap Gubernur Papua.
Surat permohonan izin berobat dari Gubernur Papua kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 31 Agustus 2022 berdasarkan Surat Nomor : 098/10412/SET, tertanggal 31 Agustus 2022 menjadi pintu masuk kriminalisasi dalam perkara a quo. Perubahan arah penyelidikan KPK dari melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK (Kerugian Negara) menjadi Pasal 5 dan Pasal 11 atau Pasal 12 UU TPK (Delik Gratifikasi) memperjelas bahwa Gubernur Lukas Enembe menjadi Target Operasi (TO) KPK dalam rangka kriminalisasi/pembunuhan karakter Gubernur Papua.
“Penyidik KPK terkesan mencari-cari pasal-pasal pidana korupsi yang lebih mudah untuk menangkap dan menahan Gubenur Lukas Enembe demi mencapai tujuan politik untuk menguasai pemerintahan di Provinsi Papua. Hal tersebut dapat dilihat ada upaya sistimatis dan terstruktur melakukan kriminalisasi terhadap Gubernur Papua,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan jika Penyidik KPK sudah menetapkan Gubernur LE sebagai tersangka pada 5 September 2022, kemudian dilanjutkan pada tanggal 7 September 2022 dengan tindakan pencekalan melalui Dirjend Imigrasi, dan pada tanggal 9 September 2022, Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian mengeluarkan surat izin berobat keluar negeri.
Padahal seharusnya Mendagri tidak mengeluarkan izin berobat keluar negeri karena Lukas Enembe sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal berpergian keluar negeri. Tim Hukum menemukan dengan adanya fakta-fakta tersebut di atas, menunjukkan bahwa telah terjadi kriminalisasi secara sistimatis, terstruktur dan massif karena telah melibatkan oknum-oknum yang memimpin lembaga-lembaga negara (BIN, Mendagri, dan KPK).
Menurut Tim Kuasa Hukum Gubernur Papua, peristiwa kriminalisasi yang dialami Gubenur Lukas Enembe sudah dialami sejak tahun 2017 sampai dengan 2022. Sehingga publik kembali dingatkan bagaimana mantan Kadiv Propam Irjend Pol Ferdy Sambo mampu melakukan rekayasa kasus dengan mengelabui publik.
“Presiden perlu mengambil langkah-langkah yang tegas untuk menyelamatkan negara ini dari oknum-oknum pejabat yang memamfaatkan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadinya atau kelompoknya yang secara politik memiliki afiliasi politik dengan partai politik tertentu yang sangat berpengaruh dalam rezim Presiden Joko Widodo,” paparnya.
Tim kuasa hukum juga menyampaikan Gubernur Lukas Enembe disangkakan menerima hadiah atau janji (gratifikasi) dari seorang yang bernama Prijatono Lakka (Tono Lakka). Dana yang ditransfer oleh Prijatono Lakka sebesar Rp 1 M. padahal, menurut pengakuan Gubernur Lukas Enembe kepada Tim Hukum, dana tersebut adalah dana pribadi Gubernur Lukas Enembe sendiri.
Prijatono Lakka diminta tolong oleh Gubernur LE untuk mentransfer dana tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan pengakuan Prijatono Lakka didepan penyidik KPK pada tanggal (12/9) bahwa dana tersebut adalah dana gubenur sendiri.
“Kalau faktanya seperti ini, maka dapat disimpulkan adanya kriminalisasi dan pembunuhan karakter (character assasination) terhadap Gubernur Lukas Enembe, oleh karena penyidikan tidak sesuai dengan hukum pidana formilnya maupun pidana materiilnya,” kata tim penguasa hukum LE.
Menurut tim kuasa hukum Lukas Enembe, keterlibatan Menkopulhukam mempertegas politisasi. Bahkan, konferensi pers yang dilakukan Menkopolhukam Mahfud MD bersama Pimpinan KPK dan Kepala PPATK pada tanggal (19/9) di Kantor Menkopolhukam adalah bentuk intervensi pemerintah terhadap KPK.
Padahal, KPK seharusnya independen dengan tugas dan kewenangan melakukan pemeberantasan tindak pidana korupsi. KPK telah mempertontonkan secara telanjang kepada public bahwa KPK sudah tidak independent lagi. KPK sudah dibawah kooptasi oleh Menkopolhukam. Sehingga public dapat membaca ada apa dengan penetapan Gubernur Lukas Enembe sebagai tersangka.
“Apakah perkara ini murni penegakkan hukum ataukah bagian dari upaya politisasi menuju kriminalisasi dengan mempergunakan organ negara/pemerintahan untuk merebut kekuasaan Gubenur Papua secara tidak bermartabat, dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang akan digelar pada pemilukada serentak tahun 2024 di Papua,” tuturnya.
Tim kuasa hukum juga mempertanyakan apakah Mendagri Tito Karnavian sedang menjalankan agenda politik oknum-oknum tertentu termasuk partai politik tertentu yang sedang berkuasa dalam rezim Presiden Jokowi. Atau apakah ini sebagai cara-cara oknum-oknum di pemerintahan Presiden Jokowi untuk merebut kekuasaan Gubernur Papua tanpa melalui proses demokrasi melainkan dengan mempergunakan instiusi penegak hukum (KPK) sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik tanpa melalui pemilu.
“Ada upaya sistimatis untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam Papua untuk kepentingan oknum-oknum di pemerintahan Presiden Jokowi,” tegasnya.
Tim Kuasa Hukum Lukas Enembe juga menilai adanya usaha untuk menyakinkan publik dengan membawa opini “Mega Korupsi” di Papua dimana salah satunya dari mega korupsi tersebut Gubernur Lukas Enembe seolah-olah melakukan korupsi dana APBD Papua sebesar Rp 560 M atau setara dengan 55 juta dollar yang dipakai bermain judi di Kasino Singapore.
Namun dalam kasus ini, PPATK tidak bisa membuktikan adanya aliran dana APBD Papua yang ditarik secara tunai untuk disetorkan secara tunai ke Kasino di Singapore. Sebagaimana mengeluarkan dana sebesar itu dari Kas Daerah Papua harus sesuai dengan mata anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBD Papua sesuai dengan proyek-proyek yang dibiayai APBD Papua.
“Sampai saat ini tidak ada temuan BPK (auditor negara) adanya penarikan uang secara tunai sebesar Rp 560 M dari Kas Daerah Papua. Tidak ditemukan adanya proyek yang mangkrak selama kepemimpinan beliau. Tidak ditemukan adanya proyek yang fiktif di masa pemerintahan Gubenur Lukas Enembe. Sehingga pernyataan pers Mahfud MD dan Ketua PPATK dihadapan public diduga telah mencemarkan nama baik (pembunuhan karakter) terhadap nama baik Gubernur 7 Lukas Enembe dan melakukan pembohongan publik,” tegasnya.
Terlebih pemerintahan Gubernur Lukas Enembe mendapatkan penghargaan WTP delapan kali berturut-turut. Itu artinya, tidak ada temuan kerugian negara selama ini didalam pemerintahan Gubernur Lukas Enembe.
“Ada upaya untuk menggeser penetapan tersangka korupsi Rp 1 M dengan isssue permainan judi di Singapore. Kasus judi adalah delik umum yang menjadi kewenangan Bareskrim Polri. Sedangkan kasus korupsi adalah delik khusus yang menjadi kewenangan KPK, Polisi dan Jaksa. Ini sekali lagi membuktikan dan tak terbantahkan bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap Gubernur Lukas Enembe,” ungkap Roy.
Atas dugaan pencemaran nama baik dan penyampaian berita bohong (hoax), Tim Hukum dan Advokasi Gubernur Papua sedang menyiapkan upaya hukum baik secara pidana maupun perdata terhadap oknum-oknum pemerintahan yang terlibat dalam kasus ini yang diduga merusak martabat dan kehormatan serta nama baik Gubernur Lukas Enembe. (fia/wen)