Ucap Profesor dengan tegas tanah itu adalah modal investasi masa depan bagi sang pemilik. Jika tanahnya terjual dengan alasan adanya pembangunan maka, masa depan sang pemilik dipertanyakan. Kondisi tersebut kata guru besar Uncen merupakan bagian dampak dari pembangunan itu. Karena menurutnya akses jalan itu juga dapat mempengaruhi perubahan sosial dalam seluruh dimensi kehidupan.
“Jadi jangan sampai adanya akses jalan itu, justru membuat perubahan orang Papua menjadi miskin diatas tanahnya sendiri,” pungkas profesor.
Sementara, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Cahyo Sukarnito, menegaskan bahwa pengamanan Jalan Trans Jayapura–Wamena tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang semata, apalagi hanya sekadar soal kenyamanan para sopir atau pengguna jalan.
“Berbicara keamanan di jalan trans itu sangat kompleks. Tidak bisa hanya dilihat dari sisi pengguna jalan saja. Banyak hal yang harus dipikirkan, dan itu membutuhkan koordinasi serta komunikasi banyak pihak,” ujar Cahyo melalui sambungan telepon, Senin (24/11).
Menurutnya, pengamanan ideal tidak bisa ditetapkan sepihak. Polda Papua menilai bahwa koordinasi harus melibatkan pemerintah daerah, pemangku adat dan pemangku wilayah, TNI–Polri, para sopir, hingga masyarakat yang tinggal di sekitar ruas jalan trans tersebut.
“Semua pihak ini harus duduk bersama, memberikan masukan dan saran. Bahkan sejak proses pembangunan sampai pada tahap penentuan metode pengamanan, kita sudah lakukan koordinasi,” jelasnya.
Cahyo menegaskan bahwa pengamanan pascapembangunan tidak bisa dibuat berdasarkan perkiraan semata. Setiap segmen jalan memiliki karakteristik dan tingkat kerawanannya masing-masing, sehingga penempatan pos atau pola pengamanan harus benar-benar berbasis data dan hasil pemetaan.
“Jalan trans ini aksesnya saja susah. Ada wilayah yang tidak ada kampung, tidak mungkin kita taruh pos begitu saja. Kalau hanya dua personel ditempatkan di area kosong, seminggu kemudian bisa hilang diculik. Jadi tidak bisa berandai-andai,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa ancaman keamanan tidak hanya soal perampokan atau serangan. Faktor lain seperti perang suku, sengketa batas wilayah, hingga dendam akibat kecelakaan lalu lintas juga harus diperhitungkan. Terkait wacana penempatan pos pengamanan, Cahyo menegaskan bahwa itu bukan perkara mudah.
“Pengamanan butuh anggaran. Duitnya siapa? Tidak mungkin semua ditanggung Polri, kecuali itu Polsek atau Pospol. Kalau pos pengamanan tertentu, stakeholder terkait harus dilibatkan,” ucapnya.
Menurutnya, setiap pihak memiliki pandangan berbeda mengenai lokasi ideal pembangunan pos. Para sopir mungkin menginginkan pos berada pada titik A, sementara pemangku wilayah memilih titik B. Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki keterbatasan anggaran.
“Karena itu harus dibicarakan bersama. Jangan sampai di sini ada PAMTAS, sebelahnya pos polisi, sementara jalur lain kosong. Harus dilakukan pemetaan supaya terukur titik-titik rawan dan berapa jumlah pos yang dibutuhkan,” jelasnya.
Cahyo menegaskan bahwa Papua tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masyarakat adat. Penempatan pos tanpa persetujuan adat justru dapat memicu penolakan dan menciptakan keresahan baru.
“Kalau kita bilang bangun pos di sini, tapi masyarakat adat tidak setuju dan ingin di titik lain, itu tidak boleh dipaksakan. Karena kalau dipaksakan, bukan menciptakan keamanan tetapi justru mengganggu ketertiban,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa pembangunan jalan trans sendiri telah memunculkan pro dan kontra di sejumlah daerah, mulai dari masalah pembebasan tanah ulayat hingga kecelakaan yang menimbulkan luka sosial di masyarakat.
Menurut Cahyo, pengamanan Jalan Trans Jayapura–Wamena tidak hanya berfokus pada sopir atau pengguna jalan. Jalur ini membuka wilayah baru yang akan memunculkan aktivitas ekonomi seperti pasar, rest area, serta titik-titik pemberdayaan masyarakat. “Nanti mungkin dibangun pasar atau rest area. Itu juga harus dipikirkan pengamanannya. Karena ini bicara peningkatan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Iapun menegaskan bahwa keseluruhan proses ini membutuhkan ide, gagasan, serta kajian matang dari seluruh pemangku kepentingan.
“Yang paling mendasar harus disesuaikan dengan tingkat kerawanan dan kebutuhan masyarakat. Kalau masyarakat bilang butuh pos di titik tertentu, harus kita apresiasi. Tapi jangan sampai ada penolakan karena itu juga tidak baik,” tegas Cahyo.
Ia memastikan bahwa Polda Papua akan terus mengupayakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, namun tetap berdasarkan kesepakatan bersama. “Ke depan kita pasti berupaya memberikan keamanan terbaik. Tapi semua harus dibicarakan bersama, agar penempatan pos ideal, akses keamanan ideal, dan keselamatan anggota pun ideal,” pungkasnya. (jim/rel/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos