Selain faktor ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan komunikasi keluarga juga menjadi pemicu utama. Ketidakharmonisan hubungan dalam rumah tangga membuat sebagian anak kehilangan arah dan memilih hidup di jalanan.
“Banyak anak yang terlibat dalam kasus sosial karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Ini berhubungan langsung dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS di Papua,” tambah Josefient.
Ia juga menyoroti kelemahan dari sisi regulasi dan penegakan hukum. Menurutnya, anak-anak yang terlibat dalam kasus narkotika atau prostitusi online umumnya tidak mendapat sanksi hukum, melainkan hanya direhabilitasi.
“Kondisi ini menjadi celah bagi para pelaku untuk menjadikan anak-anak sebagai sasaran dalam peredaran narkoba atau prostitusi online. Anak-anak mudah ditipu karena belum mampu menganalisis dampak perbuatannya,” ujarnya.
Karena itu, Josefient menegaskan pentingnya pendampingan serius bagi anak-anak, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh keluarga, lembaga agama, dan masyarakat adat.
“Anak-anak adalah bagian dari komunitas adat dan agama. Jika kedua pilar ini lepas tangan, maka mereka akan kehilangan arah dan mudah terjerumus,” tegasnya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, DP3AKB Papua telah mendorong penandatanganan kesepakatan bersama lintas sektor, termasuk pemerintah daerah, aparat keamanan, dan instansi vertikal, guna memperkuat kebijakan dan komitmen bersama dalam perlindungan perempuan dan anak.
Dari sisi layanan, DP3AKB mencatat sudah ada tujuh kabupaten dan satu kota di Papua yang memiliki Unit Layanan Terpadu (ULT) bagi perempuan dan anak korban kekerasan. “Yang belum hanya Kabupaten Mamberamo Raya,” bebernya.