Saturday, April 27, 2024
27.7 C
Jayapura

LBH Papua Desak Bentuk Tim Investigasi

*Instruksi Presiden Dengan Sandi Operasi Nemangkawi Melahirkan Pengungsian dan Pelanggaran HAM

JAYAPURA- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menilai, instruksi Presiden dengan sandi Operasi Nemangkawi di Kabupaten Nduga telah melahirkan pengungsian  dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Untuk itu, LBH mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia segera membentuk tim investigasi dan melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Nduga. Selain itu meminta Palang Merah Indonesia (PMI) segera  turun tanggani penggungsi di Kabupaten Nduga.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay

Desakan LBH Papua terkait adanya beberapa kekerasan dan kematian orang Papua sejak beberapa tahun terakhir ini.  

Sebagaimana, dalam rangka menanggapi tindakan pembunuhan terhadap karyawan PT. Istaka Karya oleh kelompok TPN-PB pada 2 Desember 2018 di sekitar Puncak Kabo, Distrik Yigi, Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap kelompok bersenjata yang diduga menembak karyawan PT Istaka Karya hingga tewas.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan, instruksi Presiden yang diartikan kedalam operasi penegakan hukum dengan sandi Operasi Nemangkawi pada prakteknya menjadi pembuka konflik bersenjata antara TNI-Polri vs TPN-PB yang dimulai sejak 2 Desember 2018 hingga Juli 2020 di Kabupaten Nduga.

“Akibat konflik bersenjata tersebut, telah melahirkan gelombang pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sipil Kabupaten Nduga. Secara khusus melalui fakta ada 58 orang masyarakat sipil pengungsi dari tiga distrik antara lain Distrik Kagayem, Distrik Paro dan Distrik Yenggelo. Mereka mengungsi ke hutan karena lapar dan sakit. Sehingga terpaksa mereka menuju ke Ibu Kota kabupaten Nduga,” ungkap Emanuel Gobay melalui rilis yang disampaikan ke Cenderawasih Pos, Jumat (24/7)

 Melalui fakta adanya pengungsi di Kabupaten Nduga sejak 2018 hingga tahun 2020, ini merupakan korban dari instruksi Presiden yang diterjemahkan menjadi operasi penegakan hukum yang diberikan sandi Operasi Nemangkawi. Namun sayangnya dilakukan tanpa mengikuti ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang telah diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1950 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

Baca Juga :  Satu KKB Tewas Usai Baku Tembak

Terlepas dari itu,  Emanuel juga menyoroti meninggalnya ayah dan anak di Kabupaten Nduga belum lama ini. Terlepas dari perdebatan Danki-C Satgas Yonif PR 330 dan Kapen Kogabwilhan Kolonel Czi Gusti Nyoman beserta Bupati Nduga dengan Egianus Kogeya terkait korban. 

Pada prinsipnya, melalui fakta peristiwa penembakan terhadap Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20), oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga pada 18 Juli 2020 di Kampung Masanggorak tepatnya di pinggir Sungai Keneyam, merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara dan merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak hidup yang dimiliki oleh Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20).

“Sebagaimana dijamin pada pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, dijamin pula dalam ketentuan yang berkaitan dengan masyarakat sipil dalam situasi operasi militer sebagaimana dijamin pada pasal 3 ayat (1), Kovensi Jenewa Tahun 1949,” papar Emanuel.

Terlepas dari itu, berdasarkan fakta adanya oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga yang melakukan tindakan penembakan hingga mencabut hak untuk hidup milik Elias Karunggu dan Seru Karunggu secara langsung.

Hal ini lanjut Emanuel,  menunjukan fakta salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan. Sebagaimana diatur pada Pasal 9, huruf a, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

Terkait dengan beberapa insiden yang terjadi di Kabupaten Nduga, LBH Papua menegaskan kepada presiden untuk segera mengevaluasi instruksi presiden yang diartikan kedalam operasi penegakan hukum dengan sandi Operasi Nemangkawi di Kabupaten Nduga. Sebab pada prakteknya telah melahirkan pengungsian dan pelanggaran HAM khususnya hak hidup.

LBH juga meminta Ketua PMI segera menurunkan timnya ke Kabupaten Nduga untuk menanggani penggungsi akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri vs TPN-PB di Kabupaten Nduga. 

Baca Juga :  Terlibat Korupsi Rp 18,2 M, Sekda Keerom Jadi Tersangka

Komnas HAM RI juga diminta segera membentuk tim investigasi dan turun ke Kabupaten Nduga untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa penembakan yang menewaskan Elias Karunggu dan Seru Karunggu oleh oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga pada 18 Juli 2020, pukul 15.00 WIT, di kampung Masanggorak, pinggir Sungai Keneyam, Kabupaten Nduga.

LBH Papua juga meminta Gubernur Papua, Ketua DPR Papua, Bupati Nduga dan Ketua DPRD Kabupaten Nduga wajib melindungi HAM masyarakat sipil Kabupaten Nduga sebagai bentuk implementasi prinsip perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Terutama pemerintah sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945.  

Sementara itu, tokoh muda Nduga Samuel Tabuni mengakui banyak warga sipil Nduga yang sudah menjadi korban, ditembak mati oleh oknum aparat TNI. Dirinya bahkan mengklaim sudah ada 250 lebih warga yang meningal.

Tabuni mengatakan warga yang meningal ini tidak ada yang bertangung jawab hingga meningalkan duka bagi keluarga korban termasuk dirinya sebagai keluargga.

“Nyawa manusia Papua asal Nduga sudah 250-an lebih menjadi korban. Korban ratusan orang ini siapa yg bertanggungjawab,” kata Samuel yang juga Direktur Umum Papua Lenguage Institute (PLI) itu.

Ia mengatakan jika warga sipil terus yang ditembak mati tanpa alasan dan bukti pertangungjawaban yang jelas, maka ia meminta agar TNI-Polri dan TPN – PB melakukan perang terbuka saja.

“Saya meminta TNI-Polri dan TPN-PB silakan umumkan perang terbuka dan secara resmi di Nduga dipantau oleh kita semua dan masyarakat international,” katanya.

Ia mengatakan hal ini agar tidak mengorban warga sipil dan disaksikan dunia internasional .

“Agar pertempuran dan pembunuhan sah- sah  saja tidak dipersoalkan HAM. Bagaimana melakukan silent operasi bunuh warga satu persatu di rumah mereka,” tutup Tabuni yang mengaku kecewa dengan situasi yang terjadi hingga adanya penembakan dua warga sipil di Nduga baru – baru ini.(fia/oel/nat)

*Instruksi Presiden Dengan Sandi Operasi Nemangkawi Melahirkan Pengungsian dan Pelanggaran HAM

JAYAPURA- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menilai, instruksi Presiden dengan sandi Operasi Nemangkawi di Kabupaten Nduga telah melahirkan pengungsian  dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Untuk itu, LBH mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia segera membentuk tim investigasi dan melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Nduga. Selain itu meminta Palang Merah Indonesia (PMI) segera  turun tanggani penggungsi di Kabupaten Nduga.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay

Desakan LBH Papua terkait adanya beberapa kekerasan dan kematian orang Papua sejak beberapa tahun terakhir ini.  

Sebagaimana, dalam rangka menanggapi tindakan pembunuhan terhadap karyawan PT. Istaka Karya oleh kelompok TPN-PB pada 2 Desember 2018 di sekitar Puncak Kabo, Distrik Yigi, Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap kelompok bersenjata yang diduga menembak karyawan PT Istaka Karya hingga tewas.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan, instruksi Presiden yang diartikan kedalam operasi penegakan hukum dengan sandi Operasi Nemangkawi pada prakteknya menjadi pembuka konflik bersenjata antara TNI-Polri vs TPN-PB yang dimulai sejak 2 Desember 2018 hingga Juli 2020 di Kabupaten Nduga.

“Akibat konflik bersenjata tersebut, telah melahirkan gelombang pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sipil Kabupaten Nduga. Secara khusus melalui fakta ada 58 orang masyarakat sipil pengungsi dari tiga distrik antara lain Distrik Kagayem, Distrik Paro dan Distrik Yenggelo. Mereka mengungsi ke hutan karena lapar dan sakit. Sehingga terpaksa mereka menuju ke Ibu Kota kabupaten Nduga,” ungkap Emanuel Gobay melalui rilis yang disampaikan ke Cenderawasih Pos, Jumat (24/7)

 Melalui fakta adanya pengungsi di Kabupaten Nduga sejak 2018 hingga tahun 2020, ini merupakan korban dari instruksi Presiden yang diterjemahkan menjadi operasi penegakan hukum yang diberikan sandi Operasi Nemangkawi. Namun sayangnya dilakukan tanpa mengikuti ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang telah diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1950 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

Baca Juga :  Lion Air  Masih Tunggu Penyelidikan KNKT 

Terlepas dari itu,  Emanuel juga menyoroti meninggalnya ayah dan anak di Kabupaten Nduga belum lama ini. Terlepas dari perdebatan Danki-C Satgas Yonif PR 330 dan Kapen Kogabwilhan Kolonel Czi Gusti Nyoman beserta Bupati Nduga dengan Egianus Kogeya terkait korban. 

Pada prinsipnya, melalui fakta peristiwa penembakan terhadap Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20), oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga pada 18 Juli 2020 di Kampung Masanggorak tepatnya di pinggir Sungai Keneyam, merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara dan merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak hidup yang dimiliki oleh Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20).

“Sebagaimana dijamin pada pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, dijamin pula dalam ketentuan yang berkaitan dengan masyarakat sipil dalam situasi operasi militer sebagaimana dijamin pada pasal 3 ayat (1), Kovensi Jenewa Tahun 1949,” papar Emanuel.

Terlepas dari itu, berdasarkan fakta adanya oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga yang melakukan tindakan penembakan hingga mencabut hak untuk hidup milik Elias Karunggu dan Seru Karunggu secara langsung.

Hal ini lanjut Emanuel,  menunjukan fakta salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan. Sebagaimana diatur pada Pasal 9, huruf a, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

Terkait dengan beberapa insiden yang terjadi di Kabupaten Nduga, LBH Papua menegaskan kepada presiden untuk segera mengevaluasi instruksi presiden yang diartikan kedalam operasi penegakan hukum dengan sandi Operasi Nemangkawi di Kabupaten Nduga. Sebab pada prakteknya telah melahirkan pengungsian dan pelanggaran HAM khususnya hak hidup.

LBH juga meminta Ketua PMI segera menurunkan timnya ke Kabupaten Nduga untuk menanggani penggungsi akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri vs TPN-PB di Kabupaten Nduga. 

Baca Juga :  Satu KKB Tewas Usai Baku Tembak

Komnas HAM RI juga diminta segera membentuk tim investigasi dan turun ke Kabupaten Nduga untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa penembakan yang menewaskan Elias Karunggu dan Seru Karunggu oleh oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga pada 18 Juli 2020, pukul 15.00 WIT, di kampung Masanggorak, pinggir Sungai Keneyam, Kabupaten Nduga.

LBH Papua juga meminta Gubernur Papua, Ketua DPR Papua, Bupati Nduga dan Ketua DPRD Kabupaten Nduga wajib melindungi HAM masyarakat sipil Kabupaten Nduga sebagai bentuk implementasi prinsip perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Terutama pemerintah sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945.  

Sementara itu, tokoh muda Nduga Samuel Tabuni mengakui banyak warga sipil Nduga yang sudah menjadi korban, ditembak mati oleh oknum aparat TNI. Dirinya bahkan mengklaim sudah ada 250 lebih warga yang meningal.

Tabuni mengatakan warga yang meningal ini tidak ada yang bertangung jawab hingga meningalkan duka bagi keluarga korban termasuk dirinya sebagai keluargga.

“Nyawa manusia Papua asal Nduga sudah 250-an lebih menjadi korban. Korban ratusan orang ini siapa yg bertanggungjawab,” kata Samuel yang juga Direktur Umum Papua Lenguage Institute (PLI) itu.

Ia mengatakan jika warga sipil terus yang ditembak mati tanpa alasan dan bukti pertangungjawaban yang jelas, maka ia meminta agar TNI-Polri dan TPN – PB melakukan perang terbuka saja.

“Saya meminta TNI-Polri dan TPN-PB silakan umumkan perang terbuka dan secara resmi di Nduga dipantau oleh kita semua dan masyarakat international,” katanya.

Ia mengatakan hal ini agar tidak mengorban warga sipil dan disaksikan dunia internasional .

“Agar pertempuran dan pembunuhan sah- sah  saja tidak dipersoalkan HAM. Bagaimana melakukan silent operasi bunuh warga satu persatu di rumah mereka,” tutup Tabuni yang mengaku kecewa dengan situasi yang terjadi hingga adanya penembakan dua warga sipil di Nduga baru – baru ini.(fia/oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya