Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Rasa Aman, Kebutuhan Utama Yang Gagal Diwujudkan Oleh Negara di Papua

Oleh : Latifah Anum Siregar(direktur AlDP/pengacara HAM)

Memasuki tahun kesepuluh dari kepemimpinan presiden Joko Widodo(Jokowi),telah  menghasilkan berbagai kebijakan untuk tanah Papua bahkan presiden mengunjungi Papua secara rutin. Papua, satu-satunya provinsi dengan frekwensi kunjungan yang paling istimewa.

Sayangnya, tidak ada kebijakannya tanpa aksi penolakan selain itu berbagai kebijakan yang ada cenderung hanya mampu menyentuh aspek fisik (infrastruktur). Ini pun masih dapat dipilah, antara kebijakan yang benar-benar berkontribusi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat dengan slogan bombastis ‘meningkatkan kesejahteraan’ dan kebijakan sebagai alat kapitalis yang justru menghancurkan sumber-sumber ekonomi rakyat kecil.

Terbukti, Indeks Pembangunan Manusia(IPM) Papua dalam 10 tahun kepemimpinannya tetap di urutan paling bawah.

Kebijakan pembangunan yang berkeadilan dan bermartabat melalui perlindungan hak asasi manusia(HAM), khususnya penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu, penghentian aksi kekerasan dan konflik bersenjata, penegakan hukum yang professional dan upaya mencegah konflik horizontal, jelas masih jauh dari cita-cita proklamasi.

Maka tidak heran ketika mengunjungi Papua presiden bertemu dengan orang atau kelompok tertentu saja, yang isi hanya tentang keberhasilan pembangunan infrastruktur bukan tentang perlindungan manusianya.

Ada banyak indikator, misalnya penyelesaian pelanggaran kasus HAM melalui mekanisme yudisial yakni Pengadilan HAM Berat kasus Paniai 2014 di pengadilan HAM Makasar tahun 2022 yang berakhir dengan kekecewaan(yang sudah diduga sebelumnya) bahkan kini ketika kasus berada ditahap kasasi(Mahkamah Agung),  hakim yang mengadili perkara tersebut tak kunjung ada.

Negara bukan saja  tidak mampu mengadili pelaku tetapi juga gagal menyiapkan perangkat hukum yang dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme tersebut. Selain itu kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 belum beranjak ke tahap penyidikan, ditambah lagi kasus-kasus lainnya yang belum sampai ke tahap investigasi atau penyelidikan.

Hingga kini tidak ada argumentasi analitis untuk menjelaskan ‘keberhasilan’ pendekatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara selain berlindung pada kata ‘persentase’ seperti pernyataan Menkopolhukam bahwa 90% lebih masyarakat Papua tidak persoalkan Otsus,[1] Menkopolhukam juga membuat pernyataan bahwa 82% menerima pemekaran[2] dan pada kunjungan tanggal 7 Juli 2023 di Jayapura presiden Jokowi mengatakan bahwa Papua secara umum, 99%  tidak ada masalah.

Semua tempat, di manapun di Papua aman.[3] Bahkan dirinya mencontohkan selama kunjungan ke Papua aman. Jelas, karena yang dikunjungi bukanlah daerah yang sedang bergolak dengan aksi kekerasan dan konflik bersenjata, kunjungannya pun dengan pengamanan yang ekstra ketat.

Ironisnya, tidak cukup seminggu setelah pernyataannya, tanggal 13 dan 14 Juli 2023 Dogiyai pecah. Konflik dipicu oleh gagalnya aparat keamanan menangani masalah yang diduga melibatkan masyarakat setempat hingga berakibat konflik meluas dan berimplikasi pada masyarakat non OAP.

Ini kali kedua peristiwa Dogiyai dengan pola yang sama di tahun 2023, sebelumnya pada 21 Januari 2023. Juga pola yang sama terjadi di beberapa tempat lainnya, seperti peristiwa Wamena 23 Pebruari 2023.

Selain itu salah satu kasus yang mendapatkan perhatian meluas adalah penyanderaan  pilot Susi Air berkebangsaan New Zealand Philips Mark Methrtens tanggal 7 Pebruari 2023. Hingga kini belum berhasil dibebaskan.

Situasi penyandera ditampilkan berkali-kali melalui audio visual selanjutnya penambahan pasukan secara signifikan dalam konsep Operasi Militer Selain Perang(OMSP) yang diberi jubah ‘Operasi Damai Cartenz’. Pada situasi tersebut masyarakat sipil makin terjepit, mengalami penyiksaan dan menjadi korban utama dan terbanyak.

Baca Juga :  Terdakwa Tunggal Pelaku Paniai Berdarah Dituntut 10 Tahun Penjara

Ditambah lagi polemik uang 5 milyar, awalnya dikatakan diminta oleh pimpinan TPNPB Egianus Kogoya[4]  setelah diprotes oleh Egianus Kogoya berubah menjadi dana yang disiapkan oleh pemerintah untuk antisipasi. [5]  Ataukah itu ‘biaya’operasi pembebasan sandera?.

Upaya pembebasan nyaris tidak terkonsolidasi diantara berbagai pihak, dikatakan ada tim gabungan tetapi diduga ada juga yang membuat pendekatan(eksperimen) sendiri dan ketika gagal menyisakan korban lagi. Kendati pun saat ini dikatakan pada tahap negosiasi namun masih belum jelas siapa negosiator yang ditunjuk oleh siapa. Selalu ada probabilitas : pilot hidup atau mati, keduanya bisa menjadi drama yang satire.

Di tahun 2022, presiden Jokowi menawarkan penyelesaian non yudisial, bukan melalui mekanisme KKR sebagaimana Pasal 47 UU Nomor 26 tahun 2000  ataupun KKR (versi Papua) sebagaimana Pasal 46 UU Otsus, tetapi melalui pendekatan kekuasaan yakni Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Keanggotaan Tim ditentukan oleh pemerintah dan bekerja sesuai agenda pemerintah bukan korban. Intinya, penyelesaian non yudisial berdasarkan perspektif pemerintah.

Dalam Pasal 3 Keppres 17 Tahun 2022 memuat tugas Tim yakni melakukan pengungkapan tetapi tidak jelas apa yang diungkap karena apabila ada pengungkapan maka harus ada pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku.

Maka tidak ada juga rekonsiliasi karena negara langsung ‘membayar’ kejahatan tersebut dengan sejumlah materi dan fasilitas berdasarkan skema yang dibuat oleh negara untuk menutup kasusnya.

Dalam hal tanggungjawab pemenuhan HAM oleh negara pendekatan penyelesaian non yudisial tidak digunakan untuk menghapus proses yudisial, apalagi dalam kategori dugaan pelanggaran HAM berat.

Mengingat bahwa penyelesaian yudisial pun memuat amar putusan yang memberikan tanggungjawab kepada pelaku untuk memberikan sejumlah ‘ganti rugi’ dalam bentuk kompensasi dan restitusi.

Selain itu juga ada kewajiban rehabilitasi yang bermuara pada pemulihan eksistensi korban. Maka fakta (kebenaran) dari peristiwa tersebut harus tetap diungkapkan untuk mewujudkan keadilan bagi bagi korban dan mencegah kejahatan berulang.

Jika pemerintah masih beranggapan bahwa telah melakukan pemenuhan dan perlindungan HAM dengan tepat dan situasi di tanah Papua ‘aman-aman saja’ kemudian bereaksi atau tidak bereaksi dengan cara yang biasa yakni mencoba menutupi peristiwa yang ada atau ditangani dengan sangat politis maka tanah Papua akan selalu bergejolak, kapan kondisi aman? tidak mudah diprediksi.

Lihat saja pada data aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang dihimpun AlDP dari berbagai sumber bahwa sepanjang tahun 2021  ada 63 kasus, tahun 2022 ada 53 kasus dan sejak Januari hingga Juni 2023 ada 23 kasus dengan korban beragam : masyarakat sipil (Orang Asli Papua(OAP) dan non OAP dari berbagai usia, jenis kelamin dan profesi), TNI/POLRI dan TPNPB.

Kasus terjadi di banyak tempat, dalam satu kasus korbannya cenderung lebih dari 1 orang, isu apa saja bisa menjadi ‘pemicu’ bahkan peristiwa kriminal individual dapat seketika berubah menjadi aksi komunal.

Oleh karenanya upaya pemerintah untuk ‘membujuk’ Papua dengan berbagai program pembangunan infrastruktur seharusnya simultan dengan tanggungjawab pemenuhan dan perlindungan HAM.

Baca Juga :  Penjabat di Wilayah DOB Diharap Dapat Kelola APBD Secara Maksimal

Agar masyarakat sipil tidak menjadi tumbal dari siklus panjang kekerasan karena hari ini yang paling urgensi bagi OAP dan siapa pun yang hidup di tanah Papua adalah rasa aman, sebelum kebutuhan lainnya terpenuhi. Setiap orang ingin bangun pagi dan memulai aktifitas sehari-harinya dengan tenang.

Di kebun, di laut, di gunung, di sekolah, di kampus, di kantor, di pasar, di tempat ibadah, di jalan, di mana pun mereka berada dan kemana pun mereka bergerak  tanpa rasa takut.  Bahkan ketika berada di dalam rumah mereka sendiri, mereka ingin benar-benar aman. Jika mereka terlibat pada satu peristiwa mereka ingin ada jaminan kepastian hukum dan keadilan.

Rekomendasi :

  1. Perumusan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk tanah Papua harus melibatkan berbagai pihak dan memuat aspek pemenuhan dan perlindungan HAM secara inklusif dengan merujuk pada berbagai permasalahan mendasar di Tanah Papua;
  2. Penyelesaian pelanggaran HAM melalui proses yudisial dan non yudisial tidak menggunakan perspektif kekuasaan untuk melindungi para pelaku dan tidak digunakan untuk saling meniadakan akan tetapi dapat saling melengkapi termasuk untuk mengungkap kebenaran, keadilan, pemulihan korban dan jaminan tidak berulang secara khusus dalam hal penyelesaian non yudisial untuk mendorong terbentuknya KKR versi Papua sesuai kebutuhan(keinginan) korban;
  3. Penegakan hukum berjalan professional disertai antisipasi yang cepat dan efektif guna meminimalisasi dampak konflik secara vertikal dan horizontal sehingga lebih banyak pihak yang dapat dicegah untuk tidak terlibat sebagai pelaku ataupun menjadi korban;
  4. Memperbaiki tata kelola keamanan di Papua, berdasarkan ketentuan dalam UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Pasal  4 Ayat(6) UU 2 Tahun 2021 tentang Otsus termasuk memperkuat  konsolidasi dan peran pimpinan daerah dengan aparat keamanan dan tokoh masyarakat secara khusus pada wilayah-wilayah konflik bersenjata yang dipenuhi masyarakat sipil;
  5. Narasi kekerasan dan informasi yang cenderung provokatif harus mampu diredakan dan diantisipasi oleh berbagai pihak dengan mengedepankan aspek kemanusiaan untuk mencegah meningkatnya dan meluasnya aksi kekerasan dan konflik bersenjata. Dalam situasi seperti ini setiap informasi ‘jangan buru-buru ditelan’ karena sangat penting untuk diklarifikasi atau double check sebab bisa jadi sebagiannya hoax;
  6. Para pihak yang terlibat konflik bersenjata yakni TNI/POLRI dan TPNPB menghentikan konflik guna melindungi masyarakat sipil sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM. Masyarakat sipil tidak boleh menjadi target atas tindakan yang represif&eksesif apalagi dilakukan dengan cara sadis&tidak manusiawi, secara khusus mengakhiri tragedi penyanderaan pilot Susi Air;
  7. Para pihak yang terlibat konflik melakukan jeda kemanusiaan (humanitarian pause) sebagai bentuk penghormatan dan perlindungi terhadap masyarakat sipil. Agar tersedianya ruang publik yang aman serta fasilitas dan layanan publik yang dapat diakses oleh masyarakat sipil. Pemerintah di berbagai tingkatan melakukan peran aktif untuk mewujudkan jeda kemanusiaan serta mendorong dialog yang bermartabat bersama kelompok signifikan di tanah Papua untuk mewujudkan Papua Tanah Damai. (ist)

Jayapura, 21 Juli 2023

[1]https://news.detik.com/berita/d-5197322/mahfud-md-90-lebih-masyarakat-papua-tak-persoalkan-otsus

[2]https://nasional.kompas.com/read/2022/04/26/15331841/mahfud-md-sebut-82-persen-rakyat-papua-inginkan-pemekaran

[3]https://regional.kompas.com/read/2023/07/15/050000178/saat-kerusuhan-pecah-di-dogiyai-papua-tengah-?page=all

[4]https://regional.kompas.com/read/2023/07/02/102759478/kkb-egianus-kogoya-disebut-minta-tebusan-rp-5-miliar-polisi-klaim-uang

[5]https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6814778/kapolda-papua-benarkan-kkb-tak-pernah-minta-uang-rp-5-m-tebus-pilot-susi-air

Oleh : Latifah Anum Siregar(direktur AlDP/pengacara HAM)

Memasuki tahun kesepuluh dari kepemimpinan presiden Joko Widodo(Jokowi),telah  menghasilkan berbagai kebijakan untuk tanah Papua bahkan presiden mengunjungi Papua secara rutin. Papua, satu-satunya provinsi dengan frekwensi kunjungan yang paling istimewa.

Sayangnya, tidak ada kebijakannya tanpa aksi penolakan selain itu berbagai kebijakan yang ada cenderung hanya mampu menyentuh aspek fisik (infrastruktur). Ini pun masih dapat dipilah, antara kebijakan yang benar-benar berkontribusi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat dengan slogan bombastis ‘meningkatkan kesejahteraan’ dan kebijakan sebagai alat kapitalis yang justru menghancurkan sumber-sumber ekonomi rakyat kecil.

Terbukti, Indeks Pembangunan Manusia(IPM) Papua dalam 10 tahun kepemimpinannya tetap di urutan paling bawah.

Kebijakan pembangunan yang berkeadilan dan bermartabat melalui perlindungan hak asasi manusia(HAM), khususnya penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu, penghentian aksi kekerasan dan konflik bersenjata, penegakan hukum yang professional dan upaya mencegah konflik horizontal, jelas masih jauh dari cita-cita proklamasi.

Maka tidak heran ketika mengunjungi Papua presiden bertemu dengan orang atau kelompok tertentu saja, yang isi hanya tentang keberhasilan pembangunan infrastruktur bukan tentang perlindungan manusianya.

Ada banyak indikator, misalnya penyelesaian pelanggaran kasus HAM melalui mekanisme yudisial yakni Pengadilan HAM Berat kasus Paniai 2014 di pengadilan HAM Makasar tahun 2022 yang berakhir dengan kekecewaan(yang sudah diduga sebelumnya) bahkan kini ketika kasus berada ditahap kasasi(Mahkamah Agung),  hakim yang mengadili perkara tersebut tak kunjung ada.

Negara bukan saja  tidak mampu mengadili pelaku tetapi juga gagal menyiapkan perangkat hukum yang dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme tersebut. Selain itu kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 belum beranjak ke tahap penyidikan, ditambah lagi kasus-kasus lainnya yang belum sampai ke tahap investigasi atau penyelidikan.

Hingga kini tidak ada argumentasi analitis untuk menjelaskan ‘keberhasilan’ pendekatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara selain berlindung pada kata ‘persentase’ seperti pernyataan Menkopolhukam bahwa 90% lebih masyarakat Papua tidak persoalkan Otsus,[1] Menkopolhukam juga membuat pernyataan bahwa 82% menerima pemekaran[2] dan pada kunjungan tanggal 7 Juli 2023 di Jayapura presiden Jokowi mengatakan bahwa Papua secara umum, 99%  tidak ada masalah.

Semua tempat, di manapun di Papua aman.[3] Bahkan dirinya mencontohkan selama kunjungan ke Papua aman. Jelas, karena yang dikunjungi bukanlah daerah yang sedang bergolak dengan aksi kekerasan dan konflik bersenjata, kunjungannya pun dengan pengamanan yang ekstra ketat.

Ironisnya, tidak cukup seminggu setelah pernyataannya, tanggal 13 dan 14 Juli 2023 Dogiyai pecah. Konflik dipicu oleh gagalnya aparat keamanan menangani masalah yang diduga melibatkan masyarakat setempat hingga berakibat konflik meluas dan berimplikasi pada masyarakat non OAP.

Ini kali kedua peristiwa Dogiyai dengan pola yang sama di tahun 2023, sebelumnya pada 21 Januari 2023. Juga pola yang sama terjadi di beberapa tempat lainnya, seperti peristiwa Wamena 23 Pebruari 2023.

Selain itu salah satu kasus yang mendapatkan perhatian meluas adalah penyanderaan  pilot Susi Air berkebangsaan New Zealand Philips Mark Methrtens tanggal 7 Pebruari 2023. Hingga kini belum berhasil dibebaskan.

Situasi penyandera ditampilkan berkali-kali melalui audio visual selanjutnya penambahan pasukan secara signifikan dalam konsep Operasi Militer Selain Perang(OMSP) yang diberi jubah ‘Operasi Damai Cartenz’. Pada situasi tersebut masyarakat sipil makin terjepit, mengalami penyiksaan dan menjadi korban utama dan terbanyak.

Baca Juga :  Bandara Ewer di Asmat Akan Buka Isolasi Wilayah

Ditambah lagi polemik uang 5 milyar, awalnya dikatakan diminta oleh pimpinan TPNPB Egianus Kogoya[4]  setelah diprotes oleh Egianus Kogoya berubah menjadi dana yang disiapkan oleh pemerintah untuk antisipasi. [5]  Ataukah itu ‘biaya’operasi pembebasan sandera?.

Upaya pembebasan nyaris tidak terkonsolidasi diantara berbagai pihak, dikatakan ada tim gabungan tetapi diduga ada juga yang membuat pendekatan(eksperimen) sendiri dan ketika gagal menyisakan korban lagi. Kendati pun saat ini dikatakan pada tahap negosiasi namun masih belum jelas siapa negosiator yang ditunjuk oleh siapa. Selalu ada probabilitas : pilot hidup atau mati, keduanya bisa menjadi drama yang satire.

Di tahun 2022, presiden Jokowi menawarkan penyelesaian non yudisial, bukan melalui mekanisme KKR sebagaimana Pasal 47 UU Nomor 26 tahun 2000  ataupun KKR (versi Papua) sebagaimana Pasal 46 UU Otsus, tetapi melalui pendekatan kekuasaan yakni Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Keanggotaan Tim ditentukan oleh pemerintah dan bekerja sesuai agenda pemerintah bukan korban. Intinya, penyelesaian non yudisial berdasarkan perspektif pemerintah.

Dalam Pasal 3 Keppres 17 Tahun 2022 memuat tugas Tim yakni melakukan pengungkapan tetapi tidak jelas apa yang diungkap karena apabila ada pengungkapan maka harus ada pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku.

Maka tidak ada juga rekonsiliasi karena negara langsung ‘membayar’ kejahatan tersebut dengan sejumlah materi dan fasilitas berdasarkan skema yang dibuat oleh negara untuk menutup kasusnya.

Dalam hal tanggungjawab pemenuhan HAM oleh negara pendekatan penyelesaian non yudisial tidak digunakan untuk menghapus proses yudisial, apalagi dalam kategori dugaan pelanggaran HAM berat.

Mengingat bahwa penyelesaian yudisial pun memuat amar putusan yang memberikan tanggungjawab kepada pelaku untuk memberikan sejumlah ‘ganti rugi’ dalam bentuk kompensasi dan restitusi.

Selain itu juga ada kewajiban rehabilitasi yang bermuara pada pemulihan eksistensi korban. Maka fakta (kebenaran) dari peristiwa tersebut harus tetap diungkapkan untuk mewujudkan keadilan bagi bagi korban dan mencegah kejahatan berulang.

Jika pemerintah masih beranggapan bahwa telah melakukan pemenuhan dan perlindungan HAM dengan tepat dan situasi di tanah Papua ‘aman-aman saja’ kemudian bereaksi atau tidak bereaksi dengan cara yang biasa yakni mencoba menutupi peristiwa yang ada atau ditangani dengan sangat politis maka tanah Papua akan selalu bergejolak, kapan kondisi aman? tidak mudah diprediksi.

Lihat saja pada data aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang dihimpun AlDP dari berbagai sumber bahwa sepanjang tahun 2021  ada 63 kasus, tahun 2022 ada 53 kasus dan sejak Januari hingga Juni 2023 ada 23 kasus dengan korban beragam : masyarakat sipil (Orang Asli Papua(OAP) dan non OAP dari berbagai usia, jenis kelamin dan profesi), TNI/POLRI dan TPNPB.

Kasus terjadi di banyak tempat, dalam satu kasus korbannya cenderung lebih dari 1 orang, isu apa saja bisa menjadi ‘pemicu’ bahkan peristiwa kriminal individual dapat seketika berubah menjadi aksi komunal.

Oleh karenanya upaya pemerintah untuk ‘membujuk’ Papua dengan berbagai program pembangunan infrastruktur seharusnya simultan dengan tanggungjawab pemenuhan dan perlindungan HAM.

Baca Juga :  Pemrov Berharap Wilayah 3T Memegang Uang yang Berkualitas

Agar masyarakat sipil tidak menjadi tumbal dari siklus panjang kekerasan karena hari ini yang paling urgensi bagi OAP dan siapa pun yang hidup di tanah Papua adalah rasa aman, sebelum kebutuhan lainnya terpenuhi. Setiap orang ingin bangun pagi dan memulai aktifitas sehari-harinya dengan tenang.

Di kebun, di laut, di gunung, di sekolah, di kampus, di kantor, di pasar, di tempat ibadah, di jalan, di mana pun mereka berada dan kemana pun mereka bergerak  tanpa rasa takut.  Bahkan ketika berada di dalam rumah mereka sendiri, mereka ingin benar-benar aman. Jika mereka terlibat pada satu peristiwa mereka ingin ada jaminan kepastian hukum dan keadilan.

Rekomendasi :

  1. Perumusan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk tanah Papua harus melibatkan berbagai pihak dan memuat aspek pemenuhan dan perlindungan HAM secara inklusif dengan merujuk pada berbagai permasalahan mendasar di Tanah Papua;
  2. Penyelesaian pelanggaran HAM melalui proses yudisial dan non yudisial tidak menggunakan perspektif kekuasaan untuk melindungi para pelaku dan tidak digunakan untuk saling meniadakan akan tetapi dapat saling melengkapi termasuk untuk mengungkap kebenaran, keadilan, pemulihan korban dan jaminan tidak berulang secara khusus dalam hal penyelesaian non yudisial untuk mendorong terbentuknya KKR versi Papua sesuai kebutuhan(keinginan) korban;
  3. Penegakan hukum berjalan professional disertai antisipasi yang cepat dan efektif guna meminimalisasi dampak konflik secara vertikal dan horizontal sehingga lebih banyak pihak yang dapat dicegah untuk tidak terlibat sebagai pelaku ataupun menjadi korban;
  4. Memperbaiki tata kelola keamanan di Papua, berdasarkan ketentuan dalam UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Pasal  4 Ayat(6) UU 2 Tahun 2021 tentang Otsus termasuk memperkuat  konsolidasi dan peran pimpinan daerah dengan aparat keamanan dan tokoh masyarakat secara khusus pada wilayah-wilayah konflik bersenjata yang dipenuhi masyarakat sipil;
  5. Narasi kekerasan dan informasi yang cenderung provokatif harus mampu diredakan dan diantisipasi oleh berbagai pihak dengan mengedepankan aspek kemanusiaan untuk mencegah meningkatnya dan meluasnya aksi kekerasan dan konflik bersenjata. Dalam situasi seperti ini setiap informasi ‘jangan buru-buru ditelan’ karena sangat penting untuk diklarifikasi atau double check sebab bisa jadi sebagiannya hoax;
  6. Para pihak yang terlibat konflik bersenjata yakni TNI/POLRI dan TPNPB menghentikan konflik guna melindungi masyarakat sipil sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM. Masyarakat sipil tidak boleh menjadi target atas tindakan yang represif&eksesif apalagi dilakukan dengan cara sadis&tidak manusiawi, secara khusus mengakhiri tragedi penyanderaan pilot Susi Air;
  7. Para pihak yang terlibat konflik melakukan jeda kemanusiaan (humanitarian pause) sebagai bentuk penghormatan dan perlindungi terhadap masyarakat sipil. Agar tersedianya ruang publik yang aman serta fasilitas dan layanan publik yang dapat diakses oleh masyarakat sipil. Pemerintah di berbagai tingkatan melakukan peran aktif untuk mewujudkan jeda kemanusiaan serta mendorong dialog yang bermartabat bersama kelompok signifikan di tanah Papua untuk mewujudkan Papua Tanah Damai. (ist)

Jayapura, 21 Juli 2023

[1]https://news.detik.com/berita/d-5197322/mahfud-md-90-lebih-masyarakat-papua-tak-persoalkan-otsus

[2]https://nasional.kompas.com/read/2022/04/26/15331841/mahfud-md-sebut-82-persen-rakyat-papua-inginkan-pemekaran

[3]https://regional.kompas.com/read/2023/07/15/050000178/saat-kerusuhan-pecah-di-dogiyai-papua-tengah-?page=all

[4]https://regional.kompas.com/read/2023/07/02/102759478/kkb-egianus-kogoya-disebut-minta-tebusan-rp-5-miliar-polisi-klaim-uang

[5]https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6814778/kapolda-papua-benarkan-kkb-tak-pernah-minta-uang-rp-5-m-tebus-pilot-susi-air

Berita Terbaru

Artikel Lainnya