>Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM
JAYAPURA-Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua, menyesalkan sidang pembunuhan mutilasi di Mimika yang dilakukan secara terpisah melalui pengadilan militer dan pengadilan negeri Timika.
Lantaran mereka menilai peristiwa ini setidaknya disidangkan melalui peradilan koneksitas dan dilakukan di Timika, karena terdapat penyertaan dalam kualifikasi turut serta atau secara bersama-sama yang melibatkan pelaku berasal dari warga sipil dan berstatus sebagai anggota TNI.
“Artinya, sepanjang tidak ada Keputusan bersama, maka sudah seharusnya disidang di Peradilan umum, tidak ada kompromi atau negosiasi soal ini. Twtapi yang terjadi dalam kasua ini sidangya secara terpisah,” kata Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua saat Jumpa pers dengan Awak media di Jayapura, Senin, (23/1).
Selain itu pihaknya juga menolak dan menyesalkan Pasal Dakwaan Oditur terhadap Mayor Inf. Helmanto Fransiskus Dakhi karena mencantumkan Pasal 480 KUHP yang merupakan pasal dengan ancaman paling rendah sebagai dakwaan primer adapun pasal 340 KUHP(moord/pembunuhan berencana) dengan ancaman pidana yang paling tinggi justru dakwaan subsidair.
Kami melihat bahwa dakwaan ini sangat lemah dan seolah sudah ada skenairo disini karena tuntutan pidana Oditur terhadap Mayor Inf. Helmanto Fransiskus Dakhi selama 4 tahun. Padahal dia (Terdakwa) sendiri telah mengakui dan ikut sebanyak 2 kali untuk mempersiapkan tindak pidana tersebut,” beber Tim koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua.
Selain itu lanjut mereka, uang yang didapat oleh terdakwa bukan dalam bentuk penadahan tetap uang pembagian dari hasil kejahatan pembunuhan berencana. Berdasarkan pembuktian dipersidangan, sesungguhnya tindak pidana pembunuhan berencana sangat terang dan jelas dari keterangan saksi-saksi dan para terdakwa, khususnya pada terdakwa Mayor Inf. Helmanto Fransiskus Dakhi.
Didalam persidangan kan jelas keterangan terdakwa Mayor Inf. Helmanto Fransiskus Dakhi sangat jelas bahwa Mayor Inf. Helmanto Fransiskus Dakhi, adalah otak dari pembuhunan mutilasi ini, karena sebelum kejadian ada pertemuan diantara para pelaku, serta keterangan lain yang menyebut bahwa Mayor Inf. Helmanto Fransiskus Dakhi telah merencankan kasus ini dengan matang. mereka”,
“Artinya para terdakwa mengetahui dan ikut pada persiapan pelaksanaan, meksipun Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi tidak hadir pada saat eksekusi para korban tetapi hadir pada saat persiapan dan dikomunikasikan/dilaporkan oleh salah satu terdakwa bahkan pada saat pembangian uang, setelah terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi barulah uang dapat dibagi-bagi,” ujar Tim koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua.
Selain itu Tim koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua, menyesali sikap dari para terdakwa militer dan sipil pada saat memberikan keterangan, diduga ada yang ditutup tutupi atau tidak memberikan keterangan sesuai fakta, karena yang terjadi saling melempar salah atau tidak mengakui kesalahan.
Hal itu mereka katakan karena melihat dari keterangan terdakwa TNI menyudutkan terdakwa sipil dan sebaliknya. Sehingga mereka mengkhawatirkan dengan kematian salah satu terdakwa militer yakni Kapten Inf. Dominggu Kainama, maka terdakwa yang telah meninggal dunia ini juga akan menjadi target dari pelaku lainnya untuk mengelak dari pertanggungjawaban hukum.
Sehingga dengan melihat fakta yang terungkap dipersidangan yang sementara ini melalui pengadilan militer, pihaknya mendesak agar majelis hakim dapat memeriksa perkara tersebut berpedoman pada dakwaan dan fakta-fakta di persidangan, yang menjelaskan bahwa peristiwa tanggal 22 Agustus 2022 adalah tindak pidana pembunuhan berencana karena para pelaku memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan serta menimbang-nimbang dan kemudian menentukan waktu, tempat, cara atau alat dan lain sebagainya yang akan digunakan untuk pembunuhan tersebut.
Selain itu para pelaku juga mengetahui akibat dari pembunuhan dan menggunakan ataupun cara-cara tertentu sehingga orang lain tidak dengan mudah mengetahui siapa pelaku pembunuhan, bahkan dengan cara memutilasi, membuang ke aliran sungai dan membakar kendaraan sehingga untuk memenuhi keadilan bagi para korban dan keluarga, para pelaku sudah sepantasnya dihukum dengan ancaman pidana maksimal.
“Kami mendesak Komnas HAM RI untuk mengambil langkah proaktif, memantau dan melakukan penyelidikan untuk terkait kemungkinan telah terjadinya pelanggaran HAM Berat pada peristiwa tanggal 22 Agustus 2022,” tegas Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua,” (rel/wen)