Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

LBH Apik: Pelaku Kekerasan Seksual Jangan Diberi Ampun

JAYAPURA-Sepanjang Januari 2022, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak marak terjadi di Kabupaten Merauke. Mulai dari ayah kandung hamili anak sendiri, oknum TNI yang melakukan pemerkosaan, seorang pria hamili siswa, pacar setubuhi kekasihnya hingga persetubuhan adik ipar.

   Dari lima kasus kekerasan seksual yang terjadi di Merauke sepanjang Januari 2022, rata rata pelakunya adalah orang terdekat korban. Direktur LBH Apik Jayapura Nur Aida Duwila menyampaikan, ini sebuah fenoma yang harus segera dihentikan. Artinya, karena memang selama ini masyarakat menganggap bahwa kekerasan seksual itu biasa saja, hingga adanya anggapan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

   Anggapan anggapan yang tidak mendasar ini kata Nona yang membuat tidak adanya kepedulian dan rasa simpati antar sesama, khususnya kepada korban kekerasan seksual, tanpa pernah melihat bagaimana kondisi korban. Terlebih, tidak adanya efek jera yang berat diberikan kepada pelaku sehingga kasus kekerasan seksual ini terus terulang.

  “Para pelaku pelaku kekerasan seksual jangan pernah diakhiri dengan perdamaian, jika terjadi perdamaian. Maka kasusnya seperti saat ini, akan berulang terus. Hingga muncul anggapan tidak apa apa lakukan saja toh kalau ada uang bisa bayar denda,” tutur Nona kepada Cenderawasih Pos, Minggu (23/1).

  Lanjut Nona, tidak adanya pembelajaran berharga untuk pelaku menjalankan hukuman dan juga tidak ada perhatian khusus kepada korban untuk pemulihan psikologi dia membuat kasus kekerasan seksual akan terus berulang.

Baca Juga :  Nahkoda dan ABK Ditemukan Tewas

  Ini menjadi PR berat buat semua orang terutama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Lembaga pemerhati perempuan dan anak. Apa yang harus dibuat dengan maraknya kejadian ini, apalagi pelakunya orang terdekat korban hingga bapak kandung dan guru.

   “Tanpa sadar, proses perdamaian dan tidak adanya proses hukum untuk para pelaku maka memperpanjang deretan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Perempuan dianggap sebagai objek dan tidak setara dengan laki laki, sehingga kasus kekerasan seksual itu dengan mudahnya terjadi,” terangnya.

  Lanjut Nona, maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Papua, khususnya Merauke akibat dari minimnya sosialisasi. Harus ada pemahaman hukum kepada masyarakat bahwa UU perlindungan anak itu ada. Ada proses hukum yang jelas kepada pelaku kekerasan seksual, kekersan seksual itu perbuatan pidana murni bukan dilik aduan.

  “Ini sebuah kejahatan kemanusiaan, proses hukumnya harus jelas dan benar benar dijalankan oleh pelaku. Pelaku kekerasan seksual harus diproses supaya dia paham, jika diselesaikan dengan peremintaan maaf dan denda. Semua itu bullsit, toh kalaupun ada denda yang menikmati itu bukan korban melainkan orang tua dan keluarganya. Tanpa pernah berpikir bagaimana pemulihan psikososial korban, pemulihan kesehatan reproduksinya dan bagaimana masa depan korban. Apakah pernah terpikirkan oleh keluarga bagaimana korban dihujat oleh masyarakat,” tatar Nona.

Baca Juga :  Di Kenyam, Korban Penganiayaan Tewas

  Lanjut Nona, harusnya setiap orang terutama keluarga mampu memposisikan diri sebagai korban, jika tidak bsia memahami kondisi korban minimal punya perhatian dan empati kepada korban.

  Nona mengingatkan para orang tua untuk tidak mentolerir pelaku kejahatan seksual dengan iming iming penyelesaiana secara kekeluargaan, sebab ini jutsru memperpanjang kasus kekersan seksual dan derita si korban.

  “Penderitaan korban tidak berhenti dengan penyelesaian secara kekeluargaan atau memberikan denda, itu tidak akan memperbaiki dan memulihkan korban. Justru merusak hidupnya karena penderitaannya semakin panjang,” kata Nona.

  Nona juga mendorong rancangan UU Tindak Pidana Kekersan Seksual segera disahkan, perempuan butuh dasar hukum ketika terjadi persoalan hukum kepada dirinya.

  Secara terpisah, Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, fenomena ini tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum semata. Tetapi penyelesaiannya melibatkan multi pihak seperti kepolisian, dinas sosial, instansi psikologi dan lainnya.

   “Itu terjadi bisa saja karena faktor lingkungan, ekonomi tapi juga  pengaruh kejiwaan. Merauke ini salah satu daerah yang terus berulang kejadian seperti ini, mestinya instansi terkait sudah harus melakukan upaya sejak lama dalam rangka merespon situasi ini,” kata Frits yang mengaku Komnas HAM sendiri sedang melakukan pengkajian untuk kejadian ini. (fia/tri)

JAYAPURA-Sepanjang Januari 2022, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak marak terjadi di Kabupaten Merauke. Mulai dari ayah kandung hamili anak sendiri, oknum TNI yang melakukan pemerkosaan, seorang pria hamili siswa, pacar setubuhi kekasihnya hingga persetubuhan adik ipar.

   Dari lima kasus kekerasan seksual yang terjadi di Merauke sepanjang Januari 2022, rata rata pelakunya adalah orang terdekat korban. Direktur LBH Apik Jayapura Nur Aida Duwila menyampaikan, ini sebuah fenoma yang harus segera dihentikan. Artinya, karena memang selama ini masyarakat menganggap bahwa kekerasan seksual itu biasa saja, hingga adanya anggapan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

   Anggapan anggapan yang tidak mendasar ini kata Nona yang membuat tidak adanya kepedulian dan rasa simpati antar sesama, khususnya kepada korban kekerasan seksual, tanpa pernah melihat bagaimana kondisi korban. Terlebih, tidak adanya efek jera yang berat diberikan kepada pelaku sehingga kasus kekerasan seksual ini terus terulang.

  “Para pelaku pelaku kekerasan seksual jangan pernah diakhiri dengan perdamaian, jika terjadi perdamaian. Maka kasusnya seperti saat ini, akan berulang terus. Hingga muncul anggapan tidak apa apa lakukan saja toh kalau ada uang bisa bayar denda,” tutur Nona kepada Cenderawasih Pos, Minggu (23/1).

  Lanjut Nona, tidak adanya pembelajaran berharga untuk pelaku menjalankan hukuman dan juga tidak ada perhatian khusus kepada korban untuk pemulihan psikologi dia membuat kasus kekerasan seksual akan terus berulang.

Baca Juga :  Polisi Grebek Dua Titik Penimbunan BBM

  Ini menjadi PR berat buat semua orang terutama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Lembaga pemerhati perempuan dan anak. Apa yang harus dibuat dengan maraknya kejadian ini, apalagi pelakunya orang terdekat korban hingga bapak kandung dan guru.

   “Tanpa sadar, proses perdamaian dan tidak adanya proses hukum untuk para pelaku maka memperpanjang deretan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Perempuan dianggap sebagai objek dan tidak setara dengan laki laki, sehingga kasus kekerasan seksual itu dengan mudahnya terjadi,” terangnya.

  Lanjut Nona, maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Papua, khususnya Merauke akibat dari minimnya sosialisasi. Harus ada pemahaman hukum kepada masyarakat bahwa UU perlindungan anak itu ada. Ada proses hukum yang jelas kepada pelaku kekerasan seksual, kekersan seksual itu perbuatan pidana murni bukan dilik aduan.

  “Ini sebuah kejahatan kemanusiaan, proses hukumnya harus jelas dan benar benar dijalankan oleh pelaku. Pelaku kekerasan seksual harus diproses supaya dia paham, jika diselesaikan dengan peremintaan maaf dan denda. Semua itu bullsit, toh kalaupun ada denda yang menikmati itu bukan korban melainkan orang tua dan keluarganya. Tanpa pernah berpikir bagaimana pemulihan psikososial korban, pemulihan kesehatan reproduksinya dan bagaimana masa depan korban. Apakah pernah terpikirkan oleh keluarga bagaimana korban dihujat oleh masyarakat,” tatar Nona.

Baca Juga :  Patroli Malam Hari Diintensifkan

  Lanjut Nona, harusnya setiap orang terutama keluarga mampu memposisikan diri sebagai korban, jika tidak bsia memahami kondisi korban minimal punya perhatian dan empati kepada korban.

  Nona mengingatkan para orang tua untuk tidak mentolerir pelaku kejahatan seksual dengan iming iming penyelesaiana secara kekeluargaan, sebab ini jutsru memperpanjang kasus kekersan seksual dan derita si korban.

  “Penderitaan korban tidak berhenti dengan penyelesaian secara kekeluargaan atau memberikan denda, itu tidak akan memperbaiki dan memulihkan korban. Justru merusak hidupnya karena penderitaannya semakin panjang,” kata Nona.

  Nona juga mendorong rancangan UU Tindak Pidana Kekersan Seksual segera disahkan, perempuan butuh dasar hukum ketika terjadi persoalan hukum kepada dirinya.

  Secara terpisah, Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, fenomena ini tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum semata. Tetapi penyelesaiannya melibatkan multi pihak seperti kepolisian, dinas sosial, instansi psikologi dan lainnya.

   “Itu terjadi bisa saja karena faktor lingkungan, ekonomi tapi juga  pengaruh kejiwaan. Merauke ini salah satu daerah yang terus berulang kejadian seperti ini, mestinya instansi terkait sudah harus melakukan upaya sejak lama dalam rangka merespon situasi ini,” kata Frits yang mengaku Komnas HAM sendiri sedang melakukan pengkajian untuk kejadian ini. (fia/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya