Sunday, April 28, 2024
30.7 C
Jayapura

Komnas HAM telah Membentuk Tim dan akan Mendatangi Pos Kotis Kogabwilhan III

Sementara itu, TNI dan Polri membantah informasi yang menyatakan Pendeta Yeremia meninggal ditembak oknum prajurit TNI. Berdasar data yang mereka terima, korban meninggal setelah ditembaki oleh KKB. Hal itu ditegaskan Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel Czi IGN Suriastawa. ”Gerombolan (KKB) itu kembali menebar fitnah dengan mengatakan TNI pelaku penembakan,” imbuhnya.

Komnas HAM telah Membentuk Tim dan akan Mendatangi Pos Kotis Kogabwilhan III

Suriastawa memastikan bahwa TNI dan Polri hadir di Intan Jaya untuk melindungi masyarakat. Bukan untuk menebar teror kepada masyarakat. Aksi KKB sepanjang pekan lalu menjadi salah satu bukti bahwa KKB tidak hanya menyasar prajurit TNI maupun personel Polri. Mereka turut menyerang masyarakat sipil yang tidak bersalah. ”Saya tegaskan bahwa itu semua fitnah keji dari KKB,” ungkap dia.

Sementara itu, rentetan peristiwa kontak tembak antara aparat dan Kelompok Sipil Bersenjata di  Intan Jaya sejak seminggu belakangan ini menyita perhatian banyak orang. Apalagi setelah meninggalnya tokoh agama Pdt Yeremia Zanambani akibat ditembak di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya,  Sabtu (19/9)

Senin (21/9). Sekretaris II Dewan Adat Papua dan masyarakat Intan Jaya mendatangi Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua untuk meminta kepastian kasus yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua Frits Ramandey  mengatakan, Komnas HAM telah mendapat satu laporan yang bersumber dari Intan Jaya dan satu laporan  pengaduan secara langsung ke komnas HAM. Dari kedua laporan tersebut, menjelaskan tentang kematian Pdt Yeremia akibat ditembak.

“Dari penjelasan yang kami terima, ada rentetatan kasus yang terjadi di Intan Jaya sejak tahun 2019. Bahkan kondisi masyarakat di  Intan Jaya panik  dengan adanya beberapa kasus kontak tembak,” ucap Frits kepada Cenderawasih Pos, Senin (21/9).

Baca Juga :  Warga Waropen Lebih Dulu Bertolak

Frits menjelaskan, dari pertemuan Komnas HAM dengan kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Intan Jaya, mereka mendesak Komnas HAM, Polda Papua, Kodam XVII/Cenderawasih, DPR Papua dan Gubernur Papua segera mengirim tim investigasi untuk mengungkap kasus tertembaknya Pdt Yeremia hingga meninggal dunia.

“Kasus penembakan terhadap Pdt. Yeremia cukup membingungkan bagi Komnas HAM, sehingga kami belum bisa mengeluarkan klarifiksi. Karena  ada versi kelompok masyarakat menyebut diduga pendeta ditembak satuan TNI, sementara versi TNI mengeluarkan rilisnya penembakan dilakukan sipil bersenjata,” paparnya.

Terkait dengan hal itu, Komnas HAM telah membentuk tim dan akan mendatangi Pos Kotis Kogabwilhan III yang berada di Timika untuk meminta klarifikasi terhadap ditembaknya Pdt Yeremia dan kasus-kasus lainnya di Intan Jaya.

Selain membentuk tim diinternal Komnas HAM sendiri, Frits juga meminta perlu adanya tim gabungan yang terdiri dari Kodam, Polda Papua, DPR Papua dan Gubernur serta Pemda setempat.

“Tim gabungan penting sehingga laporannya berimbang. Saya minta Kapolda, Pangdam, DPR Papua dan Gubernur memberi respon,” pintanya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga meminta Bupati Intan Jaya segera mengambil tindakan dalam kewenangannya sebagai penguasa daerah. Hal ini untuk menghentikan kekerasan yang berkepanjangan di daerahnya.

Frits Ramandey mengingatkan Bupati Intan Jaya dalam situasi genting seperti saat ini, tidak sering meninggalkan tempat tugas. Karena bisa dibilang bupati melakukan pembiaran dan bisa berhubungan dengan hukum dan HAM. 

Baca Juga :  Keluarga Pratu Hiron Paragai Akan Tuntut Secara Adat

“Jika seperti ini bupati diduga melakukan pembiaran terjadinya kekerasan di wilayahnya. Jangan membiarkan kekerasan yang berkelanjutan di Intan Jaya. Bupati sebagai penanggung jawab daerah tersebut,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Senin (21/9).

Menurut Frits, dari laporan yang diterima Komnas HAM, konflik kekerasan yang terjadi di Intan Jaya sejak sebulan terakhir, sehingga Komnas HAM membutuhkan kepala daerah yang bisa megambil peran aktif untuk mengkomunikasikannya kepada pihak pengambil kebijakan strategis  untuk menghentikan kekerasan.

“Dalam situasi seperti ini, kepala daerah jangan meninggalkan daerahnya dan berada di tempat lain,”  tegasnya.

Lanjutnya, jika bupati sedang tidak berada di tempat, DPRD seharusnya bisa memanggil yang bersangkutan dengan menggunakan kewenangannya sebagai DPR yaitu  mempertanyakan kenapa yang bersangkutan tidak ada di tempat. Sementara ada kejadian kekerasan yang terus berulang.

“Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat yang ada di daerah harus segera memanggil Bupati Intan Jaya untuk segera  memberi keterangan kenapa ini terjadi,” paparnya.

Menurut Frits, konflik kekerasan bersenjata jika terus dibiarkan antara  KSB dan TNI-Polri akan melahirkan kekerasan baru. Untuk menghentikan ini, dibutuhkan kehadiran otoritas sipil untuk bisa mengambil kebijakan legisi dan menghentikan kekerasan yang berkelanjutan.

“Dalam perspektif HAM, hak atas rasa aman  menjadi tanggung jawab negara yang diwakili oleh unsur negara. Namun jika ini dibiarkan, TNI-Polri yang berhadapan dengan kelompok sipil bersenjata, maka ini akan berkepanjangan. Pemerintah daerah harus memberikan teguran,” kata Frits.

Sementara itu, TNI dan Polri membantah informasi yang menyatakan Pendeta Yeremia meninggal ditembak oknum prajurit TNI. Berdasar data yang mereka terima, korban meninggal setelah ditembaki oleh KKB. Hal itu ditegaskan Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel Czi IGN Suriastawa. ”Gerombolan (KKB) itu kembali menebar fitnah dengan mengatakan TNI pelaku penembakan,” imbuhnya.

Komnas HAM telah Membentuk Tim dan akan Mendatangi Pos Kotis Kogabwilhan III

Suriastawa memastikan bahwa TNI dan Polri hadir di Intan Jaya untuk melindungi masyarakat. Bukan untuk menebar teror kepada masyarakat. Aksi KKB sepanjang pekan lalu menjadi salah satu bukti bahwa KKB tidak hanya menyasar prajurit TNI maupun personel Polri. Mereka turut menyerang masyarakat sipil yang tidak bersalah. ”Saya tegaskan bahwa itu semua fitnah keji dari KKB,” ungkap dia.

Sementara itu, rentetan peristiwa kontak tembak antara aparat dan Kelompok Sipil Bersenjata di  Intan Jaya sejak seminggu belakangan ini menyita perhatian banyak orang. Apalagi setelah meninggalnya tokoh agama Pdt Yeremia Zanambani akibat ditembak di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya,  Sabtu (19/9)

Senin (21/9). Sekretaris II Dewan Adat Papua dan masyarakat Intan Jaya mendatangi Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua untuk meminta kepastian kasus yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua Frits Ramandey  mengatakan, Komnas HAM telah mendapat satu laporan yang bersumber dari Intan Jaya dan satu laporan  pengaduan secara langsung ke komnas HAM. Dari kedua laporan tersebut, menjelaskan tentang kematian Pdt Yeremia akibat ditembak.

“Dari penjelasan yang kami terima, ada rentetatan kasus yang terjadi di Intan Jaya sejak tahun 2019. Bahkan kondisi masyarakat di  Intan Jaya panik  dengan adanya beberapa kasus kontak tembak,” ucap Frits kepada Cenderawasih Pos, Senin (21/9).

Baca Juga :  Menkop dan UKM Seriusi Ekonomi dan Ketahanan Pangan di Papua

Frits menjelaskan, dari pertemuan Komnas HAM dengan kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Intan Jaya, mereka mendesak Komnas HAM, Polda Papua, Kodam XVII/Cenderawasih, DPR Papua dan Gubernur Papua segera mengirim tim investigasi untuk mengungkap kasus tertembaknya Pdt Yeremia hingga meninggal dunia.

“Kasus penembakan terhadap Pdt. Yeremia cukup membingungkan bagi Komnas HAM, sehingga kami belum bisa mengeluarkan klarifiksi. Karena  ada versi kelompok masyarakat menyebut diduga pendeta ditembak satuan TNI, sementara versi TNI mengeluarkan rilisnya penembakan dilakukan sipil bersenjata,” paparnya.

Terkait dengan hal itu, Komnas HAM telah membentuk tim dan akan mendatangi Pos Kotis Kogabwilhan III yang berada di Timika untuk meminta klarifikasi terhadap ditembaknya Pdt Yeremia dan kasus-kasus lainnya di Intan Jaya.

Selain membentuk tim diinternal Komnas HAM sendiri, Frits juga meminta perlu adanya tim gabungan yang terdiri dari Kodam, Polda Papua, DPR Papua dan Gubernur serta Pemda setempat.

“Tim gabungan penting sehingga laporannya berimbang. Saya minta Kapolda, Pangdam, DPR Papua dan Gubernur memberi respon,” pintanya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga meminta Bupati Intan Jaya segera mengambil tindakan dalam kewenangannya sebagai penguasa daerah. Hal ini untuk menghentikan kekerasan yang berkepanjangan di daerahnya.

Frits Ramandey mengingatkan Bupati Intan Jaya dalam situasi genting seperti saat ini, tidak sering meninggalkan tempat tugas. Karena bisa dibilang bupati melakukan pembiaran dan bisa berhubungan dengan hukum dan HAM. 

Baca Juga :  Sidang Renja Memanas, Ketua DPRD Kabupaten Jayapura Walk Out

“Jika seperti ini bupati diduga melakukan pembiaran terjadinya kekerasan di wilayahnya. Jangan membiarkan kekerasan yang berkelanjutan di Intan Jaya. Bupati sebagai penanggung jawab daerah tersebut,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Senin (21/9).

Menurut Frits, dari laporan yang diterima Komnas HAM, konflik kekerasan yang terjadi di Intan Jaya sejak sebulan terakhir, sehingga Komnas HAM membutuhkan kepala daerah yang bisa megambil peran aktif untuk mengkomunikasikannya kepada pihak pengambil kebijakan strategis  untuk menghentikan kekerasan.

“Dalam situasi seperti ini, kepala daerah jangan meninggalkan daerahnya dan berada di tempat lain,”  tegasnya.

Lanjutnya, jika bupati sedang tidak berada di tempat, DPRD seharusnya bisa memanggil yang bersangkutan dengan menggunakan kewenangannya sebagai DPR yaitu  mempertanyakan kenapa yang bersangkutan tidak ada di tempat. Sementara ada kejadian kekerasan yang terus berulang.

“Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat yang ada di daerah harus segera memanggil Bupati Intan Jaya untuk segera  memberi keterangan kenapa ini terjadi,” paparnya.

Menurut Frits, konflik kekerasan bersenjata jika terus dibiarkan antara  KSB dan TNI-Polri akan melahirkan kekerasan baru. Untuk menghentikan ini, dibutuhkan kehadiran otoritas sipil untuk bisa mengambil kebijakan legisi dan menghentikan kekerasan yang berkelanjutan.

“Dalam perspektif HAM, hak atas rasa aman  menjadi tanggung jawab negara yang diwakili oleh unsur negara. Namun jika ini dibiarkan, TNI-Polri yang berhadapan dengan kelompok sipil bersenjata, maka ini akan berkepanjangan. Pemerintah daerah harus memberikan teguran,” kata Frits.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya