Friday, December 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Ketua MRP Sesalkan Pertemuan Presiden dengan Sejumlah Anggota MRP

JAYAPURA- Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak pemerintah untuk menerapkan partisipasi orang asli Papua (OAP)  yang bermakna terutama terkait kebijakan perubahan kedua undang-undang otonomi khusus dan rencana tiga RUU DOB di Papua. Melalui rilisnya yang diterima Cenderawasih Pos, Sabtu (21/5), Koalisi menilai pertemuan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 20 Mei 2022 justru menyiratkan partisipasi yang jauh dari bermakna, bahkan cenderung manipulatif. Koalisi merujuk siaran pers Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 20 Mei 2022, yang resmi membantah dukungan MRP atas UU Otsus dan RUU DOB. Ketua MRP Timotius Murib menegaskan sikap resmi mereka saat menemui Presiden pada 25 April lalu bahwa orang asli Papua keberatan atas UU Otsus dan DOB. MRP melayangkan gugatan terhadap revisi UU Otsus Papua kepada Mahkamah Konstitusi. MRP menghargai komitmen Presiden untuk patuh pada putusan MK dan janji tindaklanjut presiden berkunjung ke kantor MRP di Jayapura. “MRP menyesalkan pertemuan Presiden dengan sejumlah oknum anggota MRP yang diam-diam hadir tanpa memiliki mandat surat tugas MRP namun mengatasnamakan rakyat Papua untuk mendukung revisi UU Otsus Papua serta pembentukan DOB di Papua,” kata Ketua MRP Papua Thimotius Murib, Minggu, (22/5). Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Anum Siregar menilai pertemuan itu sebagai upaya politik pecah belah pemerintah pusat terhadap sikap rakyat Papua. “Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan pecah belah. Kami tidak mau terjebak apalagi memperuncing ketegangan internal anggota MRP karena itu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mengatur pertemuan itu. Kami menolak politik pecah belah elite-elite pusat atas Papua. Presiden justru jadi ingkar janji atas pertemuan sebelumnya, yaitu menghormati putusan MK,” kata Anum. Sementara aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Muhammad Azka Fahriza menilai pertemuan Istana Bogor sebagai bentuk partisipasi kebijakan yang manipulatif. “Ini jelas manipulatif. Ketua MRP telah memberikan klarifikasi bahwa tidak benar MRP mendukung UU Otsus Jilid II maupun DOB. Delegasi MRP dalam pertemuan itu jelas ilegal. Memalukan sekali mereka yang datang ini. Seperti menjual tanah dan rakyat Papua dengan harga yang murah. Publik dan media harus kritis,” kata Azka.
Baca Juga :  Libatkan 16 Pengusaha Pada Gerakan Pangan Murah
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengingatkan, rencana DOB mendapat protes luas warga Papua. Salah satunya pada 10 Mei 2022, orang Papua menggelar protes damai di berbagai wilayah di Papua dan di luar Papua. “Atas protes ini, aparat gabungan TNI dan Polri mengerahkan kekuatan berlebihan untuk menghadapi pengunjuk rasa. Bahkan, tujuh orang aktivis yang berkumpul di kantor KontraS Papua sempat ditangkap, dijerat UU ITE. Meski dibebaskan, insiden itu menunjukkan negara tidak mau mendengar masyarakat yang menolak DOB. Tindakan tersebut melanggar hak atas kebebasan berekspresi,” kata Nurina. Koalisi kembali mendesak agar rencana DOB dikonsultasikan dengan orang asli Papua, dan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Menurut koalisi, konsultasi bermakna harus memenuhi enam syarat. Pertama, dimulai sejak dini pada tahap perencanaan dan persiapan proyek dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam seluruh siklus proyek. Kedua, mengungkap informasi relevan dan memadai tepat pada waktunya yang dipahami dan mudah dijangkau penduduk yang terkena dampak. Ketiga, dilaksanakan dalam suasana bebas intimidasi atau pemaksaan. Keempat, bersifat inklusif dan peka gender, dan sesuai kelompok-kelompok yang rentan. Keenam, memungkinkan dimasukkannya semua sikap penduduk yang terdampak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perancangan proyek, langkah mitigasi, pembagian hasil dan peluang pembangunan, serta masalah di tingkat pelaksanaan. Sementara itu, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Ronald Tapilatu juga mempertanyakan pertemuan tersebut. Dia menyarankan agar Presiden sebaiknya bersikap bijak dalam mempertimbangkan dualisme tolak terima kebijakan DOB Papua. “Perlu kehati-hatian karena pihak yang menolak dan menerima punya pertimbangan sendiri yang berdampak langsung terhadap kehidupan penduduk asli Papua itu sendiri. Sebaiknya perbedaan pendapat ini difasilitasi dalam dialog bersama, yang mendudukkan dua pihak untuk mendapatkan jalan tengah. Tidak sebaliknya membuka peluang konflik sesama Papua. Apalagi kita semua sedang menanti keputusan Mahkamah Konstitusi atas masalah revisi kedua UU Otsus yang diajukan oleh MRP dan MRPB,” Katanya.
Baca Juga :  Resmi Ditutup, Konas GMKI Tahun 2022 Hasilkan Pokok-Pokok Pikiran 
Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy menunjuk Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan itu menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005, jadi harus dipatuhi. Bahkan komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan mengenai ketentuan ini dengan memperluas urusan publik ke ranah pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat internasional, nasional, dan daerah,” kata Andi. Dalam catatan Koalisi, Pasal 19 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat juga telah menyebutkan bahwa Negara harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan itikad baik dengan masyarakat adat yang terdampak melalui lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan (PADIATAPA) sebelum mengadopsi dan menerapkan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat adat. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 11/2005 – serta Komentar Umum No. 21 terhadap Pasal 15 Kovenan menyatakan Negara harus menghormati PADIATAPA dari masyarakat adat sehubungan dengan semua hal yang dapat memengaruhi hak-hak mereka. Oleh karena itu Koalisi mendesak pemerintah untuk hormati konsultasi dengan melakukan empat hal. Pertama, menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna dalam mengambil setiap kebijakan terkait Papua. Kedua, menunda pembentukan DOB sampai partisipasi bermakna dari masyarakat Papua tercapai. Ketiga, mendengarkan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat orang asli Papua tentang UU Otsus dan pemekaran DOB, bukan hanya mereka yang mendukung kebijakan pemerintah. Terakhir, menghormati hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi orang asli Papua. Perlu diketahui bahwa Koalisi Kemanusiaan Papua adalah kemitraan sukarela yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Imparsial, ELSAM Jakarta, Kontras, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute, PBHI, dan peneliti Cahyo Pamungkas.(oel/nat)
JAYAPURA- Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak pemerintah untuk menerapkan partisipasi orang asli Papua (OAP)  yang bermakna terutama terkait kebijakan perubahan kedua undang-undang otonomi khusus dan rencana tiga RUU DOB di Papua. Melalui rilisnya yang diterima Cenderawasih Pos, Sabtu (21/5), Koalisi menilai pertemuan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 20 Mei 2022 justru menyiratkan partisipasi yang jauh dari bermakna, bahkan cenderung manipulatif. Koalisi merujuk siaran pers Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 20 Mei 2022, yang resmi membantah dukungan MRP atas UU Otsus dan RUU DOB. Ketua MRP Timotius Murib menegaskan sikap resmi mereka saat menemui Presiden pada 25 April lalu bahwa orang asli Papua keberatan atas UU Otsus dan DOB. MRP melayangkan gugatan terhadap revisi UU Otsus Papua kepada Mahkamah Konstitusi. MRP menghargai komitmen Presiden untuk patuh pada putusan MK dan janji tindaklanjut presiden berkunjung ke kantor MRP di Jayapura. “MRP menyesalkan pertemuan Presiden dengan sejumlah oknum anggota MRP yang diam-diam hadir tanpa memiliki mandat surat tugas MRP namun mengatasnamakan rakyat Papua untuk mendukung revisi UU Otsus Papua serta pembentukan DOB di Papua,” kata Ketua MRP Papua Thimotius Murib, Minggu, (22/5). Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Anum Siregar menilai pertemuan itu sebagai upaya politik pecah belah pemerintah pusat terhadap sikap rakyat Papua. “Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan pecah belah. Kami tidak mau terjebak apalagi memperuncing ketegangan internal anggota MRP karena itu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mengatur pertemuan itu. Kami menolak politik pecah belah elite-elite pusat atas Papua. Presiden justru jadi ingkar janji atas pertemuan sebelumnya, yaitu menghormati putusan MK,” kata Anum. Sementara aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Muhammad Azka Fahriza menilai pertemuan Istana Bogor sebagai bentuk partisipasi kebijakan yang manipulatif. “Ini jelas manipulatif. Ketua MRP telah memberikan klarifikasi bahwa tidak benar MRP mendukung UU Otsus Jilid II maupun DOB. Delegasi MRP dalam pertemuan itu jelas ilegal. Memalukan sekali mereka yang datang ini. Seperti menjual tanah dan rakyat Papua dengan harga yang murah. Publik dan media harus kritis,” kata Azka.
Baca Juga :  Kondisi Victor Yeimo Belum Membaik
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengingatkan, rencana DOB mendapat protes luas warga Papua. Salah satunya pada 10 Mei 2022, orang Papua menggelar protes damai di berbagai wilayah di Papua dan di luar Papua. “Atas protes ini, aparat gabungan TNI dan Polri mengerahkan kekuatan berlebihan untuk menghadapi pengunjuk rasa. Bahkan, tujuh orang aktivis yang berkumpul di kantor KontraS Papua sempat ditangkap, dijerat UU ITE. Meski dibebaskan, insiden itu menunjukkan negara tidak mau mendengar masyarakat yang menolak DOB. Tindakan tersebut melanggar hak atas kebebasan berekspresi,” kata Nurina. Koalisi kembali mendesak agar rencana DOB dikonsultasikan dengan orang asli Papua, dan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Menurut koalisi, konsultasi bermakna harus memenuhi enam syarat. Pertama, dimulai sejak dini pada tahap perencanaan dan persiapan proyek dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam seluruh siklus proyek. Kedua, mengungkap informasi relevan dan memadai tepat pada waktunya yang dipahami dan mudah dijangkau penduduk yang terkena dampak. Ketiga, dilaksanakan dalam suasana bebas intimidasi atau pemaksaan. Keempat, bersifat inklusif dan peka gender, dan sesuai kelompok-kelompok yang rentan. Keenam, memungkinkan dimasukkannya semua sikap penduduk yang terdampak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perancangan proyek, langkah mitigasi, pembagian hasil dan peluang pembangunan, serta masalah di tingkat pelaksanaan. Sementara itu, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Ronald Tapilatu juga mempertanyakan pertemuan tersebut. Dia menyarankan agar Presiden sebaiknya bersikap bijak dalam mempertimbangkan dualisme tolak terima kebijakan DOB Papua. “Perlu kehati-hatian karena pihak yang menolak dan menerima punya pertimbangan sendiri yang berdampak langsung terhadap kehidupan penduduk asli Papua itu sendiri. Sebaiknya perbedaan pendapat ini difasilitasi dalam dialog bersama, yang mendudukkan dua pihak untuk mendapatkan jalan tengah. Tidak sebaliknya membuka peluang konflik sesama Papua. Apalagi kita semua sedang menanti keputusan Mahkamah Konstitusi atas masalah revisi kedua UU Otsus yang diajukan oleh MRP dan MRPB,” Katanya.
Baca Juga :  Jacksen Masih Ingin Tambah Amunisi
Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy menunjuk Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan itu menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005, jadi harus dipatuhi. Bahkan komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan mengenai ketentuan ini dengan memperluas urusan publik ke ranah pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat internasional, nasional, dan daerah,” kata Andi. Dalam catatan Koalisi, Pasal 19 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat juga telah menyebutkan bahwa Negara harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan itikad baik dengan masyarakat adat yang terdampak melalui lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan (PADIATAPA) sebelum mengadopsi dan menerapkan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat adat. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 11/2005 – serta Komentar Umum No. 21 terhadap Pasal 15 Kovenan menyatakan Negara harus menghormati PADIATAPA dari masyarakat adat sehubungan dengan semua hal yang dapat memengaruhi hak-hak mereka. Oleh karena itu Koalisi mendesak pemerintah untuk hormati konsultasi dengan melakukan empat hal. Pertama, menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna dalam mengambil setiap kebijakan terkait Papua. Kedua, menunda pembentukan DOB sampai partisipasi bermakna dari masyarakat Papua tercapai. Ketiga, mendengarkan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat orang asli Papua tentang UU Otsus dan pemekaran DOB, bukan hanya mereka yang mendukung kebijakan pemerintah. Terakhir, menghormati hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi orang asli Papua. Perlu diketahui bahwa Koalisi Kemanusiaan Papua adalah kemitraan sukarela yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Imparsial, ELSAM Jakarta, Kontras, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute, PBHI, dan peneliti Cahyo Pamungkas.(oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya