Friday, November 22, 2024
34.7 C
Jayapura

Saksi Pemprov  Akui Perubahan UU No 2 Tahun 2021 Tidak Aspiratif Ke MK

JAYAPURA – Sesuai dengan jadwal Mahkamah Konstitusi untuk menggelar sidang lanjutan keempat terkait perkara Nomor 47/ PU – XIX/2021 tentang pengujian materiil undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, pemerintah provinsi Papua melalu saksi fakta mengakui bahwa perubahan undang-undang nomor 2 tahun 2021 dinilai tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Papua dan tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua.

Dari keterangan fakta pemerintah provinsi terkait perkara Nomor 47/ PU – XIX/2021 tentang pengujian materiil undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagai Saksi Fakta dari Pemerintah Provinsi Papua Dr Muhammad Ridwan Rumasukun, SE, MM mengatakan bahwa  pada Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3): Sesuai ketentuan pada bagian a. UUD 1945, Pasal 1 ayat (2), Kedaulatan berada di tangan rakyat,dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar: Pasal L ayat (3), Negera Indonesia adalah negara hukum: Pasal 18 B, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionilnya, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang: Pasal 28 I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. dan bagian b. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua: Pasal 74 : Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undangundang ini.

“Pasal 76  menjelaskan Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan dimasa datang,” kata Rumasukun di Hotel Horison Ultimate Enteop saat menjelaskan kepada MK melalui daring, Selasa, (22/2).

Sekda Provinsi Papua itu juga mengatakan, sementara terkait dengan perubahan Pasal 76 ayat (1), dimana terdapat penambahan kata “dapat” yaitu … dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP… Artinya pemekaran daerah provinsi yang sebelumnya harus/wajib melalui persetujuan MRP menjadi tidak mutlak. Selanjutnya UU No. 2 Tahun 2021 telah menambah kewenangan Pemerintah dan DPR RI dalam pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota, tanpa melalui tahapan persiapan dan jika dikaitkan dengan ayat (1) tanpa  persetujuan MRP. Terhadap perubahan Pasal 76, pihaknya berpendapat bahwa penambahan kata “dapat”, jika prosesnya tidak mengikutsertakan MRP dan DPRP, maka hal ini mengindikasikan Pemerintah tidak lagi memperhatikan aspirasi rakyat / orang asli Papua yang di perankan oleh MRP dan DPRP, bahkan tidak juga mendengar pendapat Pemerintah Provinsi.

“Bahkan pemekaran daerah tidak lagi melalui tahapan persiapan. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita otonomi khusus yang terkandung dalam frasa setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan dimasa datang. Untuk itu jika Pemerintah dan DPR melakukan pemekaran tanpa melalui lembaga2 kekhususan otonomi khusus Papua : MRP, DPRP, bahkan Pemerintah Provinsi Papua, Tindakan/pasal ini bertentangan dengan Pasal 18 B dikaitkan dengan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 karena tidak lagi menghormati aspirasi dari kesatuan sosial budaya masyarakat adat dan hak-hak masyarakat tradisional di Papua,” katanya.

Sementara pada  Pasal 77 Terkait dengan pengujian norma dengan frasa untuk Usul perubahan atas undang-undang ini dikatakan “dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Kami berpendapat bahwa meskipun pemerintah dan DPR memiliki kewenangan dalam pembuatan suatu undang-undang, tetapi untuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, proses dan prosedurnya serta subtansi dalam membuat atau merubah UU Otonomi Khusus Papua haruslah dilakukan dengan memperhatikan alasan dan latarbelakang dibentuknya UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diatur dalam , Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan  Negara Tahun 1999-2004, pada Bab IV Huruf G .. Mengenai Pembangunan Daerah angka 2 antara lain memuat kebijakan otonomi khusus bagi Aceh dan Irian Jaya. Dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan sungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut yaitu mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-undang, dan menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat,” bebernya.

Ia menambahkan dalam salah satu bagian dari Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Bagian Ill mengenai Rekomendasi, mengamanatkan, Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Baca Juga :  Singgung Pengelolaan Kuangan 1,57 Triliun Tanpa Persetujuan DPRP dan Mendagri

“Dengan demikian, perubahan UU No. 21 Tahun 2001 haruslah bersifat aspiratif masyarakat daerah. Harus ada proses meminta pendapat masyarakat Papua, sebagaimana ketika untuk pertama kali membentuk UU Nomor 21 Tahun 2001. Tugas dan peran ini telah diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 yang secara konstitusional dilakukan oleh MRP dan DPRP. Gubernur Papua telah menyerahkan proses meminta pendapat rakyat Papua kepada MRP. MRP telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), tetapi kurang mendapat dukungan dan respons positif dari Pemerintah, DPR dan berbagai pihak lainnya. Jika proses perubahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua tidak melalui proses meminta pendapat/aspirasi masyarakat daerah, maka ini adalah suatu kekeliruan, yang cenderung tertentangan dengan konstitusi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP)  Timotius Murib mengatakan dalam sidang ke-4 Mahkama Konstitusi dimana sesuai permintaan Mahkamah Konstitusi untuk penyampaian saksi fakta dari Pemerintah Provinsi, maka majelis rakyat Papua menuntut kepada Gubernur sehingga gubernur provinsi Papua Lukas Enembe menugaskan tiga pejabat yaitu itu Sekda Provinsi Papua Dr Muhammad Ridqan Rumasukun SE. MM., Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua, Dr. Drs. Muhammad Musa’ad M.Si., Plt. Asisten Sekretaris Daerah Bidang Umum Provinsi Papua,

Yergemes Derek Hegemur SH., MH.,  terkait dengan uji material yang diajukan majelis rakyat Papua terkait perubahan undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan perubahan undang-undang nomor 2 tahun 2021.

Dikatakan, di dalam undang-undang tersebut ada 19 pasal yang diubah dalam amandemen setelah majelis rakyat Papua mempelajari ada 8 pasal yang dinilai benar-benar berpotensi merugikan hak – Hak  orang asli Papua, dan dalam menyampaikan saksi fakta Pihak yang memberikan apresiasi kepada gubernur provinsi Papua karena para saksi menyampaikan kesaksian secara terbuka. “Benar-benar mereka sampaikan secara terang benderang apa yang dialami dan dirasakan oleh mereka sendiri pemerintah Sebagai penyelenggara, di era otonomi khusus ini,”tuturnya.

ementara pada tanggal 10 Maret nantinya akan ada sidang berikutnya yang ke- 5 MK dengan agenda mendengar saksi fakta dari Majelis Rakyat Papua. Dimana pihaknya telah menunjuk tiga orang untuk menyampaikan kesaksian MRP. terkait kegiatan MRP yang menggelar rapat dengar pendapat, tahun 2020 kemarin dan ini akan memberikan bobot untuk kesaksian-kesaksian sebelumnya. “Kami berharap majelis hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan yang sebenar-benarnya untuk melindungi hak-hak dasar orang asli Papua, yang kita rindukan,” ujarnya.

Dia juga mengatakan langkah yang dilakukan oleh MRP ini merupakan langkah konstitusi uji materil sesuai aturan yang berlaku dan tidak melanggar hukum. Ini dilakukan agar mengembalikan roh dan marwah dari otonomi khusus ini untuk ada di masyarakat asli Papua.

“Dimana ada gelombang semangat aspirasi kemerdekaan sehingga hal itu dituangkan oleh para pendahulu dalam Undang-Undang 21, sehingga jika melakukan perubahan pun jangan sampai menghilangkan roh itu, atau aspirasi maayarakat Papua lahirnya Otsus, dan MRP menilai Undang-Undang 21 itu lebih baik terutama di dalam ada 24 kewenagan dan untuk undang-undang perubahan otonomi khusus justru kewenangan dan kekuasaan itu tidak ada sama sekali, hilang dan ini jelas sengaja dihilangkan. Ini membuktikan bahwa apa yang disampaikan rakyat Papua itu benar bahwa otonomi khusus sudah tidak berlaku di Papua atau diistilahkan, otsus sudah jadi jenazah. Jadi kami benar-benar melihat undang-undang perubahan otonomi khusus ini benar-benar tidak memihak kepada orang asli Papua,” tegasnya.

Untuk itu, dia berharap ke depan Mahkamah Konstitusi dapat mengambil keputusan secara bijak dengan melihat kesaksian dari saksi ahli dan saksi fakta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Papua.

Ditambahkan bahwa dalam kesaksian saksi fakta hal yang menonjol adalah soal filosofi lahirnya Undang-Undang 21. Dimana jelas bahwa Undang-Undang 21 ini bukan hadiah atau program kerja dari pemerintah pusat, tetapi murni dari hasil perjuangan masyarakat Papua.

“Ini benar-benar hasil dari suatu perjuangan darah dan air mata orang asli Papua sehingga roh itu jangan dihilangkan dari perubahan yang dilakukan pemerintah pusat tetapi harus dibawa terus meski ada perubahan, Dan inilah kesaksian mereka (Pemerintah Provinsi) yang lebih mendahulukan filosofi dari lahirnya Undang-Undang 21 dan kami yakin Mahkamah Konstitusi sangat paham keberadaan undang-undang otonomi khusus,” tutupnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta,  Zainal Arifin Mochtar hadir menjadi ahli pemohon lainnya. Zainal menjelaskan mengenai frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebenarnya menjadi sesuatu yang netral. Namun begitu dilekatkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6A huruf (a) UU Otsus Papua, maka membuat multitafsir yang sangat luar biasa dan berpotensi untuk menimbulkan ketidakpastian hukum.

Baca Juga :  KPU: Rp 155 M untuk Biayai Pilkada Papua

Menurut Zainal, apabila sesuai dengan peratuan perundang-undangan berarti jenis peraturan perundang-undangannya bisa apa saja. Kemudian, apabila membahas mengenai otonomi khusus, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat didasarkan pada aspirasi daerah lebih harus diperhatikan. Ia mengatakan,  peraturan tersebut jauh lebih baik dan lebih spesifik diatur lebih lanjut. Selain itu, sambungnya, UU ini harus dikaitkan dengan konteks kebijakan mulai dari konsep politik hukum, naskah akademik, pembahasan bahkan dengan UU sebelumnya.

Sekedar diketahui dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).

Pemohon menilai adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Di live daring terpisah kepada wartawan Amnesty Internasional Indonesia menilai perubahan kedua undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang disahkan sepihak oleh negara (Jakarta) banyak mengandung masalah cacat formal prosedural dan mengandung cacat material subtansial.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasiol Indonesia menegaskan rapat-rapat yang sekarang mulai intensif digelar oleh Wakil Presiden RI K.H. Ma’ruf Amin harusnya mempertimbangkan proses persidangan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan yang baru terkait Papua.

“Wapres harus menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan baru atau tindakan-tindakan yang dilakukan seperti pemekaran wilayah (DOB), karena berdasarkan UU Otsus amandemen kedua yang sebenarnya banyak mengandung masalah,” kata Usman.

Ia menegaskan, Perubahan kedua UU Otsus Papua banyak mengandung masalah baik syarat formal yang artinya mengandung cacat formal procedural dan mengandung cacat material subtansial. “Jadi isinya bermasalah, prosesnya juga bermasalah, karena itu kita mendesak kepada pemerintah pusat di Jakarta untuk menghormati proses persidangan di MK sampai adanya keputusan dalam waktu 2 – 3 bulan kedepan,” tegas Usman.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib mengatakan Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum. (oel/nat)

JAYAPURA – Sesuai dengan jadwal Mahkamah Konstitusi untuk menggelar sidang lanjutan keempat terkait perkara Nomor 47/ PU – XIX/2021 tentang pengujian materiil undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, pemerintah provinsi Papua melalu saksi fakta mengakui bahwa perubahan undang-undang nomor 2 tahun 2021 dinilai tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Papua dan tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua.

Dari keterangan fakta pemerintah provinsi terkait perkara Nomor 47/ PU – XIX/2021 tentang pengujian materiil undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagai Saksi Fakta dari Pemerintah Provinsi Papua Dr Muhammad Ridwan Rumasukun, SE, MM mengatakan bahwa  pada Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3): Sesuai ketentuan pada bagian a. UUD 1945, Pasal 1 ayat (2), Kedaulatan berada di tangan rakyat,dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar: Pasal L ayat (3), Negera Indonesia adalah negara hukum: Pasal 18 B, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionilnya, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang: Pasal 28 I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. dan bagian b. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua: Pasal 74 : Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undangundang ini.

“Pasal 76  menjelaskan Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan dimasa datang,” kata Rumasukun di Hotel Horison Ultimate Enteop saat menjelaskan kepada MK melalui daring, Selasa, (22/2).

Sekda Provinsi Papua itu juga mengatakan, sementara terkait dengan perubahan Pasal 76 ayat (1), dimana terdapat penambahan kata “dapat” yaitu … dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP… Artinya pemekaran daerah provinsi yang sebelumnya harus/wajib melalui persetujuan MRP menjadi tidak mutlak. Selanjutnya UU No. 2 Tahun 2021 telah menambah kewenangan Pemerintah dan DPR RI dalam pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota, tanpa melalui tahapan persiapan dan jika dikaitkan dengan ayat (1) tanpa  persetujuan MRP. Terhadap perubahan Pasal 76, pihaknya berpendapat bahwa penambahan kata “dapat”, jika prosesnya tidak mengikutsertakan MRP dan DPRP, maka hal ini mengindikasikan Pemerintah tidak lagi memperhatikan aspirasi rakyat / orang asli Papua yang di perankan oleh MRP dan DPRP, bahkan tidak juga mendengar pendapat Pemerintah Provinsi.

“Bahkan pemekaran daerah tidak lagi melalui tahapan persiapan. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita otonomi khusus yang terkandung dalam frasa setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan dimasa datang. Untuk itu jika Pemerintah dan DPR melakukan pemekaran tanpa melalui lembaga2 kekhususan otonomi khusus Papua : MRP, DPRP, bahkan Pemerintah Provinsi Papua, Tindakan/pasal ini bertentangan dengan Pasal 18 B dikaitkan dengan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 karena tidak lagi menghormati aspirasi dari kesatuan sosial budaya masyarakat adat dan hak-hak masyarakat tradisional di Papua,” katanya.

Sementara pada  Pasal 77 Terkait dengan pengujian norma dengan frasa untuk Usul perubahan atas undang-undang ini dikatakan “dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Kami berpendapat bahwa meskipun pemerintah dan DPR memiliki kewenangan dalam pembuatan suatu undang-undang, tetapi untuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, proses dan prosedurnya serta subtansi dalam membuat atau merubah UU Otonomi Khusus Papua haruslah dilakukan dengan memperhatikan alasan dan latarbelakang dibentuknya UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diatur dalam , Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan  Negara Tahun 1999-2004, pada Bab IV Huruf G .. Mengenai Pembangunan Daerah angka 2 antara lain memuat kebijakan otonomi khusus bagi Aceh dan Irian Jaya. Dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan sungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut yaitu mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-undang, dan menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat,” bebernya.

Ia menambahkan dalam salah satu bagian dari Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Bagian Ill mengenai Rekomendasi, mengamanatkan, Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Baca Juga :  14 Unit Kamar Kos di Nabire Terbakar

“Dengan demikian, perubahan UU No. 21 Tahun 2001 haruslah bersifat aspiratif masyarakat daerah. Harus ada proses meminta pendapat masyarakat Papua, sebagaimana ketika untuk pertama kali membentuk UU Nomor 21 Tahun 2001. Tugas dan peran ini telah diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 yang secara konstitusional dilakukan oleh MRP dan DPRP. Gubernur Papua telah menyerahkan proses meminta pendapat rakyat Papua kepada MRP. MRP telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), tetapi kurang mendapat dukungan dan respons positif dari Pemerintah, DPR dan berbagai pihak lainnya. Jika proses perubahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua tidak melalui proses meminta pendapat/aspirasi masyarakat daerah, maka ini adalah suatu kekeliruan, yang cenderung tertentangan dengan konstitusi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP)  Timotius Murib mengatakan dalam sidang ke-4 Mahkama Konstitusi dimana sesuai permintaan Mahkamah Konstitusi untuk penyampaian saksi fakta dari Pemerintah Provinsi, maka majelis rakyat Papua menuntut kepada Gubernur sehingga gubernur provinsi Papua Lukas Enembe menugaskan tiga pejabat yaitu itu Sekda Provinsi Papua Dr Muhammad Ridqan Rumasukun SE. MM., Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua, Dr. Drs. Muhammad Musa’ad M.Si., Plt. Asisten Sekretaris Daerah Bidang Umum Provinsi Papua,

Yergemes Derek Hegemur SH., MH.,  terkait dengan uji material yang diajukan majelis rakyat Papua terkait perubahan undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan perubahan undang-undang nomor 2 tahun 2021.

Dikatakan, di dalam undang-undang tersebut ada 19 pasal yang diubah dalam amandemen setelah majelis rakyat Papua mempelajari ada 8 pasal yang dinilai benar-benar berpotensi merugikan hak – Hak  orang asli Papua, dan dalam menyampaikan saksi fakta Pihak yang memberikan apresiasi kepada gubernur provinsi Papua karena para saksi menyampaikan kesaksian secara terbuka. “Benar-benar mereka sampaikan secara terang benderang apa yang dialami dan dirasakan oleh mereka sendiri pemerintah Sebagai penyelenggara, di era otonomi khusus ini,”tuturnya.

ementara pada tanggal 10 Maret nantinya akan ada sidang berikutnya yang ke- 5 MK dengan agenda mendengar saksi fakta dari Majelis Rakyat Papua. Dimana pihaknya telah menunjuk tiga orang untuk menyampaikan kesaksian MRP. terkait kegiatan MRP yang menggelar rapat dengar pendapat, tahun 2020 kemarin dan ini akan memberikan bobot untuk kesaksian-kesaksian sebelumnya. “Kami berharap majelis hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan yang sebenar-benarnya untuk melindungi hak-hak dasar orang asli Papua, yang kita rindukan,” ujarnya.

Dia juga mengatakan langkah yang dilakukan oleh MRP ini merupakan langkah konstitusi uji materil sesuai aturan yang berlaku dan tidak melanggar hukum. Ini dilakukan agar mengembalikan roh dan marwah dari otonomi khusus ini untuk ada di masyarakat asli Papua.

“Dimana ada gelombang semangat aspirasi kemerdekaan sehingga hal itu dituangkan oleh para pendahulu dalam Undang-Undang 21, sehingga jika melakukan perubahan pun jangan sampai menghilangkan roh itu, atau aspirasi maayarakat Papua lahirnya Otsus, dan MRP menilai Undang-Undang 21 itu lebih baik terutama di dalam ada 24 kewenagan dan untuk undang-undang perubahan otonomi khusus justru kewenangan dan kekuasaan itu tidak ada sama sekali, hilang dan ini jelas sengaja dihilangkan. Ini membuktikan bahwa apa yang disampaikan rakyat Papua itu benar bahwa otonomi khusus sudah tidak berlaku di Papua atau diistilahkan, otsus sudah jadi jenazah. Jadi kami benar-benar melihat undang-undang perubahan otonomi khusus ini benar-benar tidak memihak kepada orang asli Papua,” tegasnya.

Untuk itu, dia berharap ke depan Mahkamah Konstitusi dapat mengambil keputusan secara bijak dengan melihat kesaksian dari saksi ahli dan saksi fakta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Papua.

Ditambahkan bahwa dalam kesaksian saksi fakta hal yang menonjol adalah soal filosofi lahirnya Undang-Undang 21. Dimana jelas bahwa Undang-Undang 21 ini bukan hadiah atau program kerja dari pemerintah pusat, tetapi murni dari hasil perjuangan masyarakat Papua.

“Ini benar-benar hasil dari suatu perjuangan darah dan air mata orang asli Papua sehingga roh itu jangan dihilangkan dari perubahan yang dilakukan pemerintah pusat tetapi harus dibawa terus meski ada perubahan, Dan inilah kesaksian mereka (Pemerintah Provinsi) yang lebih mendahulukan filosofi dari lahirnya Undang-Undang 21 dan kami yakin Mahkamah Konstitusi sangat paham keberadaan undang-undang otonomi khusus,” tutupnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta,  Zainal Arifin Mochtar hadir menjadi ahli pemohon lainnya. Zainal menjelaskan mengenai frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebenarnya menjadi sesuatu yang netral. Namun begitu dilekatkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6A huruf (a) UU Otsus Papua, maka membuat multitafsir yang sangat luar biasa dan berpotensi untuk menimbulkan ketidakpastian hukum.

Baca Juga :  Yonas Nusi: Soal Siaga Tempur Bukannya TPN OPM Dulu yang Menantang Perang?

Menurut Zainal, apabila sesuai dengan peratuan perundang-undangan berarti jenis peraturan perundang-undangannya bisa apa saja. Kemudian, apabila membahas mengenai otonomi khusus, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat didasarkan pada aspirasi daerah lebih harus diperhatikan. Ia mengatakan,  peraturan tersebut jauh lebih baik dan lebih spesifik diatur lebih lanjut. Selain itu, sambungnya, UU ini harus dikaitkan dengan konteks kebijakan mulai dari konsep politik hukum, naskah akademik, pembahasan bahkan dengan UU sebelumnya.

Sekedar diketahui dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).

Pemohon menilai adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Di live daring terpisah kepada wartawan Amnesty Internasional Indonesia menilai perubahan kedua undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang disahkan sepihak oleh negara (Jakarta) banyak mengandung masalah cacat formal prosedural dan mengandung cacat material subtansial.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasiol Indonesia menegaskan rapat-rapat yang sekarang mulai intensif digelar oleh Wakil Presiden RI K.H. Ma’ruf Amin harusnya mempertimbangkan proses persidangan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan yang baru terkait Papua.

“Wapres harus menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan baru atau tindakan-tindakan yang dilakukan seperti pemekaran wilayah (DOB), karena berdasarkan UU Otsus amandemen kedua yang sebenarnya banyak mengandung masalah,” kata Usman.

Ia menegaskan, Perubahan kedua UU Otsus Papua banyak mengandung masalah baik syarat formal yang artinya mengandung cacat formal procedural dan mengandung cacat material subtansial. “Jadi isinya bermasalah, prosesnya juga bermasalah, karena itu kita mendesak kepada pemerintah pusat di Jakarta untuk menghormati proses persidangan di MK sampai adanya keputusan dalam waktu 2 – 3 bulan kedepan,” tegas Usman.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib mengatakan Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum. (oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya