“Belanja Otsus sebaiknya lebih difokuskan pada program yang memperkuat layanan dasar diantaranya; menekan angka anak tidak sekolah, menurunkan stunting, memperbaiki layanan kesehatan, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia,” jelasnya. Tak kalah penting penguatan birokrasi daerah juga menjadi keharusan, karena keberhasilan program sangat ditentukan oleh kemampuan aparatur pemerintah yang menjalankannya secara konsisten.
Sementara dalam konteks sosial Papua sangat majemuk dan penuh dinamika, meningkatkan partisipasi masyarakat sipil sangat penting untuk menjaga legitimasi Otsus. “Lembaga adat, kampus, organisasi profesi, dan berbagai komunitas lokal dapat diberi ruang formal untuk menyampaikan rekomendasi dan evaluasi kebijakan, sehingga Otsus menjadi ruang belajar bersama, bukan hanya agenda pemerintah semata,” terang Lily.
Ia mengatakan dengan menjadikan hari Otsus sebagai refleksi bersama, pemerintah dan masyarakat dapat memastikan bahwa kebijakan ini tidak terjebak dalam rutinitas seremonial, tetapi bergerak menuju perbaikan yang konkret. Pada akhirnya, Otsus hanya akan bermakna jika dimaknai sebagai proses yang terus berkembang, bukan sebagai capaian yang dianggap final.
Peringatan 21 November seharusnya menjadi pengingat bahwa seluas apa pun anggaran yang disediakan, pembangunan Papua hanya akan berhasil jika dikelola dengan data yang akurat, tata kelola yang kuat, pengawasan yang terbuka, dan keberanian untuk melakukan koreksi. “Dengan cara itulah Otsus Jilid II bisa benar-benar menjadi fase transformasi bagi masyarakat Papua, bukan sekadar kelanjutan dari persoalan yang belum tuntas,” pungkasnya. (jim/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos
“Belanja Otsus sebaiknya lebih difokuskan pada program yang memperkuat layanan dasar diantaranya; menekan angka anak tidak sekolah, menurunkan stunting, memperbaiki layanan kesehatan, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia,” jelasnya. Tak kalah penting penguatan birokrasi daerah juga menjadi keharusan, karena keberhasilan program sangat ditentukan oleh kemampuan aparatur pemerintah yang menjalankannya secara konsisten.
Sementara dalam konteks sosial Papua sangat majemuk dan penuh dinamika, meningkatkan partisipasi masyarakat sipil sangat penting untuk menjaga legitimasi Otsus. “Lembaga adat, kampus, organisasi profesi, dan berbagai komunitas lokal dapat diberi ruang formal untuk menyampaikan rekomendasi dan evaluasi kebijakan, sehingga Otsus menjadi ruang belajar bersama, bukan hanya agenda pemerintah semata,” terang Lily.
Ia mengatakan dengan menjadikan hari Otsus sebagai refleksi bersama, pemerintah dan masyarakat dapat memastikan bahwa kebijakan ini tidak terjebak dalam rutinitas seremonial, tetapi bergerak menuju perbaikan yang konkret. Pada akhirnya, Otsus hanya akan bermakna jika dimaknai sebagai proses yang terus berkembang, bukan sebagai capaian yang dianggap final.
Peringatan 21 November seharusnya menjadi pengingat bahwa seluas apa pun anggaran yang disediakan, pembangunan Papua hanya akan berhasil jika dikelola dengan data yang akurat, tata kelola yang kuat, pengawasan yang terbuka, dan keberanian untuk melakukan koreksi. “Dengan cara itulah Otsus Jilid II bisa benar-benar menjadi fase transformasi bagi masyarakat Papua, bukan sekadar kelanjutan dari persoalan yang belum tuntas,” pungkasnya. (jim/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos