Sebutnya peringatan hari Otsus selama ini lebih sering diisi dengan kegiatan seremonial berupa sambutan pejabat, pertunjukan budaya, atau deklarasi normatif yang pada dasarnya mengulang narasi umum tentang pentingnya Otsus.
“Justru minim adalah pelaporan yang jujur tentang capaian dan kendala, penyajian data yang dapat diuji publik, ruang diskusi terbuka antara pemerintah dan masyarakat sipil, atau evaluasi independen yang dapat membantu memperbaiki arah kebijakan,” jelas Lily. Sebab tanpa kehadiran unsur-unsur tersebut, peringatan Otsus berisiko menjadi simbol tanpa substansi, padahal esensi Otsus adalah akuntabilitas dan pemerataan hasil pembangunan bagi OAP.
Lebih jauh Dosen Hukum Tata Negara itu menyatakan beberapa tantangan utama terus menghantui implementasi Otsus. Diantaranya formula pendanaan yang masih berorientasi pada besaran alokasi membuat kinerja tidak menjadi faktor penentu perbaikan kebijakan. Kondisi ini menciptakan kebingungan antara urusan provinsi dan kabupaten/kota, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.
Banyak program strategis, seperti penanganan anak tidak sekolah, peningkatan gizi, penguatan tenaga kesehatan, dan pendidikan inklusif, masih terkendala perencanaan yang tidak berbasis data, pelaksanaan yang terpecah, dan minimnya pengawasan. Kemudian pengawasan oleh lembaga adat, akademisi, dan masyarakat sipil pun belum optimal, padahal mereka memiliki kapasitas dan legitimasi sosial untuk memberi masukan yang berharga.
Karena itu ia menjelaskan peringatan hari Otsus mesti tidak lagi diarahkan semata untuk perayaan, melainkan menjadi momentum untuk menampilkan capaian dan kelemahan program secara terbuka. Disaat yang sama Lily mengatakan pembangunan Papua membutuhkan fondasi data yang lebih solid agar perencanaan dan penganggaran dapat benar-benar menyasar akar persoalan.
Sebutnya peringatan hari Otsus selama ini lebih sering diisi dengan kegiatan seremonial berupa sambutan pejabat, pertunjukan budaya, atau deklarasi normatif yang pada dasarnya mengulang narasi umum tentang pentingnya Otsus.
“Justru minim adalah pelaporan yang jujur tentang capaian dan kendala, penyajian data yang dapat diuji publik, ruang diskusi terbuka antara pemerintah dan masyarakat sipil, atau evaluasi independen yang dapat membantu memperbaiki arah kebijakan,” jelas Lily. Sebab tanpa kehadiran unsur-unsur tersebut, peringatan Otsus berisiko menjadi simbol tanpa substansi, padahal esensi Otsus adalah akuntabilitas dan pemerataan hasil pembangunan bagi OAP.
Lebih jauh Dosen Hukum Tata Negara itu menyatakan beberapa tantangan utama terus menghantui implementasi Otsus. Diantaranya formula pendanaan yang masih berorientasi pada besaran alokasi membuat kinerja tidak menjadi faktor penentu perbaikan kebijakan. Kondisi ini menciptakan kebingungan antara urusan provinsi dan kabupaten/kota, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.
Banyak program strategis, seperti penanganan anak tidak sekolah, peningkatan gizi, penguatan tenaga kesehatan, dan pendidikan inklusif, masih terkendala perencanaan yang tidak berbasis data, pelaksanaan yang terpecah, dan minimnya pengawasan. Kemudian pengawasan oleh lembaga adat, akademisi, dan masyarakat sipil pun belum optimal, padahal mereka memiliki kapasitas dan legitimasi sosial untuk memberi masukan yang berharga.
Karena itu ia menjelaskan peringatan hari Otsus mesti tidak lagi diarahkan semata untuk perayaan, melainkan menjadi momentum untuk menampilkan capaian dan kelemahan program secara terbuka. Disaat yang sama Lily mengatakan pembangunan Papua membutuhkan fondasi data yang lebih solid agar perencanaan dan penganggaran dapat benar-benar menyasar akar persoalan.