Wednesday, April 17, 2024
24.7 C
Jayapura

Jadi ”Petugas Kebersihan” di Sela Kumpulkan Bahan-Bahan Tulisan

Berkebun, Beternak, Menulis: Ragam Cara Para Pegawai KPK ”Menikmati” Pemecatan (2-Habis)

Penangkapan Nazaruddin satu di antara pengalaman panjang Giri Suprapdiono di KPK yang tengah dia susun jadi buku. Sekarang jadi punya waktu buat membersihkan akuarium serta memperbaiki kompor dan jendela.  

AGUS DWI PRASETYO, Depok 

JET pribadi Gulfstream N-913PD yang dicarter pemerintah Indonesia itu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malam jatuh di ibu kota, jam memperlihatkan pukul 19.50. 

Lamat-lamat terlihat seorang pria mengenakan jaket kulit hitam, dikawal ketat petugas kepolisian, berjalan menuruni tangga pesawat. Kepalanya tertunduk seolah menghindari sorotan kamera wartawan yang menyambut kedatangannya. 

Pria tersebut langsung digiring masuk ke mobil warna silver. Sejumlah kendaraan pengawal membuntuti di belakangnya. 

Tak ada satu patah kata yang terucap dari bibir pria tersebut. Sementara itu, otoritas keamanan yang berwenang menginformasikan bahwa dia dibawa dari Kolombia setelah hampir tiga bulan menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ya, pria yang ditangkap itu adalah mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat M. Nazaruddin. Dia dipulangkan setelah ditangkap polisi di Cartagena, Kolombia, pada 7 Agustus 2011. Setelah menyelesaikan persyaratan, politikus yang saat itu berstatus tersangka dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang 2011 tersebut dipulangkan lima hari kemudian. 

Kisah penangkapan yang menggemparkan publik itu begitu melekat dalam memori Giri Suprapdiono, direktur sosialisasi dan kampanye antikorupsi KPK. Giri termasuk dalam daftar 56 pegawai yang diberhentikan dengan hormat pada 30 September mendatang. ”Pengalaman 16 tahun di KPK itu banyak hal-hal menarik,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Depok pada Jumat (17/9).

Pemulangan Nazaruddin ke Indonesia melibatkan banyak pihak. Bukan hanya KPK, melainkan juga kepolisian, imigrasi, dan Kementerian Luar Negeri. Dari tim gabungan itu, Giri termasuk dalam skuad KPK. Kala itu Giri menjabat kepala internasional KPK. 

Dari sisi penindakan, penangkapan Nazaruddin bisa dikatakan prestasi gemilang yang diraih KPK secara khusus dan pemerintah Indonesia secara umum. Karena itu, Giri tergerak membuka arsip peristiwa penangkapan 10 tahun lalu tersebut. Kemudian merangkainya menjadi bagian cerita tentang perjalanan kariernya selama bekerja di KPK 16 tahun terakhir. 

Baca Juga :  Kapolri Tuding ULMWP Otak Dibalik Kisruh Papua

”Menulis cerita itu (pengalaman bekerja di KPK) baru saya mulai, tapi rupanya kecepatan tangan saya tidak secepat memori yang ada di otak saya,” celetuknya, lantas tersenyum. 

Hari-hari ini, mengumpulkan bahan-bahan tulisan memoar tengah dilakukan Giri sembari ”menikmati” polemik alih status kepegawaian KPK yang berujung pada pemecatan 56 pegawai. 

Sama dengan 55 pegawai lain, Giri lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sejak pimpinan KPK mengumumkan pemberhentiannya pada 15 September lalu. Waktu luang itu diisi dengan beragam aktivitas.

Tidak hanya mengumpulkan bahan-bahan tulisan. Tapi juga meladeni wawancara awak media dan menjadi narasumber webinar untuk menjelaskan ke publik soal polemik TWK (tes wawasan kebangsaan). 

”Upaya-upaya itu ternyata membutuhkan banyak energi,” ujar pria yang pernah menjabat direktur gratifikasi KPK tersebut. 

Selama di rumah, Giri juga disibukkan dengan rutinitas yang jarang dilakukan selama menjadi pejabat di KPK. Yaitu, membersihkan akuarium serta memperbaiki kompor dan jendela yang rusak. ”Jadi petugas kebersihan,” tuturnya, lantas tertawa. 

Sikap Giri melihat polemik alih status kepegawaian KPK hampir sama dengan 55 pegawai yang diberhentikan per 30 September mendatang. Tetap melawan sampai titik darah penghabisan. 

”Sebenarnya polemik ini kan belum selesai. Karena rekomendasi dari Ombudsman baru dikirim (ke presiden). Kita tunggu saja,” ungkapnya. 

Menulis adalah salah satu cara untuk meluapkan kekecewaan. Tentu, kisah penangkapan Nazaruddin bukan bagian dari kekecewaan itu. 

Giri akan menulis banyak hal tentang pengalamannya selama di KPK. Dan, polemik TWK yang membuatnya masuk daftar pegawai yang dipecat adalah salah satunya. 

Sebelum mulai menulis, Giri menyiapkan konsep tentang apa saja yang akan ditulisnya. Selain kejadian-kejadian fenomenal yang pernah dialaminya, Giri akan menyisipkan upaya-upaya pelemahan KPK yang pernah terjadi. Dimulai dari lolosnya sejumlah tokoh besar dari jeratan hukum KPK pada 2015–2016 yang berujung pada teror fisik terhadap pegawai KPK.

Baca Juga :  HUT Bhayangkara, Ada Program SIM Gratis

Selanjutnya, pembangunan framing bahwa KPK telah disisipi Taliban atau gerakan Islam radikal. Framing yang diinisiasi akun-akun pendengung itu, menurut Giri, adalah bagian delegitimasi KPK secara kelembagaan. 

Tahapan pelemahan KPK berikutnya adalah dipilihnya pimpinan KPK dari polisi aktif. Lengkap dengan revisi UU KPK dan implementasinya.

Terakhir, merusak nilai-nilai antikorupsi di KPK. Mulai pelanggaran etik sampai mengubah aturan tentang perjalanan dinas (perdin) yang membuka celah bagi pimpinan/pegawai KPK menerima uang saku dari penyelenggara acara. ”Jadi, value yang merusak itu sekarang hidup di KPK. Rezim antikorupsi yang dulu kuat sekarang jadi kendur,” tuturnya.

Tentu, merangkai tahapan pelemahan KPK membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Giri akan menguatkan kesimpulan tersebut dalam berbagai sudut pandang. Baik ekonomi maupun politik kekuasaan. ”Kalau didetailkan lagi, nanti (tahapan pelemahan KPK) bisa dikaitkan dengan oligarki. Kalau bicara tentang oligarki tentu juga akan bicara soal keuntungan dan sebagainya,” imbuh alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.

Sebelum Giri, sejatinya beberapa eks pegawai KPK sudah menulis cerita tentang KPK. Bahkan menerbitkannya dalam sebuah buku. Salah satunya Nanang Farid Syam. Mantan ketua Wadah Pegawai (WP) KPK itu menulis buku berjudul The E-Mail: Mengeja Gelisah Merangkai Asa. Buku itu berisi kumpulan e-mail tentang KPK. 

Sama dengan bekerja memberantas korupsi, Giri berusaha fokus menyelesaikan tulisannya. Dia menegaskan apa yang tengah dilakukannya bukan luapan kesedihan karena akan diberhentikan dengan hormat 30 September mendatang. ”Kami bukan sedih kehilangan pekerjaan. Tapi, kalau kami tidak bisa memberantas korupsi di KPK, tentu itu hal yang berat,” ucapnya. (*/c19/ttg/JPG)

Berkebun, Beternak, Menulis: Ragam Cara Para Pegawai KPK ”Menikmati” Pemecatan (2-Habis)

Penangkapan Nazaruddin satu di antara pengalaman panjang Giri Suprapdiono di KPK yang tengah dia susun jadi buku. Sekarang jadi punya waktu buat membersihkan akuarium serta memperbaiki kompor dan jendela.  

AGUS DWI PRASETYO, Depok 

JET pribadi Gulfstream N-913PD yang dicarter pemerintah Indonesia itu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malam jatuh di ibu kota, jam memperlihatkan pukul 19.50. 

Lamat-lamat terlihat seorang pria mengenakan jaket kulit hitam, dikawal ketat petugas kepolisian, berjalan menuruni tangga pesawat. Kepalanya tertunduk seolah menghindari sorotan kamera wartawan yang menyambut kedatangannya. 

Pria tersebut langsung digiring masuk ke mobil warna silver. Sejumlah kendaraan pengawal membuntuti di belakangnya. 

Tak ada satu patah kata yang terucap dari bibir pria tersebut. Sementara itu, otoritas keamanan yang berwenang menginformasikan bahwa dia dibawa dari Kolombia setelah hampir tiga bulan menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ya, pria yang ditangkap itu adalah mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat M. Nazaruddin. Dia dipulangkan setelah ditangkap polisi di Cartagena, Kolombia, pada 7 Agustus 2011. Setelah menyelesaikan persyaratan, politikus yang saat itu berstatus tersangka dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang 2011 tersebut dipulangkan lima hari kemudian. 

Kisah penangkapan yang menggemparkan publik itu begitu melekat dalam memori Giri Suprapdiono, direktur sosialisasi dan kampanye antikorupsi KPK. Giri termasuk dalam daftar 56 pegawai yang diberhentikan dengan hormat pada 30 September mendatang. ”Pengalaman 16 tahun di KPK itu banyak hal-hal menarik,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Depok pada Jumat (17/9).

Pemulangan Nazaruddin ke Indonesia melibatkan banyak pihak. Bukan hanya KPK, melainkan juga kepolisian, imigrasi, dan Kementerian Luar Negeri. Dari tim gabungan itu, Giri termasuk dalam skuad KPK. Kala itu Giri menjabat kepala internasional KPK. 

Dari sisi penindakan, penangkapan Nazaruddin bisa dikatakan prestasi gemilang yang diraih KPK secara khusus dan pemerintah Indonesia secara umum. Karena itu, Giri tergerak membuka arsip peristiwa penangkapan 10 tahun lalu tersebut. Kemudian merangkainya menjadi bagian cerita tentang perjalanan kariernya selama bekerja di KPK 16 tahun terakhir. 

Baca Juga :  HUT Bhayangkara, Ada Program SIM Gratis

”Menulis cerita itu (pengalaman bekerja di KPK) baru saya mulai, tapi rupanya kecepatan tangan saya tidak secepat memori yang ada di otak saya,” celetuknya, lantas tersenyum. 

Hari-hari ini, mengumpulkan bahan-bahan tulisan memoar tengah dilakukan Giri sembari ”menikmati” polemik alih status kepegawaian KPK yang berujung pada pemecatan 56 pegawai. 

Sama dengan 55 pegawai lain, Giri lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sejak pimpinan KPK mengumumkan pemberhentiannya pada 15 September lalu. Waktu luang itu diisi dengan beragam aktivitas.

Tidak hanya mengumpulkan bahan-bahan tulisan. Tapi juga meladeni wawancara awak media dan menjadi narasumber webinar untuk menjelaskan ke publik soal polemik TWK (tes wawasan kebangsaan). 

”Upaya-upaya itu ternyata membutuhkan banyak energi,” ujar pria yang pernah menjabat direktur gratifikasi KPK tersebut. 

Selama di rumah, Giri juga disibukkan dengan rutinitas yang jarang dilakukan selama menjadi pejabat di KPK. Yaitu, membersihkan akuarium serta memperbaiki kompor dan jendela yang rusak. ”Jadi petugas kebersihan,” tuturnya, lantas tertawa. 

Sikap Giri melihat polemik alih status kepegawaian KPK hampir sama dengan 55 pegawai yang diberhentikan per 30 September mendatang. Tetap melawan sampai titik darah penghabisan. 

”Sebenarnya polemik ini kan belum selesai. Karena rekomendasi dari Ombudsman baru dikirim (ke presiden). Kita tunggu saja,” ungkapnya. 

Menulis adalah salah satu cara untuk meluapkan kekecewaan. Tentu, kisah penangkapan Nazaruddin bukan bagian dari kekecewaan itu. 

Giri akan menulis banyak hal tentang pengalamannya selama di KPK. Dan, polemik TWK yang membuatnya masuk daftar pegawai yang dipecat adalah salah satunya. 

Sebelum mulai menulis, Giri menyiapkan konsep tentang apa saja yang akan ditulisnya. Selain kejadian-kejadian fenomenal yang pernah dialaminya, Giri akan menyisipkan upaya-upaya pelemahan KPK yang pernah terjadi. Dimulai dari lolosnya sejumlah tokoh besar dari jeratan hukum KPK pada 2015–2016 yang berujung pada teror fisik terhadap pegawai KPK.

Baca Juga :  Kapolri Tuding ULMWP Otak Dibalik Kisruh Papua

Selanjutnya, pembangunan framing bahwa KPK telah disisipi Taliban atau gerakan Islam radikal. Framing yang diinisiasi akun-akun pendengung itu, menurut Giri, adalah bagian delegitimasi KPK secara kelembagaan. 

Tahapan pelemahan KPK berikutnya adalah dipilihnya pimpinan KPK dari polisi aktif. Lengkap dengan revisi UU KPK dan implementasinya.

Terakhir, merusak nilai-nilai antikorupsi di KPK. Mulai pelanggaran etik sampai mengubah aturan tentang perjalanan dinas (perdin) yang membuka celah bagi pimpinan/pegawai KPK menerima uang saku dari penyelenggara acara. ”Jadi, value yang merusak itu sekarang hidup di KPK. Rezim antikorupsi yang dulu kuat sekarang jadi kendur,” tuturnya.

Tentu, merangkai tahapan pelemahan KPK membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Giri akan menguatkan kesimpulan tersebut dalam berbagai sudut pandang. Baik ekonomi maupun politik kekuasaan. ”Kalau didetailkan lagi, nanti (tahapan pelemahan KPK) bisa dikaitkan dengan oligarki. Kalau bicara tentang oligarki tentu juga akan bicara soal keuntungan dan sebagainya,” imbuh alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.

Sebelum Giri, sejatinya beberapa eks pegawai KPK sudah menulis cerita tentang KPK. Bahkan menerbitkannya dalam sebuah buku. Salah satunya Nanang Farid Syam. Mantan ketua Wadah Pegawai (WP) KPK itu menulis buku berjudul The E-Mail: Mengeja Gelisah Merangkai Asa. Buku itu berisi kumpulan e-mail tentang KPK. 

Sama dengan bekerja memberantas korupsi, Giri berusaha fokus menyelesaikan tulisannya. Dia menegaskan apa yang tengah dilakukannya bukan luapan kesedihan karena akan diberhentikan dengan hormat 30 September mendatang. ”Kami bukan sedih kehilangan pekerjaan. Tapi, kalau kami tidak bisa memberantas korupsi di KPK, tentu itu hal yang berat,” ucapnya. (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya