JAKARTA – KPU telah mengumumkan daftar calon sementara (DCS) anggota DPR kemarin (19/8). Namun, sejumlah data dalam DCS tersebut mendapat sorotan. Mulai jumlah total yang tidak akurat hingga rekam jejak caleg yang dianggap tidak transparan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, pihaknya menemukan ketidaksinkronan antara total jumlah caleg yang memenuhi syarat dan hasil penjumlahan caleg laki-laki serta perempuan.
Di data KPU tertulis, jumlah caleg yang memenuhi syarat sebanyak 9.925 orang. Angka itu tidak sama dengan total jumlah caleg berdasar jenis kelamin yang terdiri atas 6.245 laki-laki dan 3.674 perempuan. ”Kalau ditotal menjadi 9.919,” terangnya kepada Jawa Pos kemarin (19/8).
https://heylink.me/Update13/
Menurut dia, ketidaksinkronan DCS itu bersumber dari ketidakcermatan KPU menginput dan menjumlahkan caleg yang memenuhi syarat (MS) pada tiga parpol. Yakni, Partai Gelombang Rakyat Indonesia, Partai Garda Republik Indonesia, dan Partai Bulan Bintang.
Pada Partai Gelombang Rakyat Indonesia tertulis jumlah caleg MS sebanyak 396 orang dengan perincian 252 caleg laki-laki dan 145 perempuan. Padahal, jumlah caleg laki-laki dan perempuan yang benar adalah 397 orang. ”Penghitungan yang tepat mestinya menghasilkan angka yang sama antara jumlah caleg yang MS dan total caleg laki-laki dan perempuan,” ungkapnya.
Hal serupa terjadi pada Partai Garda RI. Tercatat jumlah caleg MS sebanyak 573 orang. Padahal, jika digabung antara caleg laki-laki dan perempuan, jumlahnya 570 orang. Perinciannya, 336 laki-laki dan 234 perempuan.
Partai Bulan Bintang mengalami hal serupa. Jumlah caleg yang MS 474 orang, sedangkan hasil penggabungan jumlah caleg laki-laki dan perempuan sebanyak 470 orang.
Lucius mengatakan, ketidaksinkronan angka-angka penjumlahan seharusnya membuat DCS yang ditetapkan KPU otomatis cacat. ”Atau kalau ketidaksinkronan ini sesuatu yang disengaja oleh KPU, haruslah kita pertanyakan untuk siapa KPU ini bekerja?” bebernya.
Menurut dia, sulit memahami bagaimana ketidakcermatan itu bisa tidak disadari oleh komisioner KPU sebelum mereka mengumumkan DCS. Ketidaktelitian tersebut merupakan awal buruk untuk mengawal pemilu yang jujur dan adil.
Apalagi KPU tampak tak punya semangat untuk menjamin pemilu yang jurdil ketika mereka lebih suka menutup-nutupi biodata caleg. ”Ironisnya, sudah tertutup, mereka justru mengharapkan publik mempelajari track record caleg,” paparnya.
Lucius mengatakan, dari mana publik bisa mengetahui track record caleg jika KPU sebagai satu-satunya sumber informasi kredibel justru tak menyediakan informasi terkait rekam jejak para caleg. ”KPU ini kerja untuk siapa sih? Pakai duit rakyat, tetapi mengabdi bukan kepada rakyat. Punya jargon #KPUMelayani. Tetapi yang dilayani bukan pemilih, cenderung peserta pemilu,” tegasnya.
Pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan, masyarakat diharapkan mencermati secara baik latar belakang, rekam jejak, dan rencana kerja para caleg.
Menurut dia, yang pertama harus dicermati adalah apakah partai politik memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. ”Pemilih bisa memeriksa mulai dengan mengecek kondisi keterwakilan perempuan di daerah pemilihan masing-masing,” ujarnya.
Selanjutnya, masyarakat bisa segera mengunduh atau menyimpan riwayat hidup para caleg sebagai arsip referensi sampai pemungutan suara nanti. Serta mencari tahu rekam jejak mereka dalam kiprah sebelumnya. Misal, pemilih bisa membandingkan riwayat hidup caleg dengan rekam jejak sosial mereka melalui medsos atau pemberitaan media.
Khusus caleg petahana, masyarakat bisa mencermati kinerja mereka di parlemen. Pemilih dapat memeriksa pernyataan publik mereka soal isu-isu krusial, publik, dan kedewanan. ”Cek pula rekam jejak voting record atau voting history mereka ketika pengambilan keputusan terkait UU, regulasi, kebijakan, atau penganggaran di parlemen,” terang mantan direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Yang tidak kalah penting adalah memeriksa apakah mereka pernah bermasalah dengan hukum. Misalnya, apakah pernah terlibat kasus korupsi, tindak pidana tertentu, pelecehan seksual, atau yang lainnya. ”Terakhir, cari tahu juga apa motivasi mereka mencaleg di Pemilu 2024,” bebernya.
Titi menegaskan, publik harus memilah dan memilih wakil rakyat dengan hati-hati dan serius. Sebab, mereka adalah para wakil rakyat yang akan merepresentasikan pemilu dari masing-masing dapilnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengatakan, KPU harus menyajikan DCS dengan informasi yang terang secara gambar (foto) dan detail secara identitas.
Selain itu, KPU juga harus memberikan informasi tentang tata cara masukan masyarakat mengenai DCS jika masyarakat menemukan hal yang kurang baik. ”Sebaiknya, web KPU RI mempunyai antisipasi terhadap potensi error, hack, ataupun kesulitan hambatan teknis lainnya,” jelasnya.
Pada bagian lain, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, dalam masa pengumuman DCS, KPU memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan terkait caleg. Mereka bisa menyampaikan tanggapan dan masukan melalui web KPU, media sosial, atau menyampaikan langsung kepada KPU.
Menurut dia, penyampaian masukan dari masyarakat dibuka sampai 28 Agustus. Jadi, publik mempunyai kesempatan cukup lama untuk mencermati dan meneliti sosok caleg di DCS. Jika menemukan masalah atau ada masukan, mereka bisa langsung menyampaikannya. ”Namun, masyarakat yang memberikan masukan harus dengan identitas yang jelas sehingga kami bisa mengonfirmasi,” ungkap Hasyim. (lum/c6/oni)