Saturday, April 27, 2024
31.7 C
Jayapura

Perlu Mengevaluasi Konflik Bersenjata yang Terjadi di Papua

JAYAPURA-Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua atau Pembela Ham Theo Hesegem angkat bicara perihal masyarakat sipil orang asli Papua dan warga non Papua yang kerap menjadi korban kekerasan konflik di Papua.

Melalui rilisnya, Theo menyampaikan keprihatinan terhadap krisis kemanusiaan di Papua. Ia juga menyampaikan turut berduka atas meninggalnya petugas medis di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang saat penyerangan yang terjadi Senin (13/9) lalu.

Theo menyebut, kematian di daerah konflik bukan kali pertama. Dalam catatannya, hingga hari ini ratusan jiwa masyarakat sipil di Papua telah meninggal dunia. Hak mereka untuk bebas hidup di atas tanah Papua telah diakhiri dengan kematian. Kematian ini  berdampak dari konflik kekerasan yang dilancarkan oleh TNI-Polri dan OPM.

Menurutnya, perang yang berlangsung di Papua diawali dengan  peristiwa pembantaian terhadap karyawan PT. Istaka Karya tahun 2018 silam yang terjadi di Kabuparen Nduga. Hingga saat ini, perang masih terus dilanjutkan, dan terjadi di beberapa Kabupaten seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Mimika, Maybrat Papua Barat dan terakhir di Pegunungan Bintang.

“Hari ini kita kembali mendengar petugas kesehatan bernama Gabriella meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar. Sedangkan kita ketahui bahwa petugas kesehatan, guru, jurnalis harus diberikan akses dengan bebas untuk melayani masyarakat sipil dalam konflik bersenjata antara kedua bela pihak yang bertikai,” tutur Theo.

Ia menegaskan, dalam situasi apapun  tenaga medis dan guru harus diberikan akses kebebasan dari kedua bela pihak untuk berakses dengan bebas. Karena hukum humaniter Internasional juga menjamin bagi petugas kesehatan, guru dan wartawan harus bebas dari ancaman penghilangan atau ancaman pembunuhan. Karena tugas mereka adalah melakukan pelayanan terhadap publik di masyarakat.

Baca Juga :  Isi Kekosongan Bid Labfor

Terkait perang terbuka yang dilakukan di kota-kota, dari sisi kemanusiaan Theo menyampaikan bahwa masyarakat sipil OAP dan non OAP selalu saja hidup penuh dengan rasa takut dan trauma yang luar biasa. Mereka tidak akan tenang menjalani kehidupan sehari-hari karena selalu mengalami rasa takut.

“Masyarakat sipil yang selalu hidup dengan penuh rasa takut dan trauma di daerah konflik tak ada obat yang bisa diberikan kepada mereka untuk menyembukan rasa takut dan trauma yang dimaksud, apa lagi bagi keluarga yang merasa kehilangan dengan berujung kematian. Mungkin akan muncul kebencian disertai dengan caci maki terhadap pelaku konflik kekerasan,” terangnya

Kekerasan yang menelan jiwa masyarakat sipil di papua perlu ada tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat, bukan pemerintah Daerah. Karena semua kebijakan ada di pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. 

Menurut Theo, Pemerintah Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi tidak peduli menyelesaikan konflik kekerasan di Papua. Sedangkan dilain sisi, presiden terus berbicara dan mendesak penyelesaian secara damai terhadap  konflik kekerasan di negara myanmar. Hingga muncul pertanyaan apakah korban masyarakat sipil di Myanmar beda dengan masyarakat sipil di Papua ? Sedangkan semua warga sipil harus ditolong.

“Mungkin saya salah, tetapi saya menilai selama ini presiden tidak mampu menyelesaikan konflik di Papua. Selama ini presiden hanya perintahkan pengiriman pasukan di Papua dengan harapan aparat akan melakukan  penyelesaian konflik melalui operasi penegakan hukum,” jelasnya.

Baca Juga :  Perbolehkan Zonasi Sampai Tingkat RT dan RW

Menurut Theo, pengiriman pasukan yang sangat berlebihan di Papua bukan suatu proses penyelesaian konflik kekerasan. Kebijakan ini sangat keliru, kekerasan tidak pernah akan berakhir apa bila terjadi berlawanan antara kedua bela pihak dengan kekuatan yang mengandalkan senjata. Kekerasan akan berakhir kecuali ada kesepakatan kedua bela pihak yang hendak melakukan perdamaian.

“Konflik di Papua tidak pernah akan berakhir, kalau tidak ada kesepakatan kedua bela pihak pemerintah dan elit-elit politik Papua merdeka untuk melakukan kesepakan perdamaian. OPM-TPNPB adalah sayap perjuangan OPM, sama dengan TNI-Polri yang merupakan sebagai alat kekuatan negara atau pertahanan negara yang di dalamnya juga ada elit-elit Indonesia. Tetapi kalau tidak pernah ada kesepakatan perdamaian untuk mengakhiri kekerasan konflik di Papua antara elit-elit perjuangan Papua merdeka dan elit-elit pemerintah  Indonesia, konflik di Papua tidak pernah akan berakhir,” kata Theo.

Dikatakan Theo, konflik di Papua tidak pernah akan berakhir karena kedua belah pihak antara OPM dan TNI-Polri mempertahankan ideologinya masing-masing, dan biasanya orang  mempertahankan ideologinya masing-masing, konflik kekerasan  tidak pernah akan berakhir, dan berujung akan berjatuhan korban jiwa, antara kedua bela pihak termasuk masyarakat sipil. 

Dengan banyaknya korban sipil yang berjatuhan, Theo meminta pemerintah pusat perlu mengevaluasi konflik bersenjata yang terjadi di papua. Pemerintah harus mendengar suara-suara keluarga korban dari masyarakat sipil yang meninggal dunia akibat konflik kekerasan bersenjata antara TNI-Polri dan OPM. 

“Atas meninggalnya petugas medis di Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang, Presiden harus membuka mata dan telingga serta mengevaluasi konflik kekerasan bersenjata di Papua yang merupakan bagian dari Indonesia,” pungkasnya. (fia/ade/bet/nat/JPG)

JAYAPURA-Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua atau Pembela Ham Theo Hesegem angkat bicara perihal masyarakat sipil orang asli Papua dan warga non Papua yang kerap menjadi korban kekerasan konflik di Papua.

Melalui rilisnya, Theo menyampaikan keprihatinan terhadap krisis kemanusiaan di Papua. Ia juga menyampaikan turut berduka atas meninggalnya petugas medis di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang saat penyerangan yang terjadi Senin (13/9) lalu.

Theo menyebut, kematian di daerah konflik bukan kali pertama. Dalam catatannya, hingga hari ini ratusan jiwa masyarakat sipil di Papua telah meninggal dunia. Hak mereka untuk bebas hidup di atas tanah Papua telah diakhiri dengan kematian. Kematian ini  berdampak dari konflik kekerasan yang dilancarkan oleh TNI-Polri dan OPM.

Menurutnya, perang yang berlangsung di Papua diawali dengan  peristiwa pembantaian terhadap karyawan PT. Istaka Karya tahun 2018 silam yang terjadi di Kabuparen Nduga. Hingga saat ini, perang masih terus dilanjutkan, dan terjadi di beberapa Kabupaten seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Mimika, Maybrat Papua Barat dan terakhir di Pegunungan Bintang.

“Hari ini kita kembali mendengar petugas kesehatan bernama Gabriella meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar. Sedangkan kita ketahui bahwa petugas kesehatan, guru, jurnalis harus diberikan akses dengan bebas untuk melayani masyarakat sipil dalam konflik bersenjata antara kedua bela pihak yang bertikai,” tutur Theo.

Ia menegaskan, dalam situasi apapun  tenaga medis dan guru harus diberikan akses kebebasan dari kedua bela pihak untuk berakses dengan bebas. Karena hukum humaniter Internasional juga menjamin bagi petugas kesehatan, guru dan wartawan harus bebas dari ancaman penghilangan atau ancaman pembunuhan. Karena tugas mereka adalah melakukan pelayanan terhadap publik di masyarakat.

Baca Juga :  Jelang HUT DWP Papua, Berbagai Kegiatan Dilaksanakan

Terkait perang terbuka yang dilakukan di kota-kota, dari sisi kemanusiaan Theo menyampaikan bahwa masyarakat sipil OAP dan non OAP selalu saja hidup penuh dengan rasa takut dan trauma yang luar biasa. Mereka tidak akan tenang menjalani kehidupan sehari-hari karena selalu mengalami rasa takut.

“Masyarakat sipil yang selalu hidup dengan penuh rasa takut dan trauma di daerah konflik tak ada obat yang bisa diberikan kepada mereka untuk menyembukan rasa takut dan trauma yang dimaksud, apa lagi bagi keluarga yang merasa kehilangan dengan berujung kematian. Mungkin akan muncul kebencian disertai dengan caci maki terhadap pelaku konflik kekerasan,” terangnya

Kekerasan yang menelan jiwa masyarakat sipil di papua perlu ada tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat, bukan pemerintah Daerah. Karena semua kebijakan ada di pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. 

Menurut Theo, Pemerintah Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi tidak peduli menyelesaikan konflik kekerasan di Papua. Sedangkan dilain sisi, presiden terus berbicara dan mendesak penyelesaian secara damai terhadap  konflik kekerasan di negara myanmar. Hingga muncul pertanyaan apakah korban masyarakat sipil di Myanmar beda dengan masyarakat sipil di Papua ? Sedangkan semua warga sipil harus ditolong.

“Mungkin saya salah, tetapi saya menilai selama ini presiden tidak mampu menyelesaikan konflik di Papua. Selama ini presiden hanya perintahkan pengiriman pasukan di Papua dengan harapan aparat akan melakukan  penyelesaian konflik melalui operasi penegakan hukum,” jelasnya.

Baca Juga :  Dinkes Papua Tunggu Juknis Kemenkes

Menurut Theo, pengiriman pasukan yang sangat berlebihan di Papua bukan suatu proses penyelesaian konflik kekerasan. Kebijakan ini sangat keliru, kekerasan tidak pernah akan berakhir apa bila terjadi berlawanan antara kedua bela pihak dengan kekuatan yang mengandalkan senjata. Kekerasan akan berakhir kecuali ada kesepakatan kedua bela pihak yang hendak melakukan perdamaian.

“Konflik di Papua tidak pernah akan berakhir, kalau tidak ada kesepakatan kedua bela pihak pemerintah dan elit-elit politik Papua merdeka untuk melakukan kesepakan perdamaian. OPM-TPNPB adalah sayap perjuangan OPM, sama dengan TNI-Polri yang merupakan sebagai alat kekuatan negara atau pertahanan negara yang di dalamnya juga ada elit-elit Indonesia. Tetapi kalau tidak pernah ada kesepakatan perdamaian untuk mengakhiri kekerasan konflik di Papua antara elit-elit perjuangan Papua merdeka dan elit-elit pemerintah  Indonesia, konflik di Papua tidak pernah akan berakhir,” kata Theo.

Dikatakan Theo, konflik di Papua tidak pernah akan berakhir karena kedua belah pihak antara OPM dan TNI-Polri mempertahankan ideologinya masing-masing, dan biasanya orang  mempertahankan ideologinya masing-masing, konflik kekerasan  tidak pernah akan berakhir, dan berujung akan berjatuhan korban jiwa, antara kedua bela pihak termasuk masyarakat sipil. 

Dengan banyaknya korban sipil yang berjatuhan, Theo meminta pemerintah pusat perlu mengevaluasi konflik bersenjata yang terjadi di papua. Pemerintah harus mendengar suara-suara keluarga korban dari masyarakat sipil yang meninggal dunia akibat konflik kekerasan bersenjata antara TNI-Polri dan OPM. 

“Atas meninggalnya petugas medis di Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang, Presiden harus membuka mata dan telingga serta mengevaluasi konflik kekerasan bersenjata di Papua yang merupakan bagian dari Indonesia,” pungkasnya. (fia/ade/bet/nat/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya