Sebutnya, jika larangan ini dilanggar, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten setempat dapat menyampaikan pendapat dalam rapat paripurna yang harus dihadiri sedikitnya 3/4 anggota dan disetujui oleh minimal 2/3 anggota yang hadir, untuk kemudian diajukan ke Mahkamah Agung (MA).
“MA memutus dalam waktu 30 hari, dan jika terbukti melanggar, usul pemberhentian disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri yang wajib menindaklanjutinya,” terangnya. Dalam konteks Pati, desakan rakyat berperan sebagai pemicu langkah resmi DPRD, tetapi jalur yang ditempuh tetap berada dalam kerangka hukum dan konstitusi.
Sebut Lily peristiwa ini memberi sejumlah pesan penting diantaranya; Pertama: rakyat adalah pemilik kedaulatan politik dan menjadi pengawal legitimasi pemimpin; Ketika kebijakan dianggap sewenang-wenang atau tidak berpihak, rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk menuntut akuntabilitas.
Kedua: suara publik memiliki pengaruh nyata apabila diorganisir dan diarahkan melalui mekanisme resmi, seperti yang terjadi saat DPRD menindaklanjuti tuntutan massa. Ketiga: keberadaan mekanisme hukum merupakan penopang demokrasi yang mencegah perubahan kekuasaan secara inkonstitusional. Terakhir, moralitas dan kecakapan intelektual pemimpin diuji.
“Kebijakan yang ekstrem, kontroversial, atau tidak peka terhadap kondisi masyarakat berpotensi memicu meluasnya konflik sosial,” ujarnya.
Terangnya, kejadian di Pati membuktikan bahwa rakyat memiliki kekuatan politik yang sah untuk mengoreksi jalannya pemerintahan, namun pemberhentian kepala daerah harus mengikuti prosedur hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Pemimpin yang bijak adalah mereka yang mendengar, merespons, dan merangkul aspirasi rakyat, sehingga konflik dapat dicegah dan legitimasi pemerintahan tetap terjaga,” tandasnya. (jim/ade).
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos