Saturday, December 20, 2025
26.4 C
Jayapura

Presiden Bisa Mengintervensi Langsung Pembangunan Papua

Tito menjelaskan kondisi sosio-historis Papua yang belum memiliki kekuatan pemersatu internal di kalangan masyarakat asli Papua, ditambah dengan bentang alam yang sulit dijangkau, menjadi faktor utama terjadinya kesenjangan pembangunan. Situasi tersebut, menurutnya, membutuhkan pendekatan percepatan pembangunan yang terencana dan terkoordinasi.

Ia mencontohkan kegagalan program pusat kerap terjadi akibat tidak adanya dukungan program lanjutan dari pemerintah daerah. “Misalnya, pemerintah pusat membangun bendungan, tetapi irigasi yang seharusnya dibangun oleh provinsi tidak dilakukan. Akhirnya bendungan hanya menjadi penampungan air dan tidak mengairi sawah,” ujarnya.

Tito memahami ketidaksinambungan tersebut kerap dipengaruhi oleh perbedaan janji politik masing-masing kepala daerah. Oleh karena itu, ia menyarankan agar mekanisme pelaksanaan RAPPP 2025–2029 membuka ruang umpan balik bagi kepala daerah di Papua sehingga program pusat dan daerah dapat diselaraskan secara efektif.

Baca Juga :  Banyak Kasus Pelanggaran HAM Tak Tuntas

“Grand desain ini diharapkan tidak bersifat top down. Perlu dibuka common interest para kepala daerah, agar kepentingan pusat dan daerah saling melengkapi, termasuk antarprovinsi dan kabupaten/kota,” ucap Tito.

Selain harmonisasi program, Tito juga meminta Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua melakukan pengawasan secara berkala terhadap pemerintah daerah yang mengalami kendala dalam menjalankan agenda percepatan pembangunan.

“Perlu diawasi. Jika tidak berjalan, apa masalahnya. Kalau berjalan, mampu berapa persen. Setelah itu dilakukan evaluasi terhadap kendala yang dihadapi,” tuturnya.

Tito mengusulkan evaluasi dilakukan setiap tiga atau empat bulan sekali. Apabila tidak terjadi perbaikan signifikan, hasil evaluasi tersebut akan dipantau langsung oleh Presiden, dan dimungkinkan adanya intervensi jika diperlukan.

Baca Juga :  Tak ada Papua di Pilpres 2019?

Mendagri menegaskan bahwa percepatan pembangunan di Papua harus benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat. Ia menyinggung kasus meninggalnya seorang ibu hamil, Irene Sokoy, beserta bayinya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Papua saat dalam kondisi kritis.

“Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan, kepala daerah di Papua boleh saja mengajukan penambahan anggaran. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana memastikan anggaran tersebut benar-benar mengalir sampai ke bawah,” tegasnya.

Sebagai informasi, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk untuk mengharmonisasi program percepatan pembangunan di Papua dan dilegalkan melalui Keputusan Presiden Nomor 110/P Tahun 2025. (*/ANTARA)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Tito menjelaskan kondisi sosio-historis Papua yang belum memiliki kekuatan pemersatu internal di kalangan masyarakat asli Papua, ditambah dengan bentang alam yang sulit dijangkau, menjadi faktor utama terjadinya kesenjangan pembangunan. Situasi tersebut, menurutnya, membutuhkan pendekatan percepatan pembangunan yang terencana dan terkoordinasi.

Ia mencontohkan kegagalan program pusat kerap terjadi akibat tidak adanya dukungan program lanjutan dari pemerintah daerah. “Misalnya, pemerintah pusat membangun bendungan, tetapi irigasi yang seharusnya dibangun oleh provinsi tidak dilakukan. Akhirnya bendungan hanya menjadi penampungan air dan tidak mengairi sawah,” ujarnya.

Tito memahami ketidaksinambungan tersebut kerap dipengaruhi oleh perbedaan janji politik masing-masing kepala daerah. Oleh karena itu, ia menyarankan agar mekanisme pelaksanaan RAPPP 2025–2029 membuka ruang umpan balik bagi kepala daerah di Papua sehingga program pusat dan daerah dapat diselaraskan secara efektif.

Baca Juga :  Masyarakat BerKTP Nduga Gratis Berobat di RSMM Timika

“Grand desain ini diharapkan tidak bersifat top down. Perlu dibuka common interest para kepala daerah, agar kepentingan pusat dan daerah saling melengkapi, termasuk antarprovinsi dan kabupaten/kota,” ucap Tito.

Selain harmonisasi program, Tito juga meminta Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua melakukan pengawasan secara berkala terhadap pemerintah daerah yang mengalami kendala dalam menjalankan agenda percepatan pembangunan.

“Perlu diawasi. Jika tidak berjalan, apa masalahnya. Kalau berjalan, mampu berapa persen. Setelah itu dilakukan evaluasi terhadap kendala yang dihadapi,” tuturnya.

Tito mengusulkan evaluasi dilakukan setiap tiga atau empat bulan sekali. Apabila tidak terjadi perbaikan signifikan, hasil evaluasi tersebut akan dipantau langsung oleh Presiden, dan dimungkinkan adanya intervensi jika diperlukan.

Baca Juga :  Waspada Penyakit Demam Babi Afrika

Mendagri menegaskan bahwa percepatan pembangunan di Papua harus benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat. Ia menyinggung kasus meninggalnya seorang ibu hamil, Irene Sokoy, beserta bayinya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Papua saat dalam kondisi kritis.

“Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan, kepala daerah di Papua boleh saja mengajukan penambahan anggaran. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana memastikan anggaran tersebut benar-benar mengalir sampai ke bawah,” tegasnya.

Sebagai informasi, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk untuk mengharmonisasi program percepatan pembangunan di Papua dan dilegalkan melalui Keputusan Presiden Nomor 110/P Tahun 2025. (*/ANTARA)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya