Friday, March 29, 2024
29.7 C
Jayapura

Predator Seksual Anak Dipenjara, Dikebiri, Lalu Dipermalukan

*Pemerintah Terbitkan PP Pelaksanaan Kebiri

JAKARTA, Jawa Pos – Butuh waktu empat tahun bagi pemerintah untuk menyusun aturan pelaksana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Yakni, lewat terbitnya PP Nomor 70 Tahun 2020 baru-baru ini. PP itu mengatur pelaksanaan kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Yang diatur adalah tahapan pelaksanaan dan jangka waktunya. Sementara, prosedur teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri kesehatan. Kebiri kimia atau pemasangan alat deteksi elektronik merupakan hukuman tambahan selain pidana pokok. Hukuman itu akan dilaksanakan begitu pelaku selesai menjalani pidana pokok atau keluar dari lapas.

Sebelum dikebiri, pelaku akan menjalani penilaian klinis dari tim dokter dan psikiater. Dia akan menjalani pemeriksaan fisik dan penunjang serta diwawancarai oleh psikiater. Dari situ, tim dokter dan psikiater akan membuat kesimpulan. Apakah pelaku layak untuk dikebiri.

Bila dinyatakan layak, pelaku akan dikebiri di RS disaksikan jaksa dan perwakilan Kemenkum HAM, Kemensos, dan Kemenkes. Usai pelaksanaan, jaksa wajib memberitahu korban atau keluarganya. Namun, bila kesimpulan klinis menyatakan pelaku tidak layak, bukan berarti dia akan bebas dari hukuman. Kebiri akan ditunda enam bulan untuk penilaian ulang.

Sementara, pemasangan alat deteksi elektronik tidak perlu melalui penilaian klinis sebagaimana kebiri. Begitu pelaku selesai menjalani hukuman pokok, atau paling lama satu bulan sebelum selesai, dia langsung dipasangi alat deteksi elektronik. Kemenkes hanya perlu memeriksa dan menentukan bagian tubuh mana yang akan dipasangi alat.

Baca Juga :  Selama Ramadan Tiga Prajurit TNI Gugur di Papua

Pemberian hukuman tambahan bergantung pada jenis perbuatan. Bila perbuatannya adalah persetubuhan dnegan anak, maka pelaku akan dikebiri plus dipasangi alat deteksi elektronik. Sementara, bila perbuatannya masuk kategori pencabulan terhadap anak, hukuman tambahannya berupa pemasangan alat deteksi elektronik saja. Dia tidak akan dikebiri.

Predator seksual anak tidak hanya mendapatkan dua jenis hukuman itu. Sesuai amanat UU 17/2016 tentang pengesahan Perppu Perlindungan Anak, identitas si predator juga akan dipublikasikan. Mulai nama, foto, hingga alamat domisili dia saat ini. PP mengamanatkan publikasi selama satu bulan penuh di berbagai platform yang ada.

Mulai papan pengumuman, web kejaksaan, media massa cetak maupun elektronik, hingga media sosial. ’’Yang dimaksud dengan ’media cetak dan elektronik’ termasuk di ruang publik seperti pusat perbelanjaan, stasiun, dan terminal,’’ bunyi penjelasan PP tersebut.

Meski sudah dihukum dan dipermalukan di depan publik, PP memastikan bahwa predator seksual anak juga berhak direhabilitasi. Dia akan mendapatkan rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medik tiga bulan setelah eksekusi hukuman tambahan dilaksanakan. Harapannya, pelaku bisa menjalani kehidupannya dengan wajar setelah keluar dari penjara dan mendapat hukuman tambahan.

Baca Juga :  Polisi Periksa Lima Saksi

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menuturkan, PP menjadi salah satu elemen untuk memastikan sebuah UU bisa diimplementasikan. Dalam hal ini, PP 70/2020 akan memberi kejelasan bagi aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan UU 17/2016.

Selama empat tahun terakhir, pelaksanaan amanat UU tersebut memang masih minim. ’’Data pasti keputusan pengadilan yang menggunakan UU ini yaitu kasus di Mojokerto,’’ terangnya saat dikonfirmasi kemarin (17/12). Kasus yang dimaksud adalah perkosaan terhadap sembilan anak yang dilakukan Muh Aris. Hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara plus kebiri kimia.

Menurut Putu, untuk saat ini masih sulit mengukur ataupun mengevaluasi efektivitas hukuman tambahan itu. Apakah akan membuat kejahatan seksual terhadap anak bakal menurun atau efek jera terhadap pelaku, belum bisa dipastikan. ’’Karena memang pelaksanaan atas vonis berupa tindakan tersebut belum dapat dilaksanakan sampai terpidana selesai menjalani pidana pokok,’’ lanjutnya.

Dalam kasus Mojokerto misalnya, eksekusi baru bisa dilakukan pada 2031. Dengan asumsi Aris sama sekali tidak mendapatkan remisi selama 12 tahun di penjara. UU perlindungan anak mengamanatkan predator seksual anak dipenjara minimal 5 tahun. Bahkan, hukuman ditambah sepertiganya bila pelaku berstatus orang-orang dekat korban, pendidik, aparat, atau pelaku yang melakukan bersama-sama. (byu/JPG)

*Pemerintah Terbitkan PP Pelaksanaan Kebiri

JAKARTA, Jawa Pos – Butuh waktu empat tahun bagi pemerintah untuk menyusun aturan pelaksana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Yakni, lewat terbitnya PP Nomor 70 Tahun 2020 baru-baru ini. PP itu mengatur pelaksanaan kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Yang diatur adalah tahapan pelaksanaan dan jangka waktunya. Sementara, prosedur teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri kesehatan. Kebiri kimia atau pemasangan alat deteksi elektronik merupakan hukuman tambahan selain pidana pokok. Hukuman itu akan dilaksanakan begitu pelaku selesai menjalani pidana pokok atau keluar dari lapas.

Sebelum dikebiri, pelaku akan menjalani penilaian klinis dari tim dokter dan psikiater. Dia akan menjalani pemeriksaan fisik dan penunjang serta diwawancarai oleh psikiater. Dari situ, tim dokter dan psikiater akan membuat kesimpulan. Apakah pelaku layak untuk dikebiri.

Bila dinyatakan layak, pelaku akan dikebiri di RS disaksikan jaksa dan perwakilan Kemenkum HAM, Kemensos, dan Kemenkes. Usai pelaksanaan, jaksa wajib memberitahu korban atau keluarganya. Namun, bila kesimpulan klinis menyatakan pelaku tidak layak, bukan berarti dia akan bebas dari hukuman. Kebiri akan ditunda enam bulan untuk penilaian ulang.

Sementara, pemasangan alat deteksi elektronik tidak perlu melalui penilaian klinis sebagaimana kebiri. Begitu pelaku selesai menjalani hukuman pokok, atau paling lama satu bulan sebelum selesai, dia langsung dipasangi alat deteksi elektronik. Kemenkes hanya perlu memeriksa dan menentukan bagian tubuh mana yang akan dipasangi alat.

Baca Juga :  KPU Yalimo Bantah Keterangan Bawaslu

Pemberian hukuman tambahan bergantung pada jenis perbuatan. Bila perbuatannya adalah persetubuhan dnegan anak, maka pelaku akan dikebiri plus dipasangi alat deteksi elektronik. Sementara, bila perbuatannya masuk kategori pencabulan terhadap anak, hukuman tambahannya berupa pemasangan alat deteksi elektronik saja. Dia tidak akan dikebiri.

Predator seksual anak tidak hanya mendapatkan dua jenis hukuman itu. Sesuai amanat UU 17/2016 tentang pengesahan Perppu Perlindungan Anak, identitas si predator juga akan dipublikasikan. Mulai nama, foto, hingga alamat domisili dia saat ini. PP mengamanatkan publikasi selama satu bulan penuh di berbagai platform yang ada.

Mulai papan pengumuman, web kejaksaan, media massa cetak maupun elektronik, hingga media sosial. ’’Yang dimaksud dengan ’media cetak dan elektronik’ termasuk di ruang publik seperti pusat perbelanjaan, stasiun, dan terminal,’’ bunyi penjelasan PP tersebut.

Meski sudah dihukum dan dipermalukan di depan publik, PP memastikan bahwa predator seksual anak juga berhak direhabilitasi. Dia akan mendapatkan rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medik tiga bulan setelah eksekusi hukuman tambahan dilaksanakan. Harapannya, pelaku bisa menjalani kehidupannya dengan wajar setelah keluar dari penjara dan mendapat hukuman tambahan.

Baca Juga :  Juli, Presiden Jokowi Direncanakan Datang Lagi

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menuturkan, PP menjadi salah satu elemen untuk memastikan sebuah UU bisa diimplementasikan. Dalam hal ini, PP 70/2020 akan memberi kejelasan bagi aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan UU 17/2016.

Selama empat tahun terakhir, pelaksanaan amanat UU tersebut memang masih minim. ’’Data pasti keputusan pengadilan yang menggunakan UU ini yaitu kasus di Mojokerto,’’ terangnya saat dikonfirmasi kemarin (17/12). Kasus yang dimaksud adalah perkosaan terhadap sembilan anak yang dilakukan Muh Aris. Hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara plus kebiri kimia.

Menurut Putu, untuk saat ini masih sulit mengukur ataupun mengevaluasi efektivitas hukuman tambahan itu. Apakah akan membuat kejahatan seksual terhadap anak bakal menurun atau efek jera terhadap pelaku, belum bisa dipastikan. ’’Karena memang pelaksanaan atas vonis berupa tindakan tersebut belum dapat dilaksanakan sampai terpidana selesai menjalani pidana pokok,’’ lanjutnya.

Dalam kasus Mojokerto misalnya, eksekusi baru bisa dilakukan pada 2031. Dengan asumsi Aris sama sekali tidak mendapatkan remisi selama 12 tahun di penjara. UU perlindungan anak mengamanatkan predator seksual anak dipenjara minimal 5 tahun. Bahkan, hukuman ditambah sepertiganya bila pelaku berstatus orang-orang dekat korban, pendidik, aparat, atau pelaku yang melakukan bersama-sama. (byu/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya