Berdasarkan keterangan warga kata Teddy, jauh hari sebelum perusahaan tersebut mulai masuk dan membabat hutan. Marga Moiwend dan Gebze sudah menolak dengan tegas, bahkan mereka bersuara lantang, hanya saja mereka takut lantaran adanya pengawalan dari TNI-Polri yang diduga membackup perusahaan tersebut. Warga sadar betul, bahwa ketika hutan mereka dibabat habis maka mereka akan kehilangan hak atas tanah.
Terlebih lagi daerah yang sedang dibongkar tersebut merupakan tempat berburu, meramu dan tempat mereka bergantung hidup.
“Harusnya pemerintah dalam konteks Otsus ada perlindungan bagi hak hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 43 ayat 1 dan 2. Seharusnya menjadi wajib bagi pemerintah untuk menjalankan dan mematuhi undang undang tersebut terkait dengan hak hak masyarakat adat,” tegasnya.
Marga Moiwend dan Gebze sebenarnya tidak anti pembangunan, tetapi mereka menginginkan pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat adat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki masyarakat adat saat ini.
“Bukan investasi industri ekstraktif berskala makro yang jelas jelas akan memindahkan kepemilikan atau memaksa masyarakat adat melepaskan hak atas tanah adat, merusak lingkungan dan mengahancurkan ruang-ruang hidup masyarakat adat,” bebernya.
Teddy menerangkan, saat ini hutan dan tanah adat Marga Gebze dan Moiwend sedang digusur paksa yang diduga kuat dilakukan oleh PT. Jhonlin Group, yang kemudian mendapat pengawalan ketat dari pihak aparat. Hal ini membuat masyarakat adat ketakutan untuk menyampaikan protes dan ketidak setujuan mereka.