Saturday, April 20, 2024
24.7 C
Jayapura

Adat di Port Numbay Satukan Kekuatan Siapkan Gugatan

JAYAPURA – Sejumlah kepala suku dan tokoh adat di bawah kepemimpinan Ondoafi Herman Hamadi menyatakan sikap akan segera mengajukan gugatan hukum terkait banyaknya lahan di Kota Jayapura yang berpindah tangan dengan proses yang dianggap tidak sah. 

Proses pemindahan atau penguasaan yang pindah tangan ini memang bukan terjadi baru – baru ini melainkan sudah beberapa tahun lalu yang akhirnya memberi dampak pada hilangnya hak – hak masyarakat adat atas tanah.

Ondoafi Herman Hamadi (duduk tengah) didampingi sejumlah kepala suku, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda difoto usai melakukan pertemuan di rumah adat di Entrop, Jumat (17/7) (FOTO: Gamel/Cepos)

Satu persatu kepala suku akan dimintai keterangan terkait lahan yang sudah dilepas guna dilihat apakah sudah sesuai aturan main atau hanya akal – akalan. Yang jelas dari pertemuan yang dilakukan di rumah adat Ondoafi Herman Hamadi di Entrop ini dikatakan ada ratusan atau bahkan ribuan hektar tanah yang sudah dikuasai pemodal. “Sebagai raja di kota ini saya tidak pernah jual kepada Bintang Mas dan selama puluhan tahun orang tua saya yang jual. Tapi kami akan lihat apakah semua dilakukan sesuai aturan, ada pelepasan atau seperti apa. Hari ini kami rapat di rumah adat  dan banyak tanah yang tak dilegkapi dengan pelepasan sudah berpindah tangan,” kata Herman Hamadi saat ditemui di rumah adatnya, Jumat (17/7).

Bila diyakini ada skenario buruk untuk sekedar menguasai lahan masyarakat adat dimana tak dilengkapi dengan surat – surat maka para tokoh di Port Numbay ini akan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. “Kami akan inventarisir dulu dan mengumpulkan seluruh kepala suku untuk melihat lokasi mana yang sudah pernah terjual dari proses tidak jelas,” tambah Herman.

Baca Juga :  Kuasa Hukum Lukas Nilai KPK Inkar Janji

Pertemuan pertama ini dihadiri oleh Johanes Ireeuw selaku date, Daniel Hamadi selaku date, Gerson Hassor sebagai kepala suku, Onesimus Hababuk selaku kepala suku, Yakobus Mano selaku kepala suku, Ricky Injama selaku kepala suku, Niko Pae selaku tokoh masyarakat, Titus Hamadi  selaku tokoh adat dan Robby Affar,  Jhon Hamadi selaku tokoh pemuda. 

 Di sini Herman Hamadi menyatakan tak pernah menjual tanah dan seharusnya ia menjadi raja, bukan pengemis yang akhirnya meminta minta uang kepada pemodal. “Tanah saya dari Kolam Buaya sampai Holtekamp dan kok saya harus meminta – minta uang seperti pengemis,” bebernya. 

Ia menyatakan bahwa setiap pembelian tanah ulayat dipastikan ada surat pelepasan dan ini yang akan diteliti apakah betul ada pelepasan atau sekedar akal – akalan dan pengakuan. Kalaupun ada pelepasan, apakah surat tersebut sesuai dengan ukuran dan kesepakatan mengingat setiap pembelian dipastikan ada batasan-batasan. 

 Pihak adat juga akan melihat apakah ada keterlibatan pihak oknum BPN dalam pengukuran maupun syarat  – syarat administrasi lainnya mengingat namanya pemodal akan sangat mudah merangkul para pihak baik instansi terkait termasuk oknum dari aparat penegak hukum untuk memuluskan niatnya. Akan menjadi aneh apabila setelah pelepasan namun tak berapa lama mucul surat ukur. Nah disini para tokoh adat dan masyarakat merasa banyak dikibulin. 

 “Bisa saja dari pembicaraan yang belum menentukan luasan kemudian orang – orang tua dulu dibawa ke kantor lalu diketikkan surat dan diletakkan uang kemudian muncul surat yang sudah ditandatangani. Ini juga akan kami  cek,” tambahnya. 

Baca Juga :  Wajib Vaksin Dosis Kedua!

Dari pertemuan perdana ini muncul kesepakatan bahwa Ondoafi Herman Hamadi yang akan memimpin di depan bersama penasehat hukum dan seluruh kepala suku di Port Numbay akan mendukung. “Kami siap melawan dinasty,” imbuhnya. 

Selain pembicaraan soal hilangnya ratusan atau ribuan hektar lahan milik masyarakat adat, dari pertemuan ini juga disinggung soal  penimbunan di lokasi Mendug, Teluk Youtefa yang akan digunakan untuk venue cabang olahraga dayung. Ini juga dianggap kesepakatan sepihak dan tidak disetujui semua para pihak yang bersangkutan sehingga masyarakat ada melakukan pemalangan. Persoalan ini juga akan ikut serta dibawa ke Polda untuk diadukan mengingat dampak lingkungannya terhadap dua kampung yakni Engros dan Nafri sangat besar. 

Para tokoh ini juga sepakat akan melakukan pertemuan berikutnya dengan mengundang seluruh kepala suku dan masyarakat yang memahami soal persoalan yang diperjuangkan. “Kami sedikit tidak apa – apa tapi alam bersama kami,” ucap salah satu tokoh masyarakat. 

Sementara itu, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menyampaikan kasus ini sudah ditangani Dirkrimsus Polda Papua. Sebagaimana menyikapi adanya permintaan Ondoafi Besar Tobati Injros untuk pemasangan Police Line lokasi penimbunan  reklamasi  di laut Kampung  Tobati Enggros Kawasan  Jalan Baru Hamadi-Holtekam.

“Memang ada informasi sepihak kalau tempat itu diperuntukkan untuk kepentingan PON 2020 tempat ski air, itukan kepentingan umum juga,” ucap Kapolda, Jumat (17/7).

Namun, jika belum adanya kajian lingkungan serta persetujuan masyarakat adat Tobati-Enggros. Maka hal itu harus dipenuhi syarat syarat dampak lingkungannya.

“Saya berharap mereka sudah memiliki itu, namun kalau belummpunya itu yang menjadi masalah. Nanti kita tangani,” ucapnya. (ade/fia/nat)

JAYAPURA – Sejumlah kepala suku dan tokoh adat di bawah kepemimpinan Ondoafi Herman Hamadi menyatakan sikap akan segera mengajukan gugatan hukum terkait banyaknya lahan di Kota Jayapura yang berpindah tangan dengan proses yang dianggap tidak sah. 

Proses pemindahan atau penguasaan yang pindah tangan ini memang bukan terjadi baru – baru ini melainkan sudah beberapa tahun lalu yang akhirnya memberi dampak pada hilangnya hak – hak masyarakat adat atas tanah.

Ondoafi Herman Hamadi (duduk tengah) didampingi sejumlah kepala suku, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda difoto usai melakukan pertemuan di rumah adat di Entrop, Jumat (17/7) (FOTO: Gamel/Cepos)

Satu persatu kepala suku akan dimintai keterangan terkait lahan yang sudah dilepas guna dilihat apakah sudah sesuai aturan main atau hanya akal – akalan. Yang jelas dari pertemuan yang dilakukan di rumah adat Ondoafi Herman Hamadi di Entrop ini dikatakan ada ratusan atau bahkan ribuan hektar tanah yang sudah dikuasai pemodal. “Sebagai raja di kota ini saya tidak pernah jual kepada Bintang Mas dan selama puluhan tahun orang tua saya yang jual. Tapi kami akan lihat apakah semua dilakukan sesuai aturan, ada pelepasan atau seperti apa. Hari ini kami rapat di rumah adat  dan banyak tanah yang tak dilegkapi dengan pelepasan sudah berpindah tangan,” kata Herman Hamadi saat ditemui di rumah adatnya, Jumat (17/7).

Bila diyakini ada skenario buruk untuk sekedar menguasai lahan masyarakat adat dimana tak dilengkapi dengan surat – surat maka para tokoh di Port Numbay ini akan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. “Kami akan inventarisir dulu dan mengumpulkan seluruh kepala suku untuk melihat lokasi mana yang sudah pernah terjual dari proses tidak jelas,” tambah Herman.

Baca Juga :  Gerald Sokoy Saksi Penting Peristiwa Kiwirok

Pertemuan pertama ini dihadiri oleh Johanes Ireeuw selaku date, Daniel Hamadi selaku date, Gerson Hassor sebagai kepala suku, Onesimus Hababuk selaku kepala suku, Yakobus Mano selaku kepala suku, Ricky Injama selaku kepala suku, Niko Pae selaku tokoh masyarakat, Titus Hamadi  selaku tokoh adat dan Robby Affar,  Jhon Hamadi selaku tokoh pemuda. 

 Di sini Herman Hamadi menyatakan tak pernah menjual tanah dan seharusnya ia menjadi raja, bukan pengemis yang akhirnya meminta minta uang kepada pemodal. “Tanah saya dari Kolam Buaya sampai Holtekamp dan kok saya harus meminta – minta uang seperti pengemis,” bebernya. 

Ia menyatakan bahwa setiap pembelian tanah ulayat dipastikan ada surat pelepasan dan ini yang akan diteliti apakah betul ada pelepasan atau sekedar akal – akalan dan pengakuan. Kalaupun ada pelepasan, apakah surat tersebut sesuai dengan ukuran dan kesepakatan mengingat setiap pembelian dipastikan ada batasan-batasan. 

 Pihak adat juga akan melihat apakah ada keterlibatan pihak oknum BPN dalam pengukuran maupun syarat  – syarat administrasi lainnya mengingat namanya pemodal akan sangat mudah merangkul para pihak baik instansi terkait termasuk oknum dari aparat penegak hukum untuk memuluskan niatnya. Akan menjadi aneh apabila setelah pelepasan namun tak berapa lama mucul surat ukur. Nah disini para tokoh adat dan masyarakat merasa banyak dikibulin. 

 “Bisa saja dari pembicaraan yang belum menentukan luasan kemudian orang – orang tua dulu dibawa ke kantor lalu diketikkan surat dan diletakkan uang kemudian muncul surat yang sudah ditandatangani. Ini juga akan kami  cek,” tambahnya. 

Baca Juga :  Kuasa Hukum Lukas Nilai KPK Inkar Janji

Dari pertemuan perdana ini muncul kesepakatan bahwa Ondoafi Herman Hamadi yang akan memimpin di depan bersama penasehat hukum dan seluruh kepala suku di Port Numbay akan mendukung. “Kami siap melawan dinasty,” imbuhnya. 

Selain pembicaraan soal hilangnya ratusan atau ribuan hektar lahan milik masyarakat adat, dari pertemuan ini juga disinggung soal  penimbunan di lokasi Mendug, Teluk Youtefa yang akan digunakan untuk venue cabang olahraga dayung. Ini juga dianggap kesepakatan sepihak dan tidak disetujui semua para pihak yang bersangkutan sehingga masyarakat ada melakukan pemalangan. Persoalan ini juga akan ikut serta dibawa ke Polda untuk diadukan mengingat dampak lingkungannya terhadap dua kampung yakni Engros dan Nafri sangat besar. 

Para tokoh ini juga sepakat akan melakukan pertemuan berikutnya dengan mengundang seluruh kepala suku dan masyarakat yang memahami soal persoalan yang diperjuangkan. “Kami sedikit tidak apa – apa tapi alam bersama kami,” ucap salah satu tokoh masyarakat. 

Sementara itu, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menyampaikan kasus ini sudah ditangani Dirkrimsus Polda Papua. Sebagaimana menyikapi adanya permintaan Ondoafi Besar Tobati Injros untuk pemasangan Police Line lokasi penimbunan  reklamasi  di laut Kampung  Tobati Enggros Kawasan  Jalan Baru Hamadi-Holtekam.

“Memang ada informasi sepihak kalau tempat itu diperuntukkan untuk kepentingan PON 2020 tempat ski air, itukan kepentingan umum juga,” ucap Kapolda, Jumat (17/7).

Namun, jika belum adanya kajian lingkungan serta persetujuan masyarakat adat Tobati-Enggros. Maka hal itu harus dipenuhi syarat syarat dampak lingkungannya.

“Saya berharap mereka sudah memiliki itu, namun kalau belummpunya itu yang menjadi masalah. Nanti kita tangani,” ucapnya. (ade/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya