Saturday, April 20, 2024
30.7 C
Jayapura

Tak ada Papua di Pilpres 2019?

Suasana Diskusi Menyoal Papua dalam Pilpres 2019,  Posisi Papua dalam Peta Politik Indonesia, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 14 Februari  pekan kemarin. (FOTO : Lucky /Cepos)

*Menyoal Papua dalam Pilpres 2019,  Posisi Papua dalam Peta Politik Indonesia

JAKARTA- Selama lima bulan terakhir masa kampanye Pilpres 2019, sejak September hingga Februari – dari total tujuh bulan yang dialokasikan sampai April yang akan datang – baru kemarin ada sebuah acara digelar di Jakarta untuk mempersoalkan Papua dalam Pemilihan Presiden 2019. 

Diskusi bertajuk Menyoal Papua dalam Pilpres 2019: Posisi Papua dalam Peta Politik Indonesia, diselenggarakan oleh  Amnesty International Indonesia, Yayasan Tifa, dan Perkumpulan Jubi, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 14 Februari  pekan kemarin

 Perbincangan yang berjalan selama lima jam itu memang akhirnya mengalir jauh, bukan hanya bertanya mengapa dalam sebuah peristiwa politik sebesar pemilihan presiden di Indonesia, isu tentang Papua tidak mencuat dalam debat politik yang diselenggarakan KPU. Demikian kesimpulan Amnesti Internasional dalam laporanya. 

  Perbincangan dan perdebatan yang berkembang dalam sepanjang diskusi juga menggugat perkara-perkara sensitif mengenai hubungan Indonesia-Papua sebagai dua bangsa, tentang diskursus kolonial bahwa tidak pernah ada integrasi Indonesia-Papua; juga tentang keharusan moral dan politik tentang jalan perpisahan apa yang sebaiknya ditempuh. Walau sub-sub topik selama dua sesi itu sesungguhnya panas, diskusi berlangsung lancar. Topik besar yang semula dijadikan fokus adalah tentang posisi Papua dalam peta politik Indonesia. 

  Diskusi mengundang sekitar 80an orang, namun dihadiri sekitar 200 orang, sebagian besar partisipan adalah para pengamat; banyak juga yang terlibat dalam berbagai aktivisme sekitar isu Papua; aktivis berbagai gerakan sosial dan politik; juga sejumlah jurnalis. Sebagian besar mereka menjadi narasumber penting diskusi sesi pertama; dari Papua terdapat Ketua Sinode Papua Pdt. Benny Giay, hingga pengacara dan aktivis HAM Yang Christian Warinussy, Theo Hasegem, Ronald Tapilatu, hingga Latifa Anum Siregar. Lalu dari Jakarta terdapat Ketua PBNU KH Imam Aziz, Direktur CSIS Philips J. Vermonte, Direktur Abdurrahman Wahid Centre Ahmad Suaedy, mantan Kepala P2P LIPI Adriana Elisabeth, Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu, komisioner Komnas HAM Amiruddin Alrahab hingga diplomat HAM Indonesia Makarim Wibisono, Ketua AJI Indonesia dan AJI Papua. 

  Dharmawan Triwibowo membuka acara dengan mengajukan pertanyaan, bagaimana meletakkan Papua dalam peta politik Indonesia? Sekadar catatan kaki, appendiks, ataukah narasi utama? Papua, katanya, “belum menjadi narasi utama dalam peta politik Indonesia, baru menjadi catatan kaki, hanya apendiks, hanya anotasi. Ini persis seperti posisi Yahudi di Eropa sejak awal abad ke-20,” kata Direktur Yayasan Tifa itu. Tak jelas yang dimaksud, apakah trajektorinya adalah juga genosida, seperti yang dialami di bawah Nazisme Hitler Jerman, menjelang Perang Dunia Kedua, atau yang lain. Yang dimaksud dengan “yang lain itu adalah trajektori integrasi atau merdeka. Kedua pilihan trajektori terakhir ini harus dilakukan secara beradab”. 

“ 20 tahun setelah reformasi, kita tidak mampu menjawab dengan baik pertanyaan besar tentang Papua. Bagaimana posisi Papua dalam percakapan politik Indonesia, ” katanya lagi. 

   Selama ini, persoalan mendasar di  Papua tidak dibahas secara serius. “ Yang jelas, selama ini Papua hanya menjadi target pembangunan ekonomi,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia. 

  Dalam narasi “pembangunan,” berbagai fenomena ketidakadilan tersembunyikan. Kekerasan, korupsi, pelanggaran HAM, eksploitasi SDA, marginalisasi, dan masalah serius lainnya selalu dinegasikan. Bahkan dalam perhelatan penting seperti pemilihan umum di tingkat nasional, Papua tidak mendapat perhatian yang memadai.

  Dalam perspektif Benny Giay, Ketua Sinode Gereja-Gereja Kemah Injil Kingmi, Papua terjebak dalam hubungan dominasi dengan Indonesia. Dalam sepanjang sejarah modern Indonesia, manusia Papua berada di batas tipis identitas: antara sebagai binatang dan sebagai separatis. Sejak 1963 hingga sekarang, 2019 – jadi selama 56 tahun – hubungan konfliktual Indonesia-Papua berada di ambang batas koeksistensi yang bersifat kolonialistik seperti itu.

  Posisi yang diangkat oleh tiga pemantik diskusi di atas mendapat pembenarannya dari Adriana Elizabeth, peneliti LIPI. Menurutnya, konflik Indonesia-Papua tercatat sebagai konflik terpanjang dalam sejarah Asia, selain konflik Filipina-Moro. Sejarah dunia memang dipenuhi konflik dan perang. Tetapi di tengah-tengah itu selalu ada upaya untuk mencari perdamaian. Nah, dalam konflik Indonesia-Papua, sepertinya tidak pernah ada upaya mencari titik perdamaian. Indonesia selalu menganggap tidak ada persoalan menyangkut Papua. 

  Sementara Papua menganggap Indonesia adalah sumber malapetaka. Jika kedua pihak tidak punya titik-pandang yang sama, maka tidak akan pernah ada resolusi konflik. Padahal, dalam pandangannya, yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi ketegangan Indonesia-Papua pada tahap sekarang, adalah transformasi konflik. “Ini harus dilakukan, misalnya dengan menggunakan model Afrika Selatan, yakni untuk mencapai rekonsiliasi melalui pengungkapan kebenaran.” 

Baca Juga :  Gagalkan Penyelundupan Munisi Tajam

  Imam Azis dari PB NU mendukung inisiatif penyelesaian demi rekonsiliasi itu. Dia menyarankan disusunnya roadmap baru. Masih tetap berbasis penyelesaian HAM, ia menganggap resolusi harus tetap dilakukan dengan mengajak keterlibatan masyarakat sipil seluas-luasnya. Pada jalan itulah, penyelesaian Papua harus diletakkan. 

  Tapi bagi Amiruddin Alrahab dari Komnas HAM, hampir semua pintu masuk untuk penyelesaian konflik, sekarang ini sudah tertutup. Apalagi melalui pintu masuk HAM, termasuk melalui jalan KKR (komisi kebenaran dan rekonsiliasi). Melalui dialog? Juga hampir mustahil, karena tidak ada lagi yang berminat untuk memprakarsasi dialog. Siapa yang mau memulai? Dalam situasi seperti itu, sekarang ini situasinya cenderung kembali lagi dari nol. Ya, dari nol. Tapi inilah tragedinya: dari dulu situasinya terus seperti ini. Sangat involutif.

  Sama dengan posisi Imam Azis, Papang Hidayat dari Amnesty International mengakui ada banyak hambatan di jalan HAM; tetapi bukan berarti itu jalan yang tertutup sama sekali. Ia menekankan untuk membereskan dulu hambatan-hambatan itu. Pertama adalah dengan menekankan diperbaruinya kembali komitmen Indonesia untuk menjalankan 8 dari 9 konvensi-konvensi PBB mengenai HAM yang sudah diratifikasi. Selama ini komitmen itu timbul-tenggelam, tidak konsisten, dan selalu tergantung dari cuaca politik. 

  Kedua adalah keharusan melakukan revisi untuk mengefektifkan sistem hukum internal Indonesia dalam rangka menjalankan konvensi-konvensi PBB itu. Selain itu, ketiga, semua upaya pembenahan ini harus dikaitkan dengan isu tunggal khas Papua di bidang HAM, yaitu marginalisasi. Itulah yang menjadi sumber kejahatan HAM di Papua.

  Papang mengingatkan, marginalisasi Papua punya tiga ekses besar yang masing-masing bisa menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih serius. Pertama, marginalisasi telah menciptakan krisis dalam identitas budaya Papua. Kedua, marginalisasi juga muncul dalam bentuk ketimpangan demografi, yang pada dirinya menciptakan legitimasi bagi kebijakan yang mengeksklusi Papua dengan hak-hak aslinya. Ini memang bukan khas problem Papua, tetapi di Papua, ketiga soal itu telah menjadi masalah besar tersendiri.

  Philip Vermonte dari CSIS mengatakan dalam situasi meluasnya deprivasi yang dialami sebagian besar penduduk Papua, solusi demografis dan ekonomis harus didasarkan pada perhatian terhadap aspirasi kultural masyarakat Papua. Pendekatan kultural terhadap Papua selama ini dinihilkan. Ini tragedi kebijakan yang terus diulang dari pemerintahan yang sat uke pemerintahan berikutnya, termasuk hingga sekarang. 

“Bagaimana Papua menjadi bagian dari Indonesia pertama-tama adalah masalah budaya, bukan masalah keamanan dan militer,” katanya. Dalam pandangan Philip, selain melalui penyelesaian HAM, masalah Papua juga harus diselesaikan dengan pendekatan kultural. Salah satu yang harus ditekankan dengan pendekatan ini adalah demi dirancangnya pembangunan sumberdaya manusia Papua melalui kebijakan afirmatif untuk kesetaraan. Ini adalah langkah primer yang strategis.

  Dalam pandangan rata-rata orang Papua, problem Papua yang terbesar adalah bahwa warisan masalah lama tak pernah diselesaikan, sedang masalah-masalah baru terus bermunculan. Timbunan masalah yang semakin akumulatif tanpa penyelesaian membuat ruang dialog dan negosiasi semakin sempit. Ini menciptakan situasi di mana aspirasi kemerdekaan tak terelakkan. Problem berikutnya adalah aspirasi politik dikriminalisasikan. Dari generasi ke generasi tidak ada penyelesaian. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Markus Kajoi yang mewakili MRP (Majelis Rakyat Papua).

  Kondisi Papua, dalam perspektif seperti itu, sesungguhnya sudah darurat. Ini pendapat Theo Hasegem. Theo yang sehari-hari menyaksikan kehidupan masyarakat Papua dari dekat melihat fakta bahwa negara Indonesia hadir di sana dalam bentuknya sebagai kolonialis militer. Kolonialisme tak pernah punya hati. Apalagi kolonialisme militer. Di bawah pemerintahan Jokowi, situasinya pun sama saja. 

  Di Nduga, setelah tragedi penembakan beberapa waktu lalu, gambarannya adalah seperti ini – pintu gereja dirusak, barang-barang penduduk yang dititipkan di sana dihambur-hamburkan, masyarakat bersembunyi di hutan karena takut pulang. Masyarakat tidak mau kembali ke rumah masing-masing selama tantara masih berkeliaran di desa-desa. Juga di Mapenduma: sekolah tidak jalan. Desa seperti mati, penduduk dicurigai karena memberi tempat pada apa yang disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Suasana ini memberi legitimasi bagi tentara untuk terus mengawasi masyarakat. 

  Daniel Charles Randongkir, seorang aktivis masyarakat sipil Papua, memberi kesaksian bahwa apa yang terjadi Nduga dan Mapenduma merupakan miniatur dari apa yang berlangsung di seluruh pelosok Papua.

  Kesaksian mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat Papua juga dikemukakan Latifah Anum Siregar, dari ALDP. Ia menyaksikan, kebebasan berekspresi masyarakat Papua semakin ditindas; aksi kekerasan terus terjadi; kelompok-kelompok suku harus terus berperang agar eksistensinya terus diakui; jika mereka diam malah bisa dianggap sebagai kelompok KKB yang menyamar. Perang suku terus terjadi. Dan ini membuat tantara mengambil untung karena mereka bisa bisnis senjata. 

Baca Juga :  Pembunuh Michele Kurisi Berlatar Aktifis Militan

   Kaum elite kekuasaan di Papua juga menikmati situasi ini. Mereka ini adalah pengambil keuntungan dari jenis lain, yakni yang paling menikmati status-quo Otonomi Khusus untuk menggarong anggaran ratusan trilyun rupiah dari pemerintah pusat. 

  Sujanarko dari KPK memberi kesaksian bahwa korupsi di Papua adalah dari jenisnya yang paling tradisional. Misalnya, sejumlah pembiayaan pengamanan atas demonstrasi dalam ratusan juta rupiah yang hanya disertai selembar bukti kwitansi. Selain korupsi di jajaran pemerintahan sipil, korupsi sektor keamanan juga berlangsung massif. Ia mencatat bahwa demo-demo oleh masyarakat sipil seringkali justru digelar sebagai sandiwara untuk mencairkan anggaran pengamanan, yang nilainya ratusan juta rupiah untuk setiap “event.” Ini bisa berlangsung di level kecamatan, kabupaten, maupun provinsi, baik di bawah rezim keamanan polisi maupun militer.

   Sekali lagi, semua kegilaan ini disaksikan secara luas oleh masyarakat Papua. Mereka tahu apa yang berlangsung; mereka sangat paham bagaimana kekuasaan sipil, militer, dan polisi Indonesia dijalankan  di tanah Papua. Dan mereka muak. Mereka merasa dijajah. Kekuasaan Indonesia adalah kolonialisme dalam jenisnya yang paling brutal.

   Penilaian bahwa bangsa Indonesia perampok sudah sangat mendalam di kalangan orang Papua sejak 1963. Kesan itu diteruskan secara turun temurun. Inilah pandangan Filep Jacob Karma, aktivis pro kemerdekaan Papua yang memperjuangkan pemisahan dua bangsa – Indonesia dan Papua – secara damai. Baginya, penjajahan Indonesia kepada bangsa Papua sejak 1963 terus berlanjut. Ini harus dihentikan, agar Indonesia tidak terus mengkhianati konstitusinya sendiri. 

   Meskipun mengakui bahwa aspirasi kemerdekaan adalah aspirasi politik yang sah, tetapi bagi Markus Kajoi jalan menuju cita-cita itu harus ditempuh dengan damai. Hanya melalui jalan damai, Indonesia dan Papua bisa merintis solusi jangka panjang untuk koeksistensi. Bagi Markus, baik bangsa Indonesia maupun bangsa Papua harus menjawab pertanyaan tunggal ini – apakah Indonesia yang akan menjadi masa depan Papua; atau Papua yang akan menjadi masa depan Indonesia? Mengapa takut untuk membayangkan agar solusinya diletakkan dalam kerangka dua bangsa?

  Salah satu yang harus juga dipertimbangkan untuk penyelesaian damai konflik jangka panjang adalah dengan kepala dingin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini – bagaimana dan dari mana pasokan pembangunan di Papua selama ini berasal: dari Sydney, Canberra, atau dari Makassar, Bali, Surabaya? Ini juga pertanyaan yang diajukan Markus Kajoi.

  Menurut Kepala Green Peace Indonesia Leo Simanjuntak, rekognisi adalah masalah Papua yang paling besar. “ Walaupun jumlah bangsa Papua hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia, mereka tetap merupakan eksistensi yang harusnya diakui. Tetapi dalam prakteknya mereka dianggap tidak ada, setidaknya tidak diakui secara bermartabat. Indonesia hanya melihat tanah Papua, bukan bangsa Papua; padahal tanah Papua adalah basis material bagi bangsa dan manusia Papua,” ujarnya. 

  Pada kenyataannya, tanah hutan dan sumber daya alam Papua sudah berantakan. Penguasaan konsesi ratusan ribu dan jutaan hektar tanah oleh korporasi-korporasi besar nasional maupun internasional yang dilakukan di bawah perjanjian Indonesia, dilakukan dengan sangat ganas dan itu melukai hak asli bangsa Papua. “SDA bangsa Papua tidak pernah dihormati secara layak. Para penguasa politik dan ekonomi di Papua pun, dalam pandangan Leo, sangat kleptokratik.

   Dengan mempertimbangkan kenyataan historis, problem Papua bukan sekadar “kegagalan pembangunan,” tapi juga marginalisasi, penindasan dan pelanggaran HAM, dan penjarahan – narasi-narasi ketidakadilan yang selama ini menjiwai munculnya aspirasi politik warga Papua untuk menentukan nasib sendiri.

   “ Ini memang perkara besar, tema yang tak mungkin diakomodasi dalam sekadar perhelatan politik elektoral Indonesia, apalagi pemilihan antara dua kandidat presiden, yang sama-sama menghadapi kuatnya keberadaan oligarki, bahkan dinilai sebagian pengamat menjadi kaki-tangan beberapa faksi oligarki yang sedang berkompetisi untuk memperebutkan kekuasaan di Indonesia,” paparnya. 

  “ Jadi, jika tidak ada Papua dalam tema kampanye kedua kandidat, jangan-jangan ketiadaan itu sekadar merefleksikan bahwa politik perebutan kekuasaan di Indonesia memang bukan tema yang relevan lagi bagi Papua,” tambahnya lagi. 

  Di akhir diskusi, para peserta mengajukan sejumlah rekomendasi penting. Sebagian berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang Otonomi Khusus tapi belum dilaksanakan, sebagian lagi merupakan usulan-usulan yang menegaskan pentingnya pemerintah Indonesia untuk menghormati hak asasi manusia, menjaga kelestarian lingkungan Papua, dan mengakhiri pendekatan keamanan yang terus menimbulkan jatuhnya korban . (luc)

Suasana Diskusi Menyoal Papua dalam Pilpres 2019,  Posisi Papua dalam Peta Politik Indonesia, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 14 Februari  pekan kemarin. (FOTO : Lucky /Cepos)

*Menyoal Papua dalam Pilpres 2019,  Posisi Papua dalam Peta Politik Indonesia

JAKARTA- Selama lima bulan terakhir masa kampanye Pilpres 2019, sejak September hingga Februari – dari total tujuh bulan yang dialokasikan sampai April yang akan datang – baru kemarin ada sebuah acara digelar di Jakarta untuk mempersoalkan Papua dalam Pemilihan Presiden 2019. 

Diskusi bertajuk Menyoal Papua dalam Pilpres 2019: Posisi Papua dalam Peta Politik Indonesia, diselenggarakan oleh  Amnesty International Indonesia, Yayasan Tifa, dan Perkumpulan Jubi, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 14 Februari  pekan kemarin

 Perbincangan yang berjalan selama lima jam itu memang akhirnya mengalir jauh, bukan hanya bertanya mengapa dalam sebuah peristiwa politik sebesar pemilihan presiden di Indonesia, isu tentang Papua tidak mencuat dalam debat politik yang diselenggarakan KPU. Demikian kesimpulan Amnesti Internasional dalam laporanya. 

  Perbincangan dan perdebatan yang berkembang dalam sepanjang diskusi juga menggugat perkara-perkara sensitif mengenai hubungan Indonesia-Papua sebagai dua bangsa, tentang diskursus kolonial bahwa tidak pernah ada integrasi Indonesia-Papua; juga tentang keharusan moral dan politik tentang jalan perpisahan apa yang sebaiknya ditempuh. Walau sub-sub topik selama dua sesi itu sesungguhnya panas, diskusi berlangsung lancar. Topik besar yang semula dijadikan fokus adalah tentang posisi Papua dalam peta politik Indonesia. 

  Diskusi mengundang sekitar 80an orang, namun dihadiri sekitar 200 orang, sebagian besar partisipan adalah para pengamat; banyak juga yang terlibat dalam berbagai aktivisme sekitar isu Papua; aktivis berbagai gerakan sosial dan politik; juga sejumlah jurnalis. Sebagian besar mereka menjadi narasumber penting diskusi sesi pertama; dari Papua terdapat Ketua Sinode Papua Pdt. Benny Giay, hingga pengacara dan aktivis HAM Yang Christian Warinussy, Theo Hasegem, Ronald Tapilatu, hingga Latifa Anum Siregar. Lalu dari Jakarta terdapat Ketua PBNU KH Imam Aziz, Direktur CSIS Philips J. Vermonte, Direktur Abdurrahman Wahid Centre Ahmad Suaedy, mantan Kepala P2P LIPI Adriana Elisabeth, Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu, komisioner Komnas HAM Amiruddin Alrahab hingga diplomat HAM Indonesia Makarim Wibisono, Ketua AJI Indonesia dan AJI Papua. 

  Dharmawan Triwibowo membuka acara dengan mengajukan pertanyaan, bagaimana meletakkan Papua dalam peta politik Indonesia? Sekadar catatan kaki, appendiks, ataukah narasi utama? Papua, katanya, “belum menjadi narasi utama dalam peta politik Indonesia, baru menjadi catatan kaki, hanya apendiks, hanya anotasi. Ini persis seperti posisi Yahudi di Eropa sejak awal abad ke-20,” kata Direktur Yayasan Tifa itu. Tak jelas yang dimaksud, apakah trajektorinya adalah juga genosida, seperti yang dialami di bawah Nazisme Hitler Jerman, menjelang Perang Dunia Kedua, atau yang lain. Yang dimaksud dengan “yang lain itu adalah trajektori integrasi atau merdeka. Kedua pilihan trajektori terakhir ini harus dilakukan secara beradab”. 

“ 20 tahun setelah reformasi, kita tidak mampu menjawab dengan baik pertanyaan besar tentang Papua. Bagaimana posisi Papua dalam percakapan politik Indonesia, ” katanya lagi. 

   Selama ini, persoalan mendasar di  Papua tidak dibahas secara serius. “ Yang jelas, selama ini Papua hanya menjadi target pembangunan ekonomi,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia. 

  Dalam narasi “pembangunan,” berbagai fenomena ketidakadilan tersembunyikan. Kekerasan, korupsi, pelanggaran HAM, eksploitasi SDA, marginalisasi, dan masalah serius lainnya selalu dinegasikan. Bahkan dalam perhelatan penting seperti pemilihan umum di tingkat nasional, Papua tidak mendapat perhatian yang memadai.

  Dalam perspektif Benny Giay, Ketua Sinode Gereja-Gereja Kemah Injil Kingmi, Papua terjebak dalam hubungan dominasi dengan Indonesia. Dalam sepanjang sejarah modern Indonesia, manusia Papua berada di batas tipis identitas: antara sebagai binatang dan sebagai separatis. Sejak 1963 hingga sekarang, 2019 – jadi selama 56 tahun – hubungan konfliktual Indonesia-Papua berada di ambang batas koeksistensi yang bersifat kolonialistik seperti itu.

  Posisi yang diangkat oleh tiga pemantik diskusi di atas mendapat pembenarannya dari Adriana Elizabeth, peneliti LIPI. Menurutnya, konflik Indonesia-Papua tercatat sebagai konflik terpanjang dalam sejarah Asia, selain konflik Filipina-Moro. Sejarah dunia memang dipenuhi konflik dan perang. Tetapi di tengah-tengah itu selalu ada upaya untuk mencari perdamaian. Nah, dalam konflik Indonesia-Papua, sepertinya tidak pernah ada upaya mencari titik perdamaian. Indonesia selalu menganggap tidak ada persoalan menyangkut Papua. 

  Sementara Papua menganggap Indonesia adalah sumber malapetaka. Jika kedua pihak tidak punya titik-pandang yang sama, maka tidak akan pernah ada resolusi konflik. Padahal, dalam pandangannya, yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi ketegangan Indonesia-Papua pada tahap sekarang, adalah transformasi konflik. “Ini harus dilakukan, misalnya dengan menggunakan model Afrika Selatan, yakni untuk mencapai rekonsiliasi melalui pengungkapan kebenaran.” 

Baca Juga :  Kabupaten Jayawijaya Kembali Jadi Perhatian

  Imam Azis dari PB NU mendukung inisiatif penyelesaian demi rekonsiliasi itu. Dia menyarankan disusunnya roadmap baru. Masih tetap berbasis penyelesaian HAM, ia menganggap resolusi harus tetap dilakukan dengan mengajak keterlibatan masyarakat sipil seluas-luasnya. Pada jalan itulah, penyelesaian Papua harus diletakkan. 

  Tapi bagi Amiruddin Alrahab dari Komnas HAM, hampir semua pintu masuk untuk penyelesaian konflik, sekarang ini sudah tertutup. Apalagi melalui pintu masuk HAM, termasuk melalui jalan KKR (komisi kebenaran dan rekonsiliasi). Melalui dialog? Juga hampir mustahil, karena tidak ada lagi yang berminat untuk memprakarsasi dialog. Siapa yang mau memulai? Dalam situasi seperti itu, sekarang ini situasinya cenderung kembali lagi dari nol. Ya, dari nol. Tapi inilah tragedinya: dari dulu situasinya terus seperti ini. Sangat involutif.

  Sama dengan posisi Imam Azis, Papang Hidayat dari Amnesty International mengakui ada banyak hambatan di jalan HAM; tetapi bukan berarti itu jalan yang tertutup sama sekali. Ia menekankan untuk membereskan dulu hambatan-hambatan itu. Pertama adalah dengan menekankan diperbaruinya kembali komitmen Indonesia untuk menjalankan 8 dari 9 konvensi-konvensi PBB mengenai HAM yang sudah diratifikasi. Selama ini komitmen itu timbul-tenggelam, tidak konsisten, dan selalu tergantung dari cuaca politik. 

  Kedua adalah keharusan melakukan revisi untuk mengefektifkan sistem hukum internal Indonesia dalam rangka menjalankan konvensi-konvensi PBB itu. Selain itu, ketiga, semua upaya pembenahan ini harus dikaitkan dengan isu tunggal khas Papua di bidang HAM, yaitu marginalisasi. Itulah yang menjadi sumber kejahatan HAM di Papua.

  Papang mengingatkan, marginalisasi Papua punya tiga ekses besar yang masing-masing bisa menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih serius. Pertama, marginalisasi telah menciptakan krisis dalam identitas budaya Papua. Kedua, marginalisasi juga muncul dalam bentuk ketimpangan demografi, yang pada dirinya menciptakan legitimasi bagi kebijakan yang mengeksklusi Papua dengan hak-hak aslinya. Ini memang bukan khas problem Papua, tetapi di Papua, ketiga soal itu telah menjadi masalah besar tersendiri.

  Philip Vermonte dari CSIS mengatakan dalam situasi meluasnya deprivasi yang dialami sebagian besar penduduk Papua, solusi demografis dan ekonomis harus didasarkan pada perhatian terhadap aspirasi kultural masyarakat Papua. Pendekatan kultural terhadap Papua selama ini dinihilkan. Ini tragedi kebijakan yang terus diulang dari pemerintahan yang sat uke pemerintahan berikutnya, termasuk hingga sekarang. 

“Bagaimana Papua menjadi bagian dari Indonesia pertama-tama adalah masalah budaya, bukan masalah keamanan dan militer,” katanya. Dalam pandangan Philip, selain melalui penyelesaian HAM, masalah Papua juga harus diselesaikan dengan pendekatan kultural. Salah satu yang harus ditekankan dengan pendekatan ini adalah demi dirancangnya pembangunan sumberdaya manusia Papua melalui kebijakan afirmatif untuk kesetaraan. Ini adalah langkah primer yang strategis.

  Dalam pandangan rata-rata orang Papua, problem Papua yang terbesar adalah bahwa warisan masalah lama tak pernah diselesaikan, sedang masalah-masalah baru terus bermunculan. Timbunan masalah yang semakin akumulatif tanpa penyelesaian membuat ruang dialog dan negosiasi semakin sempit. Ini menciptakan situasi di mana aspirasi kemerdekaan tak terelakkan. Problem berikutnya adalah aspirasi politik dikriminalisasikan. Dari generasi ke generasi tidak ada penyelesaian. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Markus Kajoi yang mewakili MRP (Majelis Rakyat Papua).

  Kondisi Papua, dalam perspektif seperti itu, sesungguhnya sudah darurat. Ini pendapat Theo Hasegem. Theo yang sehari-hari menyaksikan kehidupan masyarakat Papua dari dekat melihat fakta bahwa negara Indonesia hadir di sana dalam bentuknya sebagai kolonialis militer. Kolonialisme tak pernah punya hati. Apalagi kolonialisme militer. Di bawah pemerintahan Jokowi, situasinya pun sama saja. 

  Di Nduga, setelah tragedi penembakan beberapa waktu lalu, gambarannya adalah seperti ini – pintu gereja dirusak, barang-barang penduduk yang dititipkan di sana dihambur-hamburkan, masyarakat bersembunyi di hutan karena takut pulang. Masyarakat tidak mau kembali ke rumah masing-masing selama tantara masih berkeliaran di desa-desa. Juga di Mapenduma: sekolah tidak jalan. Desa seperti mati, penduduk dicurigai karena memberi tempat pada apa yang disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Suasana ini memberi legitimasi bagi tentara untuk terus mengawasi masyarakat. 

  Daniel Charles Randongkir, seorang aktivis masyarakat sipil Papua, memberi kesaksian bahwa apa yang terjadi Nduga dan Mapenduma merupakan miniatur dari apa yang berlangsung di seluruh pelosok Papua.

  Kesaksian mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat Papua juga dikemukakan Latifah Anum Siregar, dari ALDP. Ia menyaksikan, kebebasan berekspresi masyarakat Papua semakin ditindas; aksi kekerasan terus terjadi; kelompok-kelompok suku harus terus berperang agar eksistensinya terus diakui; jika mereka diam malah bisa dianggap sebagai kelompok KKB yang menyamar. Perang suku terus terjadi. Dan ini membuat tantara mengambil untung karena mereka bisa bisnis senjata. 

Baca Juga :  32 Anggota Paskibraka Provinsi Papua Dikukuhkan

   Kaum elite kekuasaan di Papua juga menikmati situasi ini. Mereka ini adalah pengambil keuntungan dari jenis lain, yakni yang paling menikmati status-quo Otonomi Khusus untuk menggarong anggaran ratusan trilyun rupiah dari pemerintah pusat. 

  Sujanarko dari KPK memberi kesaksian bahwa korupsi di Papua adalah dari jenisnya yang paling tradisional. Misalnya, sejumlah pembiayaan pengamanan atas demonstrasi dalam ratusan juta rupiah yang hanya disertai selembar bukti kwitansi. Selain korupsi di jajaran pemerintahan sipil, korupsi sektor keamanan juga berlangsung massif. Ia mencatat bahwa demo-demo oleh masyarakat sipil seringkali justru digelar sebagai sandiwara untuk mencairkan anggaran pengamanan, yang nilainya ratusan juta rupiah untuk setiap “event.” Ini bisa berlangsung di level kecamatan, kabupaten, maupun provinsi, baik di bawah rezim keamanan polisi maupun militer.

   Sekali lagi, semua kegilaan ini disaksikan secara luas oleh masyarakat Papua. Mereka tahu apa yang berlangsung; mereka sangat paham bagaimana kekuasaan sipil, militer, dan polisi Indonesia dijalankan  di tanah Papua. Dan mereka muak. Mereka merasa dijajah. Kekuasaan Indonesia adalah kolonialisme dalam jenisnya yang paling brutal.

   Penilaian bahwa bangsa Indonesia perampok sudah sangat mendalam di kalangan orang Papua sejak 1963. Kesan itu diteruskan secara turun temurun. Inilah pandangan Filep Jacob Karma, aktivis pro kemerdekaan Papua yang memperjuangkan pemisahan dua bangsa – Indonesia dan Papua – secara damai. Baginya, penjajahan Indonesia kepada bangsa Papua sejak 1963 terus berlanjut. Ini harus dihentikan, agar Indonesia tidak terus mengkhianati konstitusinya sendiri. 

   Meskipun mengakui bahwa aspirasi kemerdekaan adalah aspirasi politik yang sah, tetapi bagi Markus Kajoi jalan menuju cita-cita itu harus ditempuh dengan damai. Hanya melalui jalan damai, Indonesia dan Papua bisa merintis solusi jangka panjang untuk koeksistensi. Bagi Markus, baik bangsa Indonesia maupun bangsa Papua harus menjawab pertanyaan tunggal ini – apakah Indonesia yang akan menjadi masa depan Papua; atau Papua yang akan menjadi masa depan Indonesia? Mengapa takut untuk membayangkan agar solusinya diletakkan dalam kerangka dua bangsa?

  Salah satu yang harus juga dipertimbangkan untuk penyelesaian damai konflik jangka panjang adalah dengan kepala dingin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini – bagaimana dan dari mana pasokan pembangunan di Papua selama ini berasal: dari Sydney, Canberra, atau dari Makassar, Bali, Surabaya? Ini juga pertanyaan yang diajukan Markus Kajoi.

  Menurut Kepala Green Peace Indonesia Leo Simanjuntak, rekognisi adalah masalah Papua yang paling besar. “ Walaupun jumlah bangsa Papua hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia, mereka tetap merupakan eksistensi yang harusnya diakui. Tetapi dalam prakteknya mereka dianggap tidak ada, setidaknya tidak diakui secara bermartabat. Indonesia hanya melihat tanah Papua, bukan bangsa Papua; padahal tanah Papua adalah basis material bagi bangsa dan manusia Papua,” ujarnya. 

  Pada kenyataannya, tanah hutan dan sumber daya alam Papua sudah berantakan. Penguasaan konsesi ratusan ribu dan jutaan hektar tanah oleh korporasi-korporasi besar nasional maupun internasional yang dilakukan di bawah perjanjian Indonesia, dilakukan dengan sangat ganas dan itu melukai hak asli bangsa Papua. “SDA bangsa Papua tidak pernah dihormati secara layak. Para penguasa politik dan ekonomi di Papua pun, dalam pandangan Leo, sangat kleptokratik.

   Dengan mempertimbangkan kenyataan historis, problem Papua bukan sekadar “kegagalan pembangunan,” tapi juga marginalisasi, penindasan dan pelanggaran HAM, dan penjarahan – narasi-narasi ketidakadilan yang selama ini menjiwai munculnya aspirasi politik warga Papua untuk menentukan nasib sendiri.

   “ Ini memang perkara besar, tema yang tak mungkin diakomodasi dalam sekadar perhelatan politik elektoral Indonesia, apalagi pemilihan antara dua kandidat presiden, yang sama-sama menghadapi kuatnya keberadaan oligarki, bahkan dinilai sebagian pengamat menjadi kaki-tangan beberapa faksi oligarki yang sedang berkompetisi untuk memperebutkan kekuasaan di Indonesia,” paparnya. 

  “ Jadi, jika tidak ada Papua dalam tema kampanye kedua kandidat, jangan-jangan ketiadaan itu sekadar merefleksikan bahwa politik perebutan kekuasaan di Indonesia memang bukan tema yang relevan lagi bagi Papua,” tambahnya lagi. 

  Di akhir diskusi, para peserta mengajukan sejumlah rekomendasi penting. Sebagian berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang Otonomi Khusus tapi belum dilaksanakan, sebagian lagi merupakan usulan-usulan yang menegaskan pentingnya pemerintah Indonesia untuk menghormati hak asasi manusia, menjaga kelestarian lingkungan Papua, dan mengakhiri pendekatan keamanan yang terus menimbulkan jatuhnya korban . (luc)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya