JAYAPURA – Persoalan HAM di Papua hingga kini seperti tak berujung. Setiap tahun selalu saja ada insiden dan laporan terkait kekerasan bersenjata yang dilakukan oknum aparat keamanan. Sekalipun telah disuarakan dengan berbagai cara bahkan presiden ganti presiden, persoalan HAM masih menjadi catatan kelam bagi masyarakat yang menjadi korban.
Dari peliknya persoalan HAM di Papua juga menarik perhatian negara luar bahkan pada 8 November lalu sempat disuarakan langsung dalam forum side event di Geneva Swiss. sidang UPR (Universal Periodic Review) Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss.
Forum ini biasa digelar menjelang sidang UPR Dewan HAM PBB. Mudahnya, semua isu HAM dikumpulkan agar dalam pembahasan nantinya seluruh peserta sudah memahami apa materi yang akan jadi pokok pembahasan.
Dari Papua sendiri awalnya Dr Benny Giay yang diundang untuk hadir namun karena dalam kondisi tidak fit akhirnya nama Timotius Murib maju menggantikan. “Benar saat itu saya memang ke gedung PBB. Saya diminta bicara menggantikan Dr Benny Giay yang berhalangan karena kurang sehat. Panelis lainnya adalah Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dan aktivis KontraS, Nadine,Amnesty Internasional,Usman Hamaid.
“Saya ketika itu dibantu Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia,” kata Ketua MRP, Timotius Murib dalam penjelasannya yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (16/11). Hadir pula pada side event ini sejumlah diplomat beberapa negara, termasuk perwakilan PTRI. Dalam pertemuan ini Timotius menyampaikan bahwa yang disampaikan kala itu adalah menyangkut situasi HAM dan problem pembangunan di Papua.
Dari pelanggaran HAM masa lalu berupa marjinalisasi sampai pelanggaran HAM masa kini berupa pembunuhan dengan mutilasi hingga persoalan pengungsian. Selain itu kurangnya pelibatan orang asli Papua dalam revisi kedua UU Otsus dan pemekaran provinsi juga ikut disampaikan. Ini kondisi ril yang tak bisa dipungkiri. Ia bersyukur karena dari penyampaiannya ini perwakilan diplomat beberapa negara lantas mencatat situasi HAM di Papua serta menyampaikannya kepada Indonesia di sidang Tinjauan Berkala Universal atau UPR (Universal Periodic Review) sehari setelahnya.
Timotius juga yakin apa yang dipaparkan akan menjadi masukan yang bermanfaat untuk perbaikan situasi HAM di Papua. “Itu harapan kami semua, semoga ada perubahan dalam penanganan HAM,” tambahnya. Dalam sambutannya, Ketua MRP, Timotius Murib menyampaikan bahwa dirinya senang sekali bisa hadir dan memenuhi undangan tersebut. Iapun menjelaskan posisi MRP yakni sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diamanatkan oleh UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang memiliki wewenang khusus untuk menyelamatkan Orang Asli Papua dan tanahnya.
Ia menyampaikan 2 pendapat tentang situasi HAM dan pembangunan di Papua pada saat ini dalam perspektif MRP. Pertama situasi HAM 59 tahun lalu, pada 1 Mei 1963, Indonesia mengambil mengambil alih Papua melalui PBB. Sebelum itu, orang Papua berharap dapat hidup dengan bermartabat. Tapi sejak tanggal itu, kehidupan orang Papua telah ditandai oleh kekerasan dan pelanggaran HAM, marjinalisasi serta diskriminasi.
Akibatnya, banyak orang Papua yang kecewa dengan pemerintah Indonesia hingga secara terus menerus menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Namun, untuk menangkal itu, pemerintah sering menggunakan penggunaan kekuatan berlebihan untuk membungkam protes- protes yang dibuat oleh orang Papua.Turunnya resim orde baru membuahkan Otonomi KHusus untuk Papua.
Dimana dalam 20 tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, penduduk Papua masih banyak yang hidup dalam ketakutan dan teror. “Hampir ratusan orang telah ditangkap, diinterogasi, diteror, disiksa, dan dibunuh oleh oknum aparat keamanan negara di beberapa daerah di tanah Papua, akhir-akhir ini kita mengetahui bersama situasi kemanusian dan pelanggaran HAM begitu meningkat khususnya di kabupaten Intan Jaya, kabupaten Puncak, kabupaten Pegunungan Bintang,Kabupaten Maybrat dan kabupaten Nduga,” bebernya.
Kondisi ini menjadi kontras dengan pengungsian internal warga dimana sejak tahun 2018 hingga November 2022, MRP mencatat telah terjadi pengungsian internal warga asal beberapa kabupaten yang sedang mengalami konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan TPN PB OPM. Lokasi yang disebut adalah Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Puncak. Kedua, terlihat jelas bahwa budaya impunitas terpelihara dengan baik di tanah Papua.
Situasi kekerasan hak asasi manusia terus terjadi bahkan beberapa bulan lalu terjadi mutilasi / pembunuhan terhadap 4 (empat) warga sipil dan menganiaya 4 remaja oleh oknum aparat keamanan Indonesia di Kabupaten Kerom dn Mimika Papua. Ini kata Timotius justru ini tidak memperlihatkan itikad baik oleh Indonesia dalam merespon pernyataan Kantor Komisioner HAM PBB tahun 2018/2019 yang mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan penyiksaan dan hukuman mati dan menyelidiki semua kejahatan yang dilakukan untuk memastikan akses orang Papua terhadap hak atas pendidikan, kesehatan dan makanan memperoleh gizi bagi orang Papua terjawab.
Lalu persoalan Otsus dan Pemekaran di Papua dalam beberapa tahun terakhir ada dua masalah serius yaitu kegagalan penerapan Otonomi Khusus bagi Papua. Catatan yang diberikan adalah pertama, permasalahan yang terkait UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otsus bagi Papua. Kedua, permasalahan yang terkait dengan rencana pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau Daerah Otonomi Baru (DOB).
“Untuk yang pertama, kami menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul dari rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU OTSUS. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami–MRP Provinsi Papua dan Papua Barat telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
Kemudian pasal 77 dirasa sangat penting agar terjadi konsultasi dan partisipasi yang bermakna dari rakyat Papua, sesuai arahan bapak Presiden dalam rapat terbatas kabinet pada tanggal 11 Maret 2020 yang mengajak semua pihak, termasuk orang asli Papua untuk mengevaluasi UU Otonomi Khusus.
Bahkan atas arahan Presiden itu, MRP lalu mengadakan Kegiatan rapat dengar pendapat masyarakat di 28 kabupaten dan 1 kota yang tersebar di lima wilayah adat. “Sayangnya, atas kecurigaan tertentu, upaya ini dihambat. Jajaran aparat keamanan berupaya untuk kegiatan ini tidak terlaksana meski ini merupakan kegiatan resmi lembaga MRP. Bentuk yang dilakukan adalah menghalangi warga, membubarkan rapat, hingga menangkap dan memborgol beberapa staff MRP seperti yang terjadi di Merauke,” cerita Timotius.
Akibatnya, MRP tidak dapat melanjutkan agenda tersebut meski diberi kewenangan oleh Undang-Undang, yaitu menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat orang asli Papua. Kemudian untuk masalah yang kedua, pihaknya menyesalkan proses pembentukan DOB yang tidak melibatkan representasi rakyat Papua sesuai ketentuan Pasal 76 UU OTSUS. Ketua MRP menjelaskan bahwa sebelum perubahan kedua, pasal ini berbunyi: “Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.“
Ini artinya tanpa persetujuan dari MRP dan DPRP, tidak boleh ada provinsi baru di Papua. Intinya, jika kebijakan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi tidak lagi dilakukan atas persetujuan MRP pertanyaannya adalah apakah ini selaras dengan spirit Otonomi Khusus? Pemerintah tentu dapat melakukan pemekaran provnisi, tetapi itu untuk wilayah-wilayah yang bukan berstatus otonomi khusus, melainkan otonomi daerah.
“Dengan memperhatikan berbagai situasi obyektif itulah maka kami mengajak siapa pun terutama kita semua yang ada di sini untuk menolong kami mendorong kondisi yang kondusif di Tanah Papua,” harapnya menutup penyampaian terkait HAM dan pembangunan di depan forum tersebut.Sementara dari kegiatan selama 3 hari ini, sebuah video yang cukup menarik perhatian justru beredar.
Video berdurasi selama 42 detik ini dibuat sendiri oleh Timotius Murib usai keluar dari ruangan. Dalam video tersebut terdengar narasi bahwa video dibuat pukul 3 sore waktu Swiss dan Timotius menyampaikan pesan bahwa pihaknya sedang berjuang mendapatkan kebebasan West Papua untuk bisa berdiri beserta bangsa yang lain.Video ini cukup banyak dikomentari karena menyangkut ideology. Ada juga yang mempertanyakan soal keberadaan Ketua MRP yang berangkat ke Swiss mengunakan dana APBD.
Terkait video itu, Timotius akhirnya mengklarifikasi. Ia menjelaskan bahwa tiket dan semua akomodasi ditanggung oleh pengundang Karenanya keliru jika dikatakan dirinya memakai anggaran negara untuk menghadiri kegiatan tersebut.
“Disitu ada perwakilan pemerintah Indonesia dan bisa ditanyakan ke mereka atau pihak pengundang soal perjalanan dan agenda kami. Kemudian perihal video, saat itu saya juga ditemui oleh aktivis dan akademisi Filipina yang menyuarakan isu-isu Papua. Saya pikir itu bagian dari ekspresi yang sah. Saya kira rakyat Papua sering bicara seperti itu,” bebernya.
Kata Timotius sejauh disampaikan dengan cara-cara bermartabat, maka sepatutnya tidak perlu ditafsirkan berlebihan. “Indonesia adalah bangsa besar. Bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang universal, perdamaian dunia, dan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Apa pun alasannya, penjajahan harus dihapuskan,” tambah Timotus. Jadi dalam video tersebut ia menyampaikan sesuai apa yang dikeluhkan rakyat selama ini.
“Konteksnya lebih pada bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua yang sedang terjadi dan tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Saya 10 tahun dan mengalami dan merasakan itu di MRP. Disini saya pertegas juga bahwa saya tidak pernah memiliki hubungan dengan pihak manapun termasuk pihak yang berseberangan,” tegasnya.
“Saya menyampaikan itu sebagai bentuk ekspresi atas kondisi HAM di Papua, kami mempertanyakan kapan kasus HAM ini tidak lagi terjadi. Itu lebih pada kekecewaan dan harapan agar tak ada kekerasan bagi masyarakat Papua lagi dan saya pikir itu wajar,” tutupnya. (ade/wen)