Selain itu bobroknya demokrasi di Papua terjadi karena minimnya pengetahuan dari penyelenggara, hal ini dikatakan karena melihat proses pilkada di Kabupaten Jayapura, dimana masih terdapat adanya pemilu sistem noken. Padahal jelas-jelas bahwa yang menyelenggarakan sistem noken hanya wilayah DOB itupun ada sebagian DOB menyelenggarakan Pemilu langsung.
“Dari sini kita lihat bahwa penyelenggara di Papua ini belum bekerja secara maksimal, bagaimana mungkin Kabupaten Jayapura yang aksesnya dekat dengan provinsi masih lakukan sistem noken berarti sosialisasi KPU sangat minim,” tuturnya. Sehingga Methodeus berharap adanya evaluasi secara total terhadap internal penyelenggara pemilu di Papua, sehingga adanya perubahan untuk Pemilu yang akan datang.
Termasuk juga dalam hal mendata pemilih, sebagian di Papua masih adanya pemilih yang tidak terdata, kalaupun terdata tidak sesuai dengan alamat tinggal. Ini juga menjadi catatan internal KPU. KPU pusat wajib memberikan bimtek ataupun evaluasi terhadap jajarannya ditingkat bawah.
“Jangan sampai setiap pesta demokrasi kita hanya mempertontonkan masalah yang sama, jadi saya harap harus di evaluasi,” saran Methodeus.Kemudian ia menyarankan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto dimasa kepemimpinannya sekarang betul-betul memperhatikan masalah pelaksanaan Pilkada. Sebab yang terjadi saat ini hampir sebagian besar penyelenggara tidak bekerja secara independen.
Ketidakindependensi penyelenggara karena pengaruh kepentingan politik. Sehingga penyelenggara disetiap daerah bahkan pusat lahir atas kepentingan politik. “Sekarang ini penyelenggara KPU tidak ada yang betul-betul masuk karena hasil seleksi yang normal, tapi mereka semua ada dibangku KPU karena titipan politik, sehingga tidak jarang hasil demokrasi kita tidak bersih,” tandasnya.